Bogor, Kompas - Kerusakan lingkungan di wilayah Puncak, yang menjadi hulu sungai-sungai pembentuk aliran Sungai Ciliwung, ikut mengganggu keseimbangan alam di Jawa Barat. Bencana kekeringan dan banjir yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya tidak terjadi jika keseimbangan alam dan sumber daya air tidak terganggu.
”Dari 81 miliar meter kubik air hujan per tahun yang turun di Jawa Barat, yang tertahan oleh tanah, tanaman, dan situ hanya 8,1 miliar meter kubik, atau sekitar 10 persen. Sisanya langsung ke sungai dan menyebabkan banjir,” ujar Ahmad Heryawan saat melepas Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 di Melrimba Kitchen, Cisarua, Bogor, Sabtu (17/1). Ekspedisi ini mendapat dukungan dari PT Pertamina (Persero), PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Bakrieland, dan Aetra.
Alasan yang sama menyebabkan Jabar kekeringan di musim kemarau. Menurut Heryawan, jumlah yang tertahan oleh tanah dan situ itu mencukupi kebutuhan air pada musim kemarau sebanyak 17 miliar meter kubik.
”Di saat kemarau terjadi kekeringan karena defisit air mencapai 9 miliar meter kubik,” ujarnya.
Selain menyebabkan banjir dan kekeringan, krisis air juga menimbulkan pertikaian antara kelompok masyarakat, misalnya perebutan air untuk irigasi sawah. Krisis air bahkan bisa menyebabkan perselisihan di antara pemerintah daerah.
Heryawan mengatakan, sumber daya alam (SDA) memang dapat dimanfaatkan, namun tetap harus menjaga keseimbangan. ”Pada dasarnya manusia memiliki sifat perusak dan pemelihara. Jika hutan dimanfaatkan, harus dilakukan konservasi.”
Menurut Heryawan, sumber daya air bisa dipelihara dengan melakukan penghijauan, memelihara fungsi situ, dan menjaga bantaran sungai. ”Ini tak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi harus menjadi gerakan bersama untuk menghijaukan daerah aliran sungai dan bersahabat dengan sungai,” ujar Heryawan.
Mengenai Sungai Ciliwung yang berhulu di Jawa Barat dan bermuara di Jakarta, tidak menutup kemungkinan pengelolaan bersama antara kedua provinsi untuk menyelesaikan masalah kerusakan hulu dan banjir tahunan di Jakarta.
Air tercemar
Menurut Kepala Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) Bambang Sukma, air yang berasal dari TNGP, Kabupaten Cianjur, yang merupakan salah satu sumber air bagi Ciliwung, terkontaminasi pestisida. Pencemaran terjadi akibat perambahan hutan di sekitar taman nasional untuk perkebunan rakyat.
”Tahun 2003 terjadi perluasan kawasan TNGP seluas 7.000 hektar, yang mengambil areal ekshutan produksi milik Perhutani. Di kawasan perluasan itu, hampir separuh lahan digarap oleh masyarakat untuk perkebunan sayur,” papar Bambang.
Sementara itu, kawasan di pinggiran TNGP dibuka untuk perkebunan rakyat. Hal ini mengakibatkan berkurangnya resapan air dan mempercepat laju erosi. Padahal, sebagian tanaman di kebun rakyat itu menggunakan pestisida.
”Erosi tanah yang mengandung pestisida itu menyebabkan air dari mata air di TNGP yang mengalir ke Sungai Ciliwung tercemar pestisida,” kata Bambang.
Total luas TNGP saat ini mencapai 21.975 hektar. Mata air di TN itu sebagian berperan sebagai pemasok air ke daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, Cisadane, dan Cimandiri. Kawasan itu sekaligus merupakan habitat beberapa satwa yang dilindungi, di antaranya macan tutul dan elang jawa.
Bambang juga mengatakan, kawasan TNGP merupakan cagar biosfer yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan pasokan sumber air ke sungai-sungai. Pihaknya saat ini berupaya melakukan restorasi di TNGP, di antaranya mendorong masyarakat untuk menanam pohon di kawasan ekshutan produksi, serta mengganti pohon monokultur dengan vegetasi asli hutan untuk memulihkan habitat.
Menurut Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja, hasil penelusuran menunjukkan Sungai Ciliwung tercemar berat. Sumber utama pencemaran berturut-turut meliputi limbah domestik, industri, peternakan, dan pertanian.
Muncul indikasi pencemaran pestisida dari pertanian yang merupakan limbah berbahaya dan beracun. Dalam kadar tinggi, limbah yang sulit terurai itu menimbulkan gangguan saraf, pencernaan, hingga kematian.
Meski demikian, pihaknya masih akan melakukan penelusuran lebih lanjut tentang kadar pestisida dalam air sungai di hulu sungai. Selain itu, masyarakat diharapkan mengganti penggunaan pestisida dengan pupuk organik.
Ekspedisi
Pelepasan tim yang dilakukan oleh Gubernur Ahmad Heryawan dan istri, juga dihadiri oleh Ketua Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja, Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi, dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun.
Pada hari pertama, tim ekspedisi mengunjungi Kampung Naringgul, Kampung Cibulao, dan Cikoneng di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Kampung-kampung itu terletak di hulu Sungai Ciliwung, dan menjadi permukiman buruh Perkebunan Teh Gunung Mas dan Ciliwung.
Di Kampung Cibulao ada Telaga Saat dan Telaga Warna, salah satu reservoir sumber mata air Sungai Ciliwung di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut. Tim juga mengamati dan memotret kawasan hulu Ciliwung dari udara dengan paralayang, serta Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. (nel/was/rzf/LKT/MUK/ YUL/rts/Nut/Ong/Eln/ Mzw/Lkt/Muk)
Post Date : 18 Januari 2009
|