|
[JAKARTA] Indonesia menempati urutan kedua setelah Tiongkok, sebagai negara dengan angka kematian diare terbanyak di Asia. Hal ini akibat masih kurangnya perhatian pada masalah sanitasi. Asian Development Bank menyebutkan, pencemaran air di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun atau 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara. Hal itu terungkap dalam pada diskusi "Menyongsong Tahun Sanitasi Internasional 2008", di Jakarta, Selasa (22/1). Pembicara dalam diskusi antara lain Direktur Pemukiman dan Perumahan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Budi Hidayat, mantan duta besar Millennium Development Goals (MDGs) untuk PBB di Indonesia, Erna Witoelar, Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Budi Yuwono, dan anggota Komisi VII DPR, Tjatur Sapto Edi. Budi Hidayat mengemukakan, perekonomian Indonesia mengalami dampak kerugian akibat pencemaran air, yang mencakup biaya kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk pariwisata, dan tingginya angka kematian bayi. Erna menambahkan, persoalan sanitasi merupakan isu yang sangat penting, namun selalu luput dari perhatian. Persoalan Sanitasi erat hubungannya dengan persoalan-persoalan MDGs lainnya, sehingga jika pengolahan sanitasi selalu buruk, maka peningkatan lain seperti kemiskinan dan kematian anak juga tidak dapat berkembang. Dia mengemukakan, Program Pembangunan PBB (UNDP) menyebutkan bahwa hampir 50 persen penduduk di negara berkembang tidak memiliki akses pada sanitasi yang layak, sehingga hampir 70 persen air tanah perkotaan terkontaminasi oleh bakteri tinja yang parah. Sementara itu, Budi Yuwono, mengatakan, perhatian pemerintah daerah masih terpusat pada pembangunan-pembangunan ekonomi seperti prasarana jalan, sehingga perhatian mengenai sanitasi dikesampingkan. Ia juga menyadari masih terbatasnya pendanaan pemerintah untuk sanitasi serta rendahnya kepedulian mengenai sanitasi, baik dari pemerintah maupun masyarakat. "Hanya sekitar 55 persen masyarakat Indonesia yang mendapatkan pelayanan sanitasi secara baik, dan menempati peringkat ke-6 dalam pelayanan sanitasi di ASEAN, bahkan lebih rendah dari Myanmar," ujarnya. Sedangkan kondisi tahun 2007, ungkapnya, sebesar 19,67 persen masyarakat Indonesia tidak memiliki akses untuk sanitasi, dan hanya 40,67 persen penduduk yang memiliki akses pembuangan ke septic tank. Sisanya, membuang tinja ke sungai, kebun, empang, dan di lubang-lubang seadanya. Dia mengingatkan, angka-angka tersebut sangat memprihatinkan karena sarana sanitasi merupakan kebutuhan terpenting dalam kehidupan sehari-hari setiap orang. Kurangnya perhatian dari pemerintah daerah dan kurang tepatnya regulasi dari pemerintah pusat, menjadikan permasalahan sanitasi tidak pernah menjadi wacana yang penting dalam masyarakat. Paradigma Pemerintah Tjatur Sapto Edi menambahkan, kurangnya perhatian sanitasi lebih banyak dikarenakan paradigma pemerintah yang memiliki banyak prioritas, namun tidak satu pun dari prioritas itu mencantumkan mengenai sanitasi maupun lingkungan hidup. Padahal, kerugian "Pada kampanye presiden yang kemudian dijadikan sebagai landasan RKP (Rencana Kerja Pemerintah) tidak ada satu pun poin yang membahas mengenai sanitasi, sehingga permasalahan tersebut tidak mendapat perhatian. Saya menilai, presiden tidak peduli pada lingkungan hidup," katanya. Ia berpendapat, pemerintah masih melihat sanitasi sebagai bagian kecil dari infrastruktur. Padahal, sanitasi sesungguhnya adalah bagian tak terpisahkan dari pola hidup masyarakat yang bersih. Kondisi itu sesungguhnya terkait dengan kenyataan bahwa dalam 30 tahun terakhir, pemerintah Indonesia ternyata hanya menyediakan dana sekitar Rp 7,7 triliun untuk masalah sanitasi, atau berarti hanya sekitar Rp 200 per penduduk per tahun. Padahal, kebutuhan minimal demi akses sanitasi yang memadai sekitar Rp 47.000 per orang per tahun. Ia menambahkan, di tahun 2008, anggaran untuk infrastruktur Departemen Pekerjaan Umum sebesar Rp 36,1 triliun, namun hanya Rp 2,3 triliun yang dialokasikan untuk pembangunan air minum dan sanitasi. Dari jumlah itu, hanya Rp 500 miliar dialokasikan untuk sanitasi. Pada anggaran APBD pada umumnya, alokasi dana untuk pembiayaan sanitasi kurang dari dua persen. Hal tersebut memperlihatkan sangat sedikitnya perhatian pemerintah pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan salah satu target MDGs, yaitu perolehan akses untuk air bersih dan sanitasi yang layak. [CAT/S-26] Post Date : 23 Januari 2008 |