Kerja Sama Pengelolaan Sumber Daya Air

Sumber:Kompas - 27 Desember 2006
Kategori:Air Minum
Konflik pengelolaan sumber daya air tidak hanya terjadi antarmasyarakat, tetapi juga terjadi antarpemerintah daerah. Kasus kerja sama pemanfaatan sumber air antara Pemerintah Kota Malang dan Pemerintah Kota Batu menjadi contohnya. Kasus ini juga menjadi cerminan untuk merefleksikan sebuah kerja sama yang belum berorientasi pada kepentingan publik serta keberlanjutan lingkungan.

Kawasan Malang Raya yang meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu merupakan satu kawasan yang bukan hanya berdekatan secara wilayah administratif, tetapi juga satu kawasan yang saling tergantung di bidang ketersediaan sumber daya air.

Kota Malang yang berada pada ketinggian 399-622 meter di atas permukaan laut dalam memenuhi ketersediaan air baku lebih banyak memanfaatkan sumber air yang berada di luar wilayah Kota Malang. Di antaranya, sumber air Wendit dengan debit sebesar 1.500 liter per detik, sumber air Sumbersari dan Karangploso dengan debit sebesar 40 liter per detik. Ketiga sumber air ini berada dalam wilayah Kabupaten Malang.

Kota Malang juga memanfaatkan sumber air Banyuning dan Binangun yang berada dalam wilayah Kota Batu. Dalam pengelolaaannya, ketiga daerah otonom ini melakukan perjanjian kerja sama pemanfaatan mata air. Namun, tampaknya kerja sama ini mengalami ketegangan sebagai akibat dari pengaturan yang tidak detail dalam hal aspek retribusi, evaluasi, pengawasan serta konservasi atas sumber daya air. Perbaikan kebijakan

Dalam pengelolaan sumber daya air bukan hanya terdapat kebijakan yang salah, tetapi juga terdapat paradigma yang salah. Jika hal ini terus berlangsung dan tidak ada perbaikan kebijakan, maka kemungkinan akan terjadi ancaman yang serius terhadap ketersediaan air di Indonesia.

Konflik pengelolaan air yang telah penulis paparkan di atas hanyalah satu contoh kecil betapa krusialnya manajemen air. Meskipun undang-undang sudah mengatur dengan jelas, dalam pelaksanaannya tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan. Artinya pemerintah harus memiliki sistem yang terpadu sebagai senjata utama untuk mengatasi masalah krisis air. Adapun otonomi daerah seharusnya menjadi instrumen untuk dapat mengelola sumber daya air secara lebih baik.

Koordinasi dan kerja sama lintas sektoral serta antardaerah harus diformulasikan dengan mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan khususnya sumber daya air.

Untuk mewujudkan itu, dimungkinkan adanya kerja sama antarpemerintah daerah dalam hal pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya air. Demikian juga dalam Pasal 17 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk melakukan kerja sama antardaerah dalam hal pengelolaan sumber daya alam mulai dari pemanfaatan, budidaya, pengendalian dampak, dan pelestariannya. Bahkan, daerah otonom diperbolehkan untuk melakukan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Namun, daerah juga wajib melakukan penyelarasan lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Hal tersebut di atas diimplementasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Air Minum, yang mengamanatkan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, harus menjamin tersedianya air bersih yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini ditidaklanjuti oleh Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005 tentang Kerja Sama Antardaerah. Dalam surat edaran ini tersurat bahwa daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah lainnya untuk kepentingan masyarakat.

Namun demikian, selama ini koordinasi yang ada masih bersifat sektoral, kalaupun terdapat kerja sama antardaerah, konteks kerja samanya masih lemah. Paradigma kerja sama masih berorientasi pada perolehan retribusi daerah atau peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Kerja sama belum mengarah kepada jaminan pelayanan masyarakat akan kebutuhan air secara bersama. Begitu pula pembahasan antarpemerintah daerah dalam upaya bersama memikul beban konservasi sumber daya air sangat minim dibicarakan.

Kecenderungan yang ada dalam perjanjian kerja sama pemanfaatan sumber daya air selama ini hanyalah perjanjian soal besaran biaya pemanfaatan dan pemakaian air. Lebih dari itu jarang sekali untuk dibicarakan.

Seharusnya dalam perjanjian jelas tertera tentang pertanggungjawaban, sanksi hingga upaya konservasi sumber air. Hal ini penting bukan hanya demi kepastian hukum, tetapi menyangkut hajat hidup masyarakat banyak dalam hal ketersediaan air serta keberlanjutan potensi sumber daya air yang selamanya menjadi kebutuhan bersama. Berpotensi konflik

Lemahnya perjanjian ini mengindikasikan bahwa potensi konflik pengelolaan sumber daya air antarpemerintah daerah dapat muncul bukan hanya karena keterbatasan sumber daya air secara alami saja, tetapi juga secara normatif. Peraturan yang lemah dan kebijakan yang tidak jelas berpotensi sebagai pemicu konflik.

Letak geografis dan kondisi hidrologis sebuah daerah juga menentukan ada atau tidaknya ketersediaan air. Daerah yang berada pada hulu sungai atau pada posisi yang lebih tinggi cenderung memiliki sumber air yang besar. Hal sebaliknya terjadi pada dataran rendah atau daerah hilir sungai.

Jika demikian halnya, sungguh kerja sama yang disusun harus adil dan betul-betul secara koordinatif menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air yang terpadu serta berkelanjutan.

Tidak menutup kemungkinan Kota Malang akan kehilangan pasokan air mengingat sebagian besar bahan baku air mengambil dari luar daerah, yaitu Kota Batu dan Kabupaten Malang. Prediksi ini bukan tanpa alasan jika masing-masing daerah dalam mengatur dan melindungi sumber daya air masih menggunakan paradigma lama. Kebuntuan pembahasan pada nilai atau harga air menunjukkan bahwa peningkatan PAD menjadi tujuan utama, sedangkan paradigma tersebut mestinya sudah harus ditinggalkan.

Konsep konservasi seharusnya menjadi pokok perhatian antarpemerintah daerah demi keberlanjutan ketersediaan air serta jaminan bagi masyarakat akan ketersediaan air. Bagaimanapun sikap dan paradigma yang jumawah atas pertumbuhan ekonomi akan berdampak besar bagi masyarakat. Terlebih menyangkut hajat hidup orang banyak, yaitu ketersediaan air.

Warkhatun Najidah SH Staf Peneliti di Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang



Post Date : 27 Desember 2006