|
Indonesia masuk dalam kategori negara miskin bersama sejumlah negara lain di Asia karena kegagalannya menyejahterakan rakyat. Menteri Percepatan Daerah Tertinggal (IDT) mengakui sekitar 15 juta keluarga di Indonesia tidak mempunyai akses air bersih. Itu semua terjadi di tengah kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang masih payah. Semuanya bermula dari angka. Tepatnya peringkat. Keduanya muncul dalam laporan Tahunan Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk kategori kemiskinan. Dalam laporan itu disebutkan hingga Maret 2006, Indonesia mencapai angka kemiskinan 17,75 persen, melampaui angka 15.97 persen pada Februari 2005. Akibat penilaian itu, Indonesia menempati peringkat kemiskinan nomor 110 dari 177 negara di dunia, atau terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Realitas itu kontras dengan klaim keberhasilan pemerintah SBY-Kalla yang tertuang dalam Laporan Kinerja Dua Tahun Pemerintahan SBY-Kalla: Berjuang Membangun Kembali Indonesia, diterbitkan oleh Bappenas Oktober 2006. Apalagi pada 16 Oktober 2006, tiga badan dunia, ADB-UNDP-UNESCAP mencantumkan Indonesia bersama Bangladesh, Mongolia, Laos, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina ke dalam daftar negara yang terancam gagal mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (TPM) tahun 2015. "Naiknya peringkat kemiskinan berarti merosotnya kualitas manusia Indonesia," kata Wahyu Susilo koordinator Forum NGO Internasional (INFID). Wahyu mencurigai kecilnya alokasi pembelanjaan APBN untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Dibidang kesehatan misalnya, Indonesia gagal menyehatkan warga negara. Penyakit mewabah dimana-mana. Ada flu burung, demam berdarah, chikungnya, diare, disentri. Wabah kurang gizi sampai membuat banyak balita tumbuh dengan berat badan di bawah normal. Dibidang pendidikan, Indonesia bahkan dinilai Wahyu gagal meningkatkan proporsi anak sekolah masuk kelas I SD dan bertahan bersekolah pada kelas V. Itu pula barangkali yang membuat Presiden SBY meningkatkan anggaran belanja pada dua sektor krusial tadi. Dalam RAPBN 2007, pemerintah menganggarkan sektor pendidikan sebesar 51,3 Triliun dan anggaran kesehatan 16,1 Triliun. Keduanya memang masih jauh di bawah anggaran untuk subsidi BBM sebesar 68,6 Triliun dan anggaran pembangunan sarana fisik senilai 66,1 Triliun. Tapi apakah upaya sudah cukup dengan menambah anggaran? Krisis Air bersih Di luar sektor kesehatan dan pendidikan, pemerintah sama sekali tidak mengalokasikan anggaran untuk sektor penyediaan air bersih. Padahal Undang Undang (UU) Sumber Daya Alam (SDA) Nomor 7 Tahun 2004, "mewajibkan" pemerintah memenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh rakyat. Belakangan, Menteri Pembangunan Daerah Trtinggal Syaifullah Yusuf mengakui lebih dari 45 juta warga di 30 ribu desa di seluruh Indonesia tidak dapat mengakses air bersih, dan jutaan warga lain hidup di bawah garis kemiskinan. "Krisis air bersih biasanya memang terkait erat dengan kondisi kemiskinan warga," ungkap Kuswanto, peneliti dari LP3ES Jakarta. Dalam istilah sanitasi umum, air bersih berarti clean water (bersih, tetapi harus dimasak untuk bisa diminum), bukan safe water (layak minum tanpa harus dimasak). Artinya, jika memakai kategori safe water, Indonesia masih jauh ketinggalan. Padahal dari segi ketersediaan air baku, Indonesia terbilang kaya. Itu tampak dari banyaknya danau dan sungai yang ada. Tapi kenapa kekayaan alam itu tidak bisa mendekatkan rakyat kepada sumber air bersih? Berbagai kalangan telah berulangkali mengingatkan masih banyak rakyat Indonesia terjauhkan aksesnya dari air bersih. Data Susenas tahun 2002 misalnya menyebutkan, hanya 9 dari 29 provinsi yang mampu menyediakan akses air bersih. Artinya warga di 20 propinsi lainnya tidak punya akses terhadap air bersih. Kondisi ini diperparah dengan fakta dari 400-an perusahaan daerah air minum (PDAM) di Indonesia, hanya 10% yang sehat. Padahal, di banyak tempat, PDAM jadi ujung tombak pelayanan air bersih bagi rakyat. Bahkan Jakarta sebagai ibukota negara, belum bisa dijadikan contoh, meski sudah di swastanisasi. Situasi tersebut mendorong berbagai lembaga donor mendesak Indonesia memiliki regulasi tentang sumber daya air. Namun, agenda utama mereka bukan mendekatkan rakyat miskin terhadap akses air bersih, tetapi jaminan legal bagi investasi pengelolaan sumber daya air. Bagi lembaga donor itu, penyertaan investasi sektor swasta adalah mutlak untuk pengelolaan sumber daya air. Ideologi inilah yang menjiwai UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Sementara itu dalam perspektif pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya bagi rakyat, negara bertanggung jawab menyediakan dan mengelola sumber daya air sebagai pelayanan publik. Artinya, meskipun ada swastanisasi sektor pengelolaan air bersih, bukan berarti negara bisa lepas tangan. Pemerintah pusat dalam hal ini, harus menjamin proses pengelolaan air oleh pemerintah daerah dan swasta tidak mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Cukup banyak pihak mengkuatirkan peraturan yang terlalu membuka ruang keterlibatan sektor swasta untuk pengelolaan air, bisa membuat mandat pelayanan publik terabaikan. Disinilah krisis air bisa menjadi ancaman serius. Krisis air tidak selalu dalam bentuk bencana kekeringan atau kekurangan air pada saat musim kering. Namun lebih pada terhambatnya akses rakyat bagi air sehat untuk kebutuhan sehari-hari. Air melimpah dimana-mana, tetapi publik begitu sulit untuk mengaksesnya karena tidak mempunyai sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Studi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menunjukkan, praktek privatisasi PDAM di Jakarta dan Batam terbukti gagal memberikan pelayanan lebih baik dalam penyediaan air bersih. Di Jakarta, tarif air kian mahal, tetapi kucuran air makin kecil dan keruh. Di Batam, sektor industri lebih menikmati kucuran air PDAM ketimbang rakyat miskin. Krisis air bisa diatasi jika pemerintah memiliki political will untuk pengelolaan sumber daya air. Kebijakan itu adalah komitmen untuk mengalokasikan anggaran (dari APBN) guna menyediakan dan memelihara infrastruktur sumber daya air. Jika pemerintah selalu berharap investor menyediakan infrastruktur sumber daya air, jangan harap air akan mengucur kepada rakyat secara murah. Banyak pihak mengkritik pendekatan APBN yang "pelit bagi rakyat miskin, royal untuk birokrasi, boros untuk bayar utang". Menko Kesra Aburizal Bakrie menyebutkan, pemerintah secara bertahap melakukan pengarusutamaan anggaran untuk program kemiskinan. "Bukan rahasia, banyak sekali program pemerintah pusat dan daerah yang mengatasnamakan program penanggulangan kemiskinan. Tetapi banyak yang tidak efektif," aku Menteri Ical. Disinilah akhirnya kita mengerti mengapa masih ada 45 juta warga, yang belum bisa terpenuhi kebutuhannya akan air bersih. Angka resmi, seperti biasanya, merupakan angka permukaan yang menutupi angka sebenarnya yang lebih besar. Hanya dari angka saja, kitapun sadar, perjuangan sebagian warga Indonesia untuk memperoleh air bersih dan hidup secara layak masih sangat berat (***/EM) Post Date : 01 Maret 2007 |