JAKARTA(SI) – Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menolak permohonan dua operator air minum yang meminta kenaikan tarif.Alasannya pelayanan dan distribusinya masih sangat buruk.
Fauzi Bowo menegaskan,kenaikan tarif air minum tidak akan terjadi di Jakarta. Jika, memang terjadi kenaikan maka harus ada pembahasan yang lebih mendalam sehingga masyarakat tidak akan dirugikan. ”Kami tidak akan meloloskan permintaan kenaikan itu selama tingkat pelayanan yang diberikan masih rendah” kata Fauzi Bowo di Balai Kota DKI Jakarta. Gubernur menambahkan,pada akhir 2012 saat proyek pembangunan pabrik penghasil air bersih di Jatiluhur,Jawa Barat selesai maka tarif air akan lebih terjangkau bagi masyarakat.
Tarif air bisa lebih rendahditerapkankarenaairakanlangsung diolah di Jatiluhur kemudian dialirkan ke operator yang tinggal mendistribusikan saja tanpa harus memprosesnya lagi ke pelanggan. Studi kelayakan proyek yang bernilai Rp3 triliun tersebut akan dimulai pada 2010. Skema kerja samanya adalah public private partnership, di mana Pemprov DKI Jakarta akan bekerja sama dengan swasta untuk melakukan investasi. Pihak swasta diutamakan adalah perusahaan perpipaan.
”Jadi tinggal distribusi saja tanpa harus diolah lagi di Jakarta sehingga masyarakat dapat menikmati harga yang terjangkau dengan struktur tarif yang kita tentukan,”lugasnya. Direktur Teknis PD PAM Jaya Sri Widayanto mengakui tarif air di Jakarta memang rendah. ”Sebanyak 57% atau 500.000 pelanggan berada pada tarif rendah hingga menengah dengan rata-rata pengenaan tarif kurang lebih Rp3.275 per meter kubik,”jelasnya.
Kalaupun harga yang dijual oleh penjual air gerobak lebih tinggi dari Rp3.275 per meter kubik,lanjut Sri, itu karena memperhitungkan tambahanbiaya operasional,biaya antar dan keuntungan penjual. Belum layaknya kenaikan tarif air minum karena masih banyak warga yang belum terlayani air bersih. Menurut Manajer Pelayanan dan Humas PD PAM Jaya Teguh Suhartono, baru 63% masyarakat Jakarta yang terlayani jaringan pipa dan hidran umum.Sementara 37% pelanggan dilayani dengan kios air.
Kios air berupa tangki tandon yang ditempatkan PAM Jaya setiap dua hari sekali di daerah yang tidak terjangkau jaringan pipa.Kios air ini pun baru terdapat di 40 lokasi di Jakarta.”Keberadaannya hanya mengurangi sekitar 5% dari total pelanggan yang belum terlayani,”ujarnya. Selain itu pula kedua operator belum mampu menurunkan tingkat kebocoran air. Pam Lyonasse (Palyja) misalnya mengalami 43,8% kebocoran setiap tahun. Sedangkan kebocoran yang dialami Aetra mencapai 49,7%. Daerah yang kerap kali terjadi kebocoran adalah Jakarta Selatan.
”Hal ini disebabkan karena tekanan air terlalu tinggi di daerah tersebut sehingga pipa pun retak,”paparnya. Kebocoran tersebut membuat tingkat teknis dan layanan setiap operator tidak memenuhi target yang ditetapkan PD PAM Jaya.Untuk mengurangi kebocoran sebetulnya Aetra bertugas memantau 74 titik, sedangkan Payja 80 titik. ”Kalau satu titik tidak terpantau maka mereka mendapatkan penalti,” ujarnya. Penalti yang ditetapkan adalah pembayaran kompensasi Rp7 juta per titik setiap bulan.
Pada 2008, kompensasi Aetra mencapai Rp184 miliar sedangkan Palyja Rp166 miliar.Selain penalti,kedua operator pun mesti membuat rencana investasi untuk meningkatkan pelayanan.Pada 2010 total investasi Aetra Rp212 miliar dan Palyja Rp204 miliar. Investasi tersebut umumnya digunakan untuk membangun jaringan primer, sekunder, dan tersier. ”Palyja sekitar 100 km dan 120 km Aetra,” tambahnya. Corporate Communication Head Palyja Meyritha Maryanie Meyritha Maryanie menyatakan, kenaikan tarif air minum belum dilakukan sejak tiga tahun lalu.
”Wajar kalau sekarang kami menuntut kenaikan tarif,”ujarnya.Menurutnya, kenaikan tarif tersebut juga sangat diperlukan untuk meningkatkan pelayanan distribusi masyarakat kepada masyarakat. (neneng zubaidah)
Post Date : 16 November 2009
|