|
MENURUT data Bank Dunia pada tahun 2006, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat 108 juta penduduk atau sekitar 47 persen yang memiliki akses air terhadap air bersih yang aman untuk dikonsumsi. Berarti selebihnya 53 pesen penduduk Indonesia (lebih dari separo) belum mendapatkan air bersih. Padahal data juga menunjukkan bahwa 6 persen potensi air dunia atau 21 persen potensi air Asia terdapat di Indonesia. Ironis memang negara yang kaya air ternyata masih belum dapat dinikmati kekayaan tersebut oleh mayoritas penduduk. Uraian ini air hanya dilihat dari satu aspek yaitu untuk kebutuhan rumah tangga, padahal air telah menjadi sangat dominan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Disamping kebutuhan rumah tangga air juga berfungsi sebagai variabel penting tentang keberhasilan pangan atau pertanian dan air juga berpotensi sebagai penyedia energi. Maka sudah semestinya perhatian kita tentang air tidak akan berkurang, apalagi setiap memasuki kemarau, berita tentang air pasti mengemuka dengan gencar. Sebagaimana biasanya setiap siklus musim kemarau di Indonesia selalu menghadapi defisit air. Dari tahun ke tahun kekeringan terjadi dirasa semakin meluas, seolah musim telah berubah, curah hujan yang turun semakin berkurang sehingga air semakin kurang keberadaannya di bumi Indonesia. Defisit air memang paling nyata dan mudah diukur pada sektor pertanian, karena sektor ini merupakan penderita terakhir dari bencana kekeringan. Kemerosotan hasil bahkan kegagalan panen yang menyebabkan melesetnya angka ramalan produksi pangan (khususnya beras) adalah ukuran yang nyata dari pengaruh kekeringan. Itulah sebabnya bencana kekeringan baru banyak mendapat sorotan dan pemberitaan ketika semakin luas lahan pertanian tanaman pangan menjerit kekeringan. Di Propinsi Jawa Barat saja tahun lalu kekeringan menimbulkan potensi kerugian hingga Rp 625 miliar. Kesulitan air itu terjadi di 20 kabupaten dan 417 kecamatan, dan sebagian besar melanda lahan sawah. Belum lagi di propinsi lainnya di wilayah Indonesia. Kalau diakumulasikan mungkin dapat mencapai triliunan rupiah. Padahal air hujan yang jatuh di bumi Indonesia sekitar 2.779 mm dalam setahun. Dari 2.779 mm air hujan yang gratis itu, sekitar 66 persen menjadi air limpasan permukaan (run off) yang sebagian besar melimpas kembali ke laut lepas bergabung dengan air asin sehingga tidak termanfaatkan. Kita tidak berpikir panjang ke depan bahwa air sebagai salah satu variabel dalam ketahanan nasional belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah patani sudah pasti ketergantungan keberadaan akan air sangat besar. Ketersediaan air yang cukup bagi petani akan menjadikan penghasilan petani meningkat dan sudah pasti megurangi angka kemiskinan. Konsep teoritis: air kita berlimpah, tanah kita subur pasti petani kita juga makmur. Semua aspek kehidupan keluarga petani mulai dari pendidikan, kesehatan dan kemudahan lainnya dengan sendirinya akan membaik kalau konsep teoritis ini diimplementasikan dalam bentuk program fisik yang tepat sasaran. Kalau kita perpikir secara nasional masa kini dan masa depan maka pembangunan infrastruktur dan manajemen pengelolaan air semestinya selalu mendapat prioritas utama dalam sektor pembangunan. Di negara kita sebetulnya tidak ada kelangkaan air. Air hujan yang jatuh dari langit sangat lebih dari cukup untuk kebutuhan 230 juta penduduk Indonesia. Buktinya kekayaan kita terhadap air ini adalah bermainnya tangan konglomerat dunia melalui Bank Dunia untuk memberi peluang tentang komersialisasi dan privatisasi sumber daya air (SDA) di dalam Undang-Undang Sumber Daya Air, dan merupakan salah satu syarat bagi cairnya pinjaman Pemerintah Indonesia kepada Bank Dunia. Yang ada kenyataannya adalah ketidakmampuan kita mengelola sumber daya air yang berlimpah ini. Akankah jerit kekeringan lahan pertanian ini dibiarkan terus berulang dari tahun ke tahun? Atau dengan jeritan itu hanya akan menghasilkan berbagai seminar, simposium, lokakarya, dan lain-lain kegiatan akademis yang melahirkan profesor dan doktor? Karena air adalah sumber bahan pangan yang sangat mungkin dikelola, maka Ketahanan Air Nasional (KAN) terkait erat dengan Ketahanan Pangan Nasional (KPN). Dengan KAN yang tangguh akan memudahkan terwujudnya KPN yang tangguh pula. Jadi bukan hanya sebatas pada aktivitas akademik saja tetapi mengandung aspek dimensi yang begitu luas. Bukan tidak mungkin KAN ini akan jadi amunisi politik pada pesta pemilu yang akan datang. Mari kita mulai dari diri kita program hemat air, program kampanye hemat air perlu pula dilakukan secara berkelanjutan. Iklan di tv dan radio kiranya lebih baik didanai pemerintah daripada dana bertriliun-triliun dibelanjakan untuk membeli pangan dari luar. Dr Ruzardi (Penulis adalah Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII) Post Date : 07 November 2007 |