|
KEKERINGAN sebagai "hantu" tahunan mendera sebagian wilayah Jateng. Seperti biasa kekeringan memberikan dampak yang tidak kecil terhadap pasokan air yang kurang baik untuk irigasi dan air bersih bagi rumah tangga. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jateng, kemarau tahun ini lebih kering daripada 2005. Di sejumlah tempat sentra produksi padi telah mengalami kekeringan, bahkan terancam puso. Daerah yang rawan kekeringan, yaitu, Kabupaten Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, Pemalang, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, Wonosobo, Purworejo, Magelang, Wonogiri, Sragen, Blora, Grobogan, Pati, Rembang dan Kota Pekalongan (Suara Merdeka, 12/7). Potensi konflik yang patut diwaspadai. Konflik kepentingan untuk memperoleh air tersebut tidak saja terjadi antarprioritas penggunaan air. Tapi juga konflik antarpengguna air irigasi untuk pertanian. Pemerintah dalam mengantisipasi kekurangan air bersih di beberapa daerah telah mengalokasikan anggaran untuk daerah yang perlu air bersih. Mestinya adanya kelimpahan air di musim hujan yang tak termanfaatkan dapat disimpan sebagai cadangan untuk keperluan di musim kemarau. Lazimnya cadangan air tersebut ditampung sementara pada waduk atau bendungan, atau pada lokasi penampungan hujan maupun pada daerah resapan air hujan. Belum efektifnya kebijakan pemerintah dalam penanganan kekeringan ditandai oleh implementasi di tingkat lapangan yang belum optimal. Sesunggunnya, Departemen Pertanian sudah menyusun peta daerah rawan kekeringan. Nyatanya peta ini kurang tersosialisasi ke penyuluh dan petani, sehingga tak bisa menjadi input bagi petani yang akan menanam padi. Demikian pula sosialisasi penyesuaian pola tanam yang mengacu pada ketersediaan air termasuk penggunaan varietas genjah yang tahan kekeringan kurang gencar. Apa yang terjadi saat ini akan terus terjadi di masa mendatang jika tak dilakukan langkah antisipasi. Yang menyedihkan adalah kawasan hijau yang selama ini menjadi penyangga justru telah rusak. Krisis air sekarang ini bersifat kumulatif dari tahun ke tahun dan menunjukkan tendensi kian meningkat. Bencana kekeringan ini adalah akibat adanya kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan penyusutan luas hutan. Usaha preventif dalam menangani kekeringan merupakan hal yang harus diprioritaskan ketimbang tindakan represif yang cenderung menguras dana dan banyak tenaga. Cepat Mengantisipasi Menghadapi datangnya musim kering tentu masyarakat harus cepat mengantisipasi. Mungkin ada sebagian masyarakat petani yang pasrah terhadap kondisi kekurangan air ini. Tapi mengingat siklus kekeringan terjadi setiap tahun, maka upaya konkret mengantisipasi itulah yang harus ditemukan. Untuk mengatasi kekeringan di daerah pertanian pemerintah bersama masyarakat telah menempuh sejumlah langkah. Contoh, membuat sumur pantek dan memakai pompa air untuk mengambil air dari sumber-sumber air. Petani juga di imbau mengganti tanaman padi dengan palawija. Juga dianjurkan agar petani menanam tanaman yang tidak perlu banyak membutuhkan air. Di sisi lain, perlu menyebarluaskan informasi mengenai sifat dan curah hujan kepada masyarakat. Ke depan, upaya penanggulangan kekeringan yang paling efektif adalah melakukan konservasi air, seperti membuat waduk dan embung yang banyak. Dengan demikian, di musim hujan air untuk sementara bisa disimpan. Tentu, konservasi air juga bermanfaat untuk mengurangi terjadinya banjir. Harus disadari bersama, apa yang terjadi saat ini akan terus terulang di masa mendatang, jika tak dilakukan langkah penanganan secara komprehensif. Yang menyedihan adalah kawasan hijau yang selama ini menjadi penyangga justru telah rusak. Di samping itu, kecenderungan hidup boros dalam menggunakan air perlu diminimalkan. Penggunaan air yang tidak efisien memperlihatkan sikap dan perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap pendayagunaan SDA secara optimal. Pada gilirannya, dengan kekeringan yang mulai mengadang ini sebaiknya membuat masyarakat kita makin menyadari pentingnya manajemen pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Itulah sebabnya, perlu solusi bijak sebagai exit strategy yang ampuh dalam menggugah kesadaran hidup harmonis bersama alam semesta untuk mengatasi krisis air.(11) Agus Wariyanto, Wakil Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI); Kabid Agribisnis pada Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan (BBMKP) Prov Jateng Post Date : 29 Juli 2006 |