|
Tong besar di teras rumah H Sudarno di Jalan Kutisari Utara II Surabaya itu tak lain tak bukan tempat sampah. Isinya sampah basah, atau dalam bahasa kerennya sampah organik. Namun, tidak seperti lazimnya tempat sampah, tak ada bau busuk menebar ketika tutupnya dibuka. Bahkan, begitu pula ketika tampak dua bangkai tikus di samping rumahnya. Meskipun menurut empunya rumah sudah berada di tempat itu empat hari sebelumnya, aman dari bau tidak sedap dan serbuan lalat. Bukan sulap bukan sihir, tentu saja. Mengapa bisa terjadi demikian, karena ternyata Sudarno memiliki cairan, hasil temuannya, yang bisa menangkal bau tidak sedap. Cairan tersebut dibuat dari bahan tebu muda dan bara, karena tebu dibakar. Tebu tersebut setelah digiling, menghasilkan cairan yang ramah terhadap lingkungan. Cairan itu, di samping untuk menghilangkan bau tidak sedap pada hewan yang sudah mati, tumpukan sampah basah, dan kotoran hewan, juga cespleng untuk mengusir lalat, kecoa, semut, serta jenis serangga lainnya. "Hasil temuan tanpa bahan kimia ini saya beri nama Manis Bara Sudarno (MBS)," kata Sudarno kepada SP, di rumahnya, akhir pekan lalu. Sudarno adalah karyawan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Hatinya tergerak untuk terus mencari penghilang bau busuk demi menciptakan lingkungan yang baik. Gara-gara itu pula ia pernah dijuluki "orang gila". "Hanya karena sering menyemprotkan cairan MBS ke bak-bak sampah milik warga di kampung ini. Setelah mereka mengetahui hasilnya, julukan itu gugur dengan sendirinya," kata pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 10 Juli 1954 itu. Cairan MBS itu bukan hanya untuk sampah skala rumah tangga, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai penghilang bau tidak sedap di tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Peraih Kalpataru Buah karyanya ternyata bukan hanya MBS. Karya cipta Sudarno lainnya adalah Tongnopos, akronim dari Tong Darno Kompos, untuk pengelolaan sampah mandiri. Tongnopos diartikan, tong karya Sudarno bisa menghasilkan kompos untuk penyubur tanaman. Tong dari bahan fiber bekas untuk pembuatan kompos itu bebas ukuran, boleh besar atau kecil. Tong tersebut diisi sampah basah berupa bonggol sayuran, kulit aneka buah, serta sisa-sisa nasi. Setelah dibungkus bekas karung beras, kemudian dimasukkan ke dalam Tongnopos. Pengisian Tongnopos bisa dilakukan setiap hari. Antara karung satu dengan lainnya diberi tanda kapan sampah basah dimasukkan, untuk menentukan masa panen. Seusai diisi sampah organik, Tongnopos ditutup rapat dan diletakkan di bawah sinar matahari langsung. Masa panen kompos, setelah sampah basah mulai mengering ditetapkan selama 30 hari. Di samping bawah Tongnopos diberi keran. Keran itu berfungsi untuk mengalirkan lindi (air sampah), yang juga bisa digunakan memupuk tanaman. Dengan demikian, sampah basah rumah tangga dapat menghasilkan pupuk cair dan padat. Yang menarik, meskipun Tongnopos berisi penuh sampah organik, tetap tidak menebar bau busuk, karena disemprot menggunakan cairan MBS. Sebelumnya, Sudarno menciptakan Batem, bata yang tengahnya berisi macam-macam sampah plastik. Batem itu dibuat dari campuran semen dan pasir, tetapi di tengahnya diisi sampah stirofom (styrofoam), plastik, dan karet. "Stirofom mengandung zat berbahaya yang bisa menyerang saraf otak. Jika mengkonsumsi mi dalam gelas stirofom, sebaiknya tidak langsung dituangi air panas, tetapi mi tersebut dimasak di tempat lain yang tidak berbahaya," ia menggambarkan. Batem merupakan alternatif bata merah, tanpa dibakar. Batem Sudarno berukuran panjang 22 sentimeter, tinggi 15 sentimeter, lebar 10 sentimeter, berat sekitar 5 kilogram, dengan kandungan sampah 2 ons per buah. Pembuatannya antara lain dilandasi ide untuk mereduksi sampah dan meningkatkan sistem penanganan yang ramah lingkungan. Selama lima tahun, dimulai 2000 sampai 2005, Sudarno berhasil memproduksi 19 ribu unit Batem. Batem tersebut ia man-faatkan untuk membangun rumah, pagar, pos keamanan lingkungan (poskamling). "Sampai sejauh ini belum ada komplain dari para pemakainnya," ia menjelaskan. Ketekunan Sudarno membuahkan hasil. Pada 5 Juni 2007, ia meraih penghargaan Kalpataru tingkat nasional untuk kategori pengabdi lingkungan. Penyerahan penghargaan tersebut dilakukan Presiden Susilo Yudhoyono di Jakarta. Presiden juga memberikan uang pembinaan Rp 6,8 juta. Selain itu ia memperoleh uang pembinaan dari Menteri Lingkungan Hidup sebesar Rp 5 juta. Sebelumnya, pada 31 Mei, ia memperoleh penghargaan yang sama dari Wali Kota Surabaya, Bambang DH. Uang pembinaan itu, menurut pengakuannya, masih utuh hingga kini. Ia merencanakan membeli peralatan pengelolaan sampah berskala besar dari uang itu. Lumpur Ajaib Sudarno lulus D-3 Jurusan Konstruksi, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) pada 1987. Merasa belum puas, ia menempuh pendidikan di Universitas Yos Sudarso Surabaya, 1995-1997, hingga lulus program S-1. Walau sudah melahirkan beberapa karya temuan, otaknya tak berhenti berpikir. Belum lama ia berhasil menciptakan lumpur ajaib, dari bahan baku semen. Hasil temuannya itu antara lain untuk mencegah tercemarnya air tanah, air sungai, dan air laut. Ia menceritakan, ide itu muncul ketika pada suatu saat Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya terganggu kinerjanya karena bahan baku yang berasal dari Kali Brantas dan Kali Surabaya tercemar limbah pabrik. Pemimpin PDAM harus secepatnya bertindak menghadapi kenyataan air yang disalurkan ke pelanggan berwarna keruh kecokelatan dan berbau anyir. "Guna menetralisir sebenarnya tidak perlu diberi kaporit dan tawas secara berlebihan, cukup dengan lumpur ajaib agar cepat jernih. Biayanya murah dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia," katanya. Lumpur temuan Sudarno itu berupa semen pilihan yang direndam dalam air. Rendaman semen itulah kemudian dijulukinya lumpur ajaib. Di depan SP, Sudarno mendemonstrasikan "kehebatan" lumpurnya. Air limbah berbahaya dicampur dengan 30 persen lumpur ajaib, kemudian diaduk dan diberi tinta bekas printer. Dalam waktu sepuluh menit air keruh tersebut kembali jernih. Sudarno tidak pelit berbagi. Ia menularkan ilmunya kepada siapa saja. Apalagi setelah memperoleh penghargaan Kalpataru, Sudarno kerap diminta menularkan ilmunya ke kampung-kampung serta instansi yang terkait dengan masalah lingkungan. [SP/Teguh LR] Post Date : 13 November 2007 |