|
Bertahun-tahun lamanya masyarakat Desa Kemuning Lor, Kecamatan Arjasa, kesulitan mendapatkan air besih. Satu-satunya air yang bisa dimanfaatkan adalah air sumber. Itu pun butuh perjuangan berat untuk bisa mendapatkannya DARI depan kantor Desa kemuning Lor terlihat hamparan lahan gundul nan gersang. Hanya ada sisa-sisa tanaman tebu yang masih kecil. Tak jauh dari hamparan lahan gersang itu terdapat lembah di mana terdapat sumber air. Mata air itulah yang menjadi gantungan hidup bagi ratusan warga di Dusun Kopang Kebun, Darungan, dan Cupu yang masih masuk wilayah Kelurahan Baratan. Setiap pagi, siang, sore, dan malam, warga baik muda maupun tua berdatangan ke sumber air tersebut demi setimba air bersih. Hena, 65, warga Kopang Kebun ini satu di antara ratusan warga yang harus antre. Janda tanpa anak ini setiap hari harus membawa air satu timba penuh. Setelah mendapatkan air bersih, dengan tertatih dia menaiki jalan setapak yang kering dengan kaki telanjang. "Saya mengambil air satu timba saja. Badan saya nggak kuat kalau bawa dua timba. Ini saja sudah sangat berat," katanya sambil mengusap keringat di wajahnya. Hena mengaku, dia terpaksa turun ke lembah karena tak memiliki sanak keluarga yang bisa membantu mengambilkan air. "Saya mengambil air tiga kali seharinya buat masak dan minum saja. Kalau mencuci kadang-kadang saja. Baju saya hanya sedikit," jelasnya dengan bahasa Madura halus. Untuk meringankan bebannya, perempuan yang sehari-hari hanya mencari kayu bakar ini berharap ada tempat pengambilan air yang dekat dengan rumahnya. Memang, tukas dia, sudah ada pipa air yang dipasang beberapa tahun lalu untuk mengalirkan air bersih dari sumber air di daerah hulu, namun tak pernah berfungsi. "Nggak ada manfaatnya," keluhnya. Menurut Hari, warga yang juga mengoordinatori pelestarian sumber air, sebenarnya di Kemuning Lor sudah ada upaya pemerintah untuk membuat saluran air desa yang dibuat di Dusun Rayap. Namun fasilitas tersebut tak pernah bisa dirasakan oleh warga di bawah. "Akhirnya kami hanya bergantung pada sumber air satu ini. Tak hanya warga, guru dan siswa SD Kemuning Lor 4 dan pustu (puskesmas pembantu) juga tak punya air di kamar mandinya. Jadi harus beli air dari warga yang masih kuat mengangkut air," jelasnya. Pria kurus ini juga mengungkapkan beberapa kisah anak dan teman-temannya yang sekolah di SD tersebut. "Kalau ada yang ingin kencing, langsung kencing di belakang sekolah atau di sela tanaman tebu," katanya. Menurut mereka, warga sudah beberapa kali minta pembuatan tandon untuk menampung air ke pihak desa. Alasannya, daripada membuat sumur bor yang biayanya mahal, lebih baik sumber tersebut dirawat dan dibuatkan tandon. "Selama ini kami hanya mendapat janji-janji. Padahal ini kebutuhan masyarakat banyak," sesalnya. Karena tak ada perhatian, Hari dan masyarakat lainnya mengumpulkan dana sedikit demi sedikit. Uang yang tak terlalu banyak itu digunakan membuat kotak filter air sederhana dari semen, membeli pipa bekas untuk pancuran, hingga membuat tempat mencuci. "Dicicil sedikit demi sedikit. Nanti kalau uangnya terkumpul lagi, rencananya dibuat tandon air sehingga warga tidak terlalu lama antre dan airnya tidak terbuang sia-sia," harapnya. Namun demikian, bukan hal yang mudah mengumpulkan dana dalam jumlah besar dari masyarakat. Karena sebagian besar masyarakat adalah warga miskin yang bekerja sebagai buruh tebang tebu dengan penghasilan tak menentu. "Jangankan diminta uang, mikir anak sekolah atau membuat dapur tetap mengepul saja susah," tandasnya. (zawawi) Post Date : 30 Agustus 2007 |