Masyarakat Jakarta masih mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal defisit air di Ibu Kota kian hari kian besar. Harus ada langkah-langkah pencegahan sebelum krisis air memuncak. Berikut ini adalah tulisan keempat untuk menggambarkan pentingnya penyediaan air bersih bagi masyarakat.
Asisten Gubernur DKI Jakarta Bidang Pembangunan Sarwo Handayani mengatakan kajian-kajian akademis tentang penurunan permukaan tanah di Ibu Kota tentu mendapat apresiasi. Karena itulah, pemerintah membuat struktur harga air yang bisa dijangkau masyarakat. "Biar masyarakat bisa beralih," katanya di Balai Kota, dua hari lalu.
Karena itu, Sarwo tidak sepakat jika dikatakan harga air bersih di Jakarta paling mahal di Asia Tenggara. Dia yakin harga yang ditetapkan saat ini relatif sama dengan negara-negara berkembang. "Mahal atau murah tergantung segmen penggunanya," ucap dia.
Pemerintah juga akan mempertahankan kerja sama yang saat ini masih berjalan dengan dua perusahaan penyedia air bersih. Kerja sama ini sama sekali tidak memiliki aspek bisnis. "Air minum itu kepentingan dasar. Pemerintah tidak mencari untung," kata Sarwo.
Harga air bersih di Jakarta saat ini Rp 7.500 per meter kubik. Harga yang cukup mahal dibanding harga air bersih di kota-kota lain di Asia Tenggara. Di Malaysia, misalnya, harga air termahal ada di Kota Johor, yaitu 0,9 ringgit (sekitar Rp 2.470) per meter kubik. Di Hong Kong, harga memang hampir sama dengan Jakarta. Namun gratis untuk yang menggunakan air di bawah 12 meter kubik.
Firdaus Ali, dari Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, mengatakan bisnis air di Jakarta memang sangat menguntungkan. Pemerintah menjamin operator penyedia air bersih mendapat keuntungan sebesar 22 persen. Jaminan itu tercantum dalam kontrak perjanjian kerja sama. "Padahal, di negara lain, keuntungan 16 hingga 18 persen saja sudah termasuk tinggi," katanya.
Sayang, mahalnya harga air di Jakarta ini tak berbanding lurus dengan pelayanannya. "Pelanggan masih mengeluhkan masalah kuantitas dan kualitas air," kata Sukarlan, Ketua Komite Pelanggan Air Minum DKI Jakarta. Menurut dia, sejak dua operator swasta beroperasi melayani air bersih pada 1998, tak banyak peningkatan layanan yang dapat dinikmati masyarakat Jakarta.
Tanpa ada pembenahan pelayan, penduduk Jakarta tetap mengandalkan air tanah. Padahal penyedotan air tanah secara massal dan terus-menerus ini membuat permukaan tanah turun. Pada akhirnya daratan tenggelam karena lebih rendah dari permukaan laut.
Menurut Sarwo, pada prinsipnya pemerintah masih memberikan ruang bagi masyarakat untuk menggunakan air tanah dalam. Namun kelonggaran itu dibatasi oleh peraturan daerah yang mengatur penggunaan air tanah. Kepala Subdirektorat Pengelolaan Sumber Daya Perkotaan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta, Wasis Gunawan, mengatakan sebenarnya penggunaan air tanah di Jakarta sudah turun sejak diterapkannya Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2009 tentang Tarif Air Tanah.Sofian | RIKY FERDIANTO
Post Date : 12 Maret 2010
|