Jakarta, Kompas - Semua pemangku kepentingan air bersih harus turut mengontrol besaran tarif yang dikenakan kepada masyarakat. Jika tarif air dibiarkan naik berdasarkan inflasi dan kebutuhan finansial operator, rata-rata tarif air pada 2012 dapat mencapai Rp 10.793 per meter kubik.
Anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum Firdaus Ali mengingatkan hal itu hari Kamis (4/6) di Jakarta Pusat. Menurut dia, perhitungan tarif itu didasarkan pada penyusunan pembaruan perjanjian atau rebasing antara operator dan PAM Jaya 2008-2012 yang belum disahkan oleh Gubernur DKI Jakarta.
Perhitungan tarif didasarkan pada penyusunan besaran imbal air (water charge) dan biaya produksi air bersih. Imbal air merupakan sejumlah dana yang diberikan PAM Jaya kepada kedua operatornya, Palyja dan Aetra, karena sudah memproduksi dan mendistribusikan air bersih.
”Jika hanya didasarkan pada komponen biaya produksi, imbal air dan tarif yang dikenakan kepada masyarakat akan terus naik karena dorongan inflasi. Namun, jika dikaitkan dengan kinerja, kenaikan tarif tidak akan secepat itu,” kata Firdaus.
Kinerja yang dimaksudkan adalah tingkat kebocoran, volume air terjual, produksi air bersih, dan cakupan pelayanan. Jika tingkat kebocoran dapat ditekan dan volume air terjual meningkat, pemasukan PAM Jaya naik. PAM Jaya tidak perlu membebani pelanggan dengan tarif yang tinggi untuk membayar imbal air kepada operator.
Tingkat kebocoran Aetra masih mencapai 50 persen dan Palyja 45,2 persen. Tingkat kebocoran itu mengindikasikan hampir setengah air bersih yang diproduksi operator PAM Jaya terbuang percuma.
Pada 2012, kebocoran Aetra ditargetkan turun sampai 42 persen dan Palyja turun sampai 35,4 persen. Penurunan ini akan menambah pasokan air bagi pelanggan dan menguntungkan operator karena volume air terjual meningkat.
Selain itu, kata Firdaus, kedua operator PAM Jaya harus terus memperluas cakupan pelayanan agar semua penduduk Jakarta dapat menikmati pasokan air bersih. Penambahan pelanggan juga diperlukan agar tekanan air dapat terdistribusi dan mengurangi risiko pecahnya pipa.
YLKI menolak
Sementara itu, Project Officer Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih mengatakan, gubernur harus menekan kenaikan tarif sampai titik minimal. Sebelum ada kenaikan tarif per golongan, kedua operator PAM Jaya sudah menerapkan kenaikan tarif secara terselubung.
Pola kenaikan tarif itu dilakukan dengan menaikkan golongan pelanggan, misalnya dari rumah tangga kecil menjadi rumah tangga menengah. Dengan cara ini, jumlah uang yang harus dibayar pelanggan naik sampai 100 persen meskipun besaran tarif tidak terlihat naik.
Dengan adanya praktik ini, kata Indah, banyak warga yang dirugikan. Jika pola ini tidak dikontrol dan ditambah dengan kenaikan tarif, kelompok warga miskin yang akan menanggung beban paling berat.
YLKI menolak kenaikan tarif. Selain itu, sering terganggunya pasokan air, air yang keruh, dan pasokan air tidak lancar selama 24 jam membuat masyarakat mengalami ketidakadilan.
Kepala Komunikasi Palyja Meyritha Maryanie membantah, pihaknya melakukan perubahan golongan pelanggan demi mendapatkan tambahan pendapatan. Menurut dia, perubahan golongan pelanggan disesuaikan antara kondisi rumah saat sambungan awal dan kondisi kini.
Ada rumah yang tipenya 21 saat sambungan pipa pertama kali dipasang, tetapi kini luas rumahnya sudah 36 meter persegi. Perubahan tipe rumah itu harus diikuti dengan perubahan golongan pelanggan sesuai dengan aturan yang berlaku.
”Perubahan golongan pelanggan disesuaikan dengan kondisi rumah para pelanggan, bukan untuk menaikkan tarif. Jika tidak disesuaikan, PAM justru tidak adil dengan pelanggan yang golongannya sudah sesuai dengan luas rumahnya,” katanya. (ECA)
Post Date : 05 Juni 2009
|