|
Siapa pun yang tinggal di Jakarta sejak tahun 1960-an pasti dapat mengingat bagaimana masyarakat kerap bergotong royong pada hari Minggu membersihkan lingkungan mereka. Selokan di depan rumah menjadi sasaran utama kerja bakti. Penggerak kerja bakti adalah ketua RT. Bila kita percaya perilaku individu ketika dilakukan banyak orang bersama-sama dapat memberi dampak raksasa, perilaku membuang sampah adalah contohnya. Sampah menjadi masalah ketika dia menyumbat selokan, lalu kali, dan kemudian sungai. Dan sampah yang menyumbat selokan hingga sungai itu merupakan hasil perbuatan individu yang membuang sampah sembarangan. Alih-alih bekerja bakti membersihkan got dari sampah agar mengalir lancar, yang terjadi sampah apa pun dibuang ke selokan dan sungai. "Sungai dianggap sebagai no mans land, semua orang merasa boleh buang apa saja ke sungai," kata Emil Salim, mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan & Lingkungan Hidup (1978-1983) dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1988, 1988-1993). Titi Qadarsih (62) yang pernah terkenal sebagai model dan artis, memilih mengungsi dari Jakarta dan pindah ke Desa Cinangka, Sawangan, Depok, sejak 1992. Dia dapat mengingat saat tinggal bersama ayahnya, Muhamad Sardjan, yang Menteri Pertanian, di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada tahun 1952 sampai 1970. Selama 15 tahun Titi tinggal di kota yang dirancang menjadi satelit Jakarta. Kata Titi, suasana kota saat itu masih tenang dan lingkungannya baik. Setelah itu Titi tinggal bersama suami di Tebet, kemudian pindah ke kawasan Kemandoran di Jakarta Selatan. Di situ juga tidak bertahan lama sebab daerah yang tadinya terbuka dan hijau kemudian penuh sesak. "Di situ saya sering batuk, pilek, alergi kulit. Lingkungan kota yang tambah rusak membuat kesehatan menurun," tutur Titi. Cinangka lalu menjadi pilihannya. Perancang busana Carmanita (50) juga penduduk lama Kebayoran Baru. Sejak kecil dia tinggal di daerah Brawijaya, lalu pindah ke Sinabung, dan sejak 1986 di Wijaya Timur. Dia bisa mengenang bagaimana nyamannya Kebayoran Baru saat itu. Ketika menjadikan rumah di Wijaya Timur sebagai tempat kerjanya, daerah itu memang sudah terkena banjir karena letaknya di dekat Kali Krukut. "Tetapi, enggak pernah banjir masuk rumah, paling di jalan saja. Mulai 10 tahun lalu keadaan memburuk. Banjir masuk ke rumah," kata Carmanita. Rabu sore pekan lalu ketika hujan cukup deras mengguyur sebagian Jakarta, termasuk bagian selatan, tempat kerja Carmanita kebanjiran lagi. "Sampah dan tata kota yang amburadul itu penyebabnya. Lahan terbuka hijau dijadikan bangunan, sampah menggunung tidak diangkut, orang buang sampah sembarangan," kata Carmanita gemas. Peran masyarakat Emil Salim berpendapat, menyelesaikan masalah sampah yang membuat banjir Jakarta harus dengan mengikutsertakan masyarakat yang dikoordinasikan melalui RT dan RW. Pokok masalah Jakarta dalam kaitan perilaku masyarakat menurut Emil Salim adalah berubahnya kekerabatan masyarakat paguyuban di daerah asal, menjadi patembayan ketika mereka datang mengadu nasib di Jakarta. Emil Salim menyebutkan, dalam diskusi evaluasi banjir besar di Jakarta tahun 2002, salah satu kesimpulan menyebutkan, organisasi yang paling efektif menangani korban banjir adalah RT dan RW. Melalui RT dan RW warga mengorganisasikan pengungsian, dapur umum, hingga menjaga rumah yang ditinggal mengungsi penghuninya. Syarat lain yang harus dipenuhi menurut Emil Salim adalah memastikan tegaknya hukum dan menguatkan tata kelola pemerintahan. Tanpa dukungan dua komponen itu, yang akan berlaku adalah "law of the jungle", siapa yang kuat akan menang, dan premanisme. "Dengan dukungan kepastian hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik, RT dan RW dapat mengembangkan jejaring untuk melahirkan paguyuban seperti di pedesaan. Dengan demikian akan tumbuh rasa memiliki warga untuk menjaga apa yang menjadi milik bersama, termasuk barang milik bersama tetapi tidak diberi nilai ekonomi seperti sungai dan udara. (Ninuk M Pambudy/ Ilham Khoiri) Post Date : 18 Maret 2007 |