Hari pertama Konferensi Perubahan Iklim ke-15 membuahkan Kesepakatan Copenhagen yang kontroversial. Kesepakatan ini hanya melindungi kepentingan negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, untuk menghindar dari tanggung jawab mereka mengurangi emisi karbon dan menanggulangi dampak perubahan iklim. Konferensi Copenhagen tidak akan menghasilkan kesepakatan yang adil bagi semua negara. ; Prediksi Hasil COP-15 Copenhagen; Peta Para Pihak
Para aktivis lingkungan dari pelbagai penjuru dunia yang pekan ini berkumpul di Copenhagen, Denmark, dalam rangka menghadiri Konferensi Perubahan Iklim ke-15, gusar dan geram. Mereka mengecam apa yang disebut sebagai Kesepakatan Copenhagen (Copenhagen Accords). Sebab salah satu poin dalam kesepakatan itu memuat klausul bahwa Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012.
Dokumen itu menyebutkan pemindahan tanggung jawab penanggulangan perubahan iklim dari negara penyebab (negara maju) kepada negara terdampak (negara miskin). Wajar jika para aktivis berang dengan munculnya naskah kesepakatan rahasia antarnegara maju tersebut. Selain dibahas secara diam-diam, dokumen itu dianggap tidak menghargai kepentingan negara-negara kecil dan miskin.
Posisi Denmark tidak netral selaku tuan rumah sekaligus Presiden COP-15 UNFCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). "Sikap plin-plan Pemerintah Denmark harusnya tidak terjadi karena wajib berperan netral selaku tuan rumah," kata Giorgio B. Indrarto, Koordinator Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF).
CSF bersama para aktivis lingkungan yang tergabung dalam Climate Justice Now! (CJN) menilai kesepakatan itu mencederai proses demokratis negosiasi PBB. Kemunculan Copenhagen Accords di forum perundingan kali ini memang kontroversial. Sesaat setelah acara pembukaan konferensi perubahan iklim pada 7 Desember lalu usai, Perdana Menteri Denmark, Lars Lokke Rasmussen, mengadakan pertemuan tertutup dengan beberapa perwakilan negara maju.
Tidak disebutkan negara mana saja yang terlibat dalam pertemuan itu. Juga tak disebutkan di mana pertemuan itu dilangsungkan. Yang jelas, pertemuan itu menghasilkan kesepakatan kontroversial tadi. Copenhagen Accords tampaknya menjadi alat untuk menegaskan keengganan negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, bertanggung jawab mengurangi emisi karbon dan menanggulangi dampak perubahan iklim.
Negara-negara itu memang selalu menolak menegaskan komitmennya dalam menurunkan emisi karbon sesuai dengan amanat Protokol Kyoto, karena akan berdampak pada perekonomian mereka. Sikap ini membuat setiap pertemuan para pihak (conference of the parties --COP) UNFCCC selalu menemui kesulitan untuk mencari kesepakatan.
Padahal, Protokol Kyoto telah menetapkan bahwa periode pertama dimulai pada 2008 sampai 2012. Dalam kurun waktu itu, negara-negara maju yang tergabung dalam Annex I Protokol Kyoto harus mengurangi emisinya 5,2% dari tingkat emisi mereka pada 1990. Ketika ketetapan ini belum juga disepakati, negosiasi tahap kedua sudah dimulai.
Dalam tahap kedua itu, ada keharusan bagi negara maju menegaskan target pengurangan emisinya untuk periode berikut, yang akan dimulai pada 2013. Seperti yang pertama, negosiasi tahap kedua ini kerap macet. Negara-negara dunia terbagi dalam beberapa blok, seperti blok negara berkembang G77+Cina, grup Afrika, Persatuan Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS), dan Uni Eropa.
Negara-negara berkembang dan miskin meminta komitmen negara maju untuk --secara keseluruhan-- memangkas 45% emisinya di bawah emisi tahun 1990 pada 2020. Namun, sejauh ini, negara-negara maju mengajukan target 16%-23%. Akibatnya, negosiasi yang dimulai pada 2006 dalam payung Kelompok Kerja Adhoc tentang komitmen lanjutan pihak Annex I Protokol Kyoto (AWG-KP) itu berlarut-larut.
Sebagai terobosan, dalam pertemuan COP ke-13 di Bali pada 2007, diupayakan satu jalur negosiasi lain yang dikenal dengan nama Bali Roadmap. Dalam kesepakatan ini, diatur adanya komitme, setelah berakhirnya Protokol Kyoto, dana adaptasi, alih teknologi, dan pengurangan emisi akibat penggundulan hutan di negara berkembang. Untuk itu, dibentuklah Kelompok Kerja Adhoc mengenai Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA).
Kelompok kerja itu bertujuan mencapai kesepakatan baru untuk menetapkan seberapa banyak negara-negara di dunia harus mengurangi emisi karbon mereka, bagaimana caranya, dan kapan harus dilakukan. Targetnya diserahkan kepada tiap-tiap negara. Kesepakatan itu harus bisa dicapai pada 2009 ini juga. Karena itu, sejak semula, pertemuan di Copenhagen diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan ini.
Masalahnya, bagi negara Uni Eropa, keharusan menghasilkan komitmen tunggal pengurangan emisi itu diartikan sebagai pengakhiran Protokol Kyoto setelah 2012. Padahal, baik jalur negosiasi AWG-KP maupun AWG LCA justru sama-sama bertujuan memperkuat pelaksanaan Protokol Kyoto.
Niat negara-negara maju mengakhiri Protokol Kyoto pada mulanya dianggap sebagai upaya memaksa negara-negara berkembang dengan emisi besar, seperti Cina, India, Brasil, dan Afrika Selatan, untuk sama-sama berkomitmen mengurangi emisi karbon mereka serta menghapus perbedaan antara negara-negara Annex I dan non-Annex I.
Di sisi lain, niat negara maju menghapus Protokol Kyoto itu dicurigai para aktivis lingkungan sebagai upaya negara maju menurunkan komitmen mereka atau malah menghindar sepenuhnya dari komitmen pengurangan emisi yang mengikat secara internasional. Pertemuan pendahuluan sebelum Copenhagen, yaitu pertemuan di Barcelona dan Bangkok, menegaskan sinyal itu. Negara-negara maju tetap enggan menetapkan target pengurangan emisi karbon mereka.
Sejauh ini, negara-negara tersebut, plus beberapa negara berkembang, masih berbicara dalam tahap komitmen, bukan aksi. Cina, misalnya, menyatakan bersedia menurunkan emisi karbonnya per unit GDP sebesar 40%-45% pada 2020 dibandingkan dengan level tahun 2005. "Ini aksi sukarela Pemerintah Cina berdasarkan kondisi nasional, dan ini adalah kontribusi utama Cina bagi upaya global menghadapi perubahan iklim," kata Perdana Menteri Cina, Wen Jiabao.
Walaupun niat mengurangi emisi itu tidak dalam skala nasional, menurut Yang Ailun, Manager Kampanye Greenpeace Cina, langkah Pemerintah Cina tersebut cukup positif. "Tetapi, kami pikir, Cina bisa berbuat lebih dari itu," kata Yang, seperti dikutip AFP. Hal serupa ditunjukkan Amerika Serikat. Negara adidaya ini berjanji mengumumkan target pengurangan emisinya sebelum pertemuan Copenhagen dimulai.
Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, memang telah menyampaikan komitmennya untuk mengurangi emisi sampai 17%. Namun target ini belum direstui parlemen. Debat antara Senat dan House of Representative masih cukup sengit menyangkut persentase target pemangkasan emisi karbon. House of Representative mengajukan penurunan secara berkala, yakni 17% dari level tahun 2005 pada 2020 dan 83% pada 2050.
Senat memiliki rencana lebih ambisius, yakni 20% penurunan pada 2020. Namun parlemen Amerika Serikat baru akan sampai pada pembahasan itu paling cepat tahun depan. Ini tak lain karena parlemen masih berkutat dengan proposal program kesehatan yang diajukan Presiden Obama.
Negara-negara Uni Eropa juga berniat mengurangi emisi karbon mereka sampai 30%. Sedangkan negara seperti Australia berkomitmen memangkas emisi karbon 5%-20%. Norwegia 30%, Jepang 25%, dan Rusia 10%-15%. Namun, lagi-lagi, semua itu baru niat di atas kertas. Komitmen itu harus diuji dalam meja perundingan di Copenhagen.
Masalahnya, belum lagi perundingan dimulai, muncul Copenhagen Accords yang menghebohkan itu. Jelas saja, para aktivis jadi pesimistis pertemuan kali ini bakal menghasilkan kesepakatan yang adil bagi semua negara. Apalagi jika kesepakatan itu dipaksakan menjadi komitmen bersama di akhir pertemuan.
Walhasil, keadilan iklim bak jauh panggang dari api. Menurut pihak CSF, jika Protokol Kyoto dihapus, masyarakat internasional akan kehilangan satu-satunya hukum internasional yang mengikat dalam menetapkan target komitmen kuantitatif negara maju dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Karena itu, mempertahankan agenda Protokol Kyoto justru menjadi keharusan dan menjadi cambuk bagi negara-negara maju untuk mencapai komitmen pengurangan emisi karbon dan waktu penerapannya di Copenhagen ini. Sebab kegagalan menyepakati periode komitmen berikutnya adalah pelanggaran terhadap Protokol Kyoto, yang berarti pelanggaran terhadap hukum internasional.
Sejauh ini, pihak Sekretariat UNFCCC membantah dugaan itu. Menurut Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer, dokumen yang diedarkan Rasmussen itu adalah dokumen "Adoption of the Copenhagen Agreement". "Itu paper informal yang diberikan kepada beberapa orang untuk tujuan konsultasi," tuturnya.
Karena itu, Pemerintah Denmark tetap yakin bahwa pertemuan kali ini bakal mencapai hasil yang diharapkan. Perdana Menteri Denmark, Lars Lokke Rasmussen, menegaskan bahwa setiap negara kini sadar bahwa perubahan iklim tidak mengenal batas. "Hal itu (perubahan iklim --Red.) tidak mengenal batas, dan dampak dari hal itu bisa terjadi pada kita semua," katanya dalam sesi pembukaan, Senin lalu.
Rasmussen juga menegaskan, 193 negara berkeinginan kuat mengambil langkah nyata untuk mengatasi dampak perubahan iklim. "Kita di sini, hari ini, karena kita semua punya komitmen untuk mengambil tindakan nyata," ujarnya lebih lanjut.
Pentingnya mengambil tindakan juga dinyatakan Dr. Rajendra Pachauri, Ketua UN Intergovernmental Panel on Climate Change. Menurut dia, emisi global harus segera dipangkas pada 2015 untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius. "Harga untuk merespons perubahan iklim yang semakin meningkat pesat seiring dengan perjalanan waktu. Karena itu, kita harus mengambil tindakan sekarang juga," tuturnya.
Keyakinan akan suksesnya pertemuan Copenhagen makin besar dengan adanya komitmen Barack Obama untuk hadir pada konferensi itu. Rencananya, Obama datang ke Copenhagen pada 18 Desember. "Kehadiran Obama ini memperlihatkan keinginannya untuk memberi sumbangan bagi sebuah kesepakatan global di Copenhagen," kata Rasmussen, seperti dilansir Associated Press.
Yvo de Boer pun menyambut kehadiran Obama. Menurut dia, kehadiran Obama sangat penting. "Dunia pada saat ini memperhatikan Amerika Serikat dan menunggu negara ini maju dengan target pengurangan emisi dan bantuan finansial untuk menolong negara berkembang," kata De Boer dalam sebuah jumpa pers di Bonn, Jerman, Rabu pekan lalu.
Kita tunggu saja, apakah keyakinan itu bakal terbukti. Patut dicatat, dalam pertemuan di Bali, Amerika Serikat sempat diolok-olok negara kecil Papua Nugini. "Kami berharap, Anda menjadi pemimpin dalam menurunkan emisi. Tapi, jika Anda tidak mau, silakan minggir dan biarkan kami memimpin," ujar delegasi Papua Nugini ketika itu. Sindiran ini mampu membuat Amerika Serikat mau menandatangani dokumen komitmen jangka panjang pengurangan emisi. Kini?
Prediksi Hasil COP-15 Copenhagen Berikut ini adalah prediksi kemungkinan hasil yang dicapai dalam pertemuan COP-15 di Copenhagen nanti. Prediksi ini dilansir International Institute for Environment and Development. Lembaga riset ini berbasis di beberapa negara, antara lain di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Pasifik.
Tidak ada kesepakatan: COP-15 bisa berakhir tanpa kesepakatan dengan harapan pembicaraan dilanjutkan pada 2010.
Menghasil keputusan atau kesepakatan untuk mengambil keputusan: Ini hasil kesepakatan terlemah, tapi bisa dikombinasikan dengan kesepakatan berikutnya yang lebih kuat.
Kesepakatan politik: Menghasilkan kesepakatan yang tidak mengikat secara hukum. Dan, dengan kesepakatan itu, setiap negara bisa menetapkan tujuannya masing-masing, termasuk bagaimana mencapai tujuan itu dengan acuan aturan hukum negara masing-masing. Kesepakatan macam ini paling disukai Amerika Serikat. Namun, sebaliknya, negara berkembang khawatir, pendekatan nasional ini akan memberi peluang kepada negara maju menggunakan aturan hukum mereka untuk mendiskriminasi ekspor dari negara berkembang jika mengandung emisi karbon.
Kesepakatan tunggal yang mengikat (Protokol Copenhagen): Pertemuan COP-15 Copenhagen akan menghasilkan Protokol Copenhagen untuk menggantikan Protokol Kyoto dan menyertakan isu tambahan, seperti adaptasi atas dampak perubahan iklim. Kesepakatan ini juga bakal memuat komitmen mitigasi bagi Amerika Serikat, plus aksi untuk negara-negara berkembang.
Menghasilkan dua protokol: Kesepekatan COP-15 bisa juga menghasilkan amandemen Protokol Kyoto, dengan meningkatkan hasil yang telah dicapai, plus kesepakatan baru yang mengikat secara hukum seperti yang dijelaskan tadi. Kebanyakan negara berkembang menginginkan hal ini.
Peta Para Pihak
Negara-negara yang hadir dalam COP-15 di Copenhagen akan terbagi dalam beberapa blok negara. Tiap-tiap blok memiliki kepentingan dan tujuan tersendiri menyangkut hasil yang akan dicapai di sana. Berikut adalah pihak-pihak tersebut dan kepentingan mereka:
G77 + Cina
Blok ini terdiri dari 130 negara yang posisi utamanya adalah menekan negara kaya untuk menerima tanggung jawab mereka atas terjadinya perubahan iklim dan mengurangi emisi secara besar-besaran, sementara tetap membolehkan negara G77+Cina tetap berkembang secara ekonomi.
Kelompok Afrika
Terdiri dari 50 negara yang menekankan pada kerentanan mereka terhadap dampak perubahan iklim. Kelompok ini sangat peduli pada isu-isu menyangkut kemiskinan dan akses terhadap sumber daya.
Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil (AOSIS) Adalah koalisi 43 negara kepulauan kecil dan negara yang permukaan pantainya berada di bawah permukaan laut. Mereka sangat khawatir meningkatnya permukaan air laut.
Kelompok Negara Miskin (Least Develop Country --LDC) Adalah kelompok negara termiskin di dunia, kebanyakan dari Afrika. Emisi mereka sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara kaya, dan mereka tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim. Meski kebanyakan dari mereka juga anggota G77+Cina, LDC dan AOSIS menginginkan negara berkembang besar seperti Cina dan India mengurangi emisi karbon mereka. Dalam kelompok ini, ada juga Koalisi Negara Berhutan Hujan. Meski bukan kelompok negosiasi resmi, kelompok ini terkadang menerbitkan pernyataan bersama.
Uni Eropa
Kelompok ini terdiri dari 27 anggota, tapi bernegosiasi sebagai satu kesatuan.
Kelompok Payung (Umbrella Group)
Terdiri dari negara-negara industri non-Uni Eropa, seperti Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Kazakstan, Selandia Baru, Norwegia, Rusia, Ukraina, dan Amerika Serikat.
Kelompok Integritas Lingkungan (Environment Integrity Group)
Terdiri dari negara seperti Meksiko, Korea Selatan, Swiss, Liechtenstein, dan Monako. Terkadang menetapkan diri sebagai kelompok negosiasi terpisah untuk memasukkan usulan mereka pada menit-menit akhir negosiasi atau dalam negosiasi tertutup.
Negara-negara Anggota OPEC
Kelompok ini bukanlah kelompok negosiasi formal, tapi 13 anggotanya berkoordinasi bersama untuk memperjuangkan kepentingan mereka. M. Agung Riyadi
Post Date : 16 Desember 2009
|