|
”Air yang ada di kolam ini tidak baik kualitasnya. Saya terpaksa mengumpulkan ke dalam kolam sebab tidak ada pilihan lain. Sapi dan kerbau juga minum air dari kolam ini seperti dengan warga lain. Berbagai macam penyakit sering dialami warga karena kualitas air yang buruk” (Beyond Scarcity, Human Development Report 2006). Apa yang disampaikan warga Etiopia dalam laporan di atas pada dasarnya juga menggambarkan situasi kesulitan mendapatkan akses air bersih bagi jutaan penduduk miskin dan daerah terpencil di Indonesia. Di Jakarta sendiri hanya 20 persen penduduknya yang mendapatkan sambungan perpipaan air bersih dari perusahaan daerah air minum. Sementara sekitar 6,4 juta warga harus membeli air dari tetangga dan penjual air dari rumah ke rumah (World Development, Vol 22). Di tingkat global, setiap tahun ada 1,8 juta anak meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh buruknya penyediaan air bersih dan sanitasi. Bahkan, menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), ke depan air yang tidak bersih merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak-anak. Air untuk kehidupan rumah tangga dan bagian dari kegiatan ekonomi merupakan fondasi dalam pembangunan manusia. Masalahnya, tatkala air mulai langka akibat kompetisi antarpengguna, fondasi ini semakin sulit dicapai. Kelangkaan air adalah konstruksi sosial yang timbul sebagai konsekuensi perubahan pola penyediaan air yang berasal dari perubahan iklim. Dewasa ini, penggunaan air sudah dud kali lipat daripada tingkat pertumbuhan penduduk sendiri. Diperkirakan pada tahun 2025 lebih dari 1 miliar penduduk akan tinggal di negara atau wilayah yang sumber daya airnya sudah langka (UN Water 2005). Prioritas distribusi air Di berbagai belahan bumi, air untuk kebutuhan domestik (air minum) tidaklah prioritas dibandingkan untuk industri dan pertanian. Bahkan, di negara agraris seperti Indonesia, kebutuhan air untuk pertanian dapat mencapai 85 persen dari total air yang tersedia. Dalam konteks menjaga kelangsungan produksi padi bagi kebutuhan pangan ratusan juta warga, diperlukan lebih banyak lagi air. Namun, kompetisi penggunaan air dengan industri dan domestik serta praktik pertanian yang boros air akan menjadi problem besar dalam lima tahun ke depan. Masalah ketersediaan air semakin bertambah berat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri. Rata-rata penggunaan air oleh sektor industri kertas, minuman, dan tekstil di negara berkembang mencapai 22 persen dan di negara maju sekitar 59 persen dari total ketersediaan air. Tidak ada bisnis tanpa air (WBCSD, 2005). Kekeringan yang melanda beberapa kabupaten di Jawa belakangan ini adalah indikasinya. Dalam situasi krisis atau kelangkaan air, jelas yang paling menderita adalah komunitas miskin. Pemenuhan minimal 20 liter per hari air bersih untuk minum, masak, dan mandi bagi setiap rumah tangga yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangatlah sulit. Kalaupun bisa, warga miskin harus membayar mahal karena harus membeli air dari pedagang. Sebaliknya, bagi kelompok kaya yang mendapatkan sambungan perpipaan dari perusahaan daerah air minum (PDAM), pemenuhan kebutuhan air tidaklah sulit, bahkan secara berlebihan (rata-rata mencapai 1.500 liter per hari). Sebagai contoh, untuk mengisi kolam renang di rumah yang berukuran 2 x 5 x 15 meter dibutuhkan air sebanyak 150 m3 (150.000 liter) atau setara dengan kebutuhan minimum 5.000 warga miskin. Sangat penting Dalam situasi air menjadi langka, sangat penting untuk membedakan kategori nilai dan kriteria etis dari sisi keadilan dan keberlanjutan, terutama dalam memenuhi prioritas dari setiap pemilik hak. World Water Council membagi perbedaan fungsi dan nilai atas air ke dalam tiga tingkatan. Pertama, air untuk kehidupan terkait dengan bagaimana menyediakan air untuk kelangsungan hidup manusia, baik secara individu maupun keluarga. Kebutuhan ini harus diakui sebagai prioritas paling utama dan dijamin kelangsungan penyediaannya, baik jumlah maupun kualitasnya. Kedua, air untuk masyarakat yang mencakup pemenuhan air untuk tujuan kepentingan umum, seperti fasilitas air bersih di sekolah atau rumah sakit untuk kesehatan warga. Selain itu, karena hal ini juga merupakan bagian dari promosi tentang nilai keadilan, seharusnya menjadi prioritas kedua dalam hubungannya dengan hak sosial warga dan kebutuhan masyarakat luas. Ketiga, air untuk pembangunan dalam fungsi ekonomi yang terkait dengan aktivitas produksi yang bersifat kepentingan pribadi, seperti irigasi untuk pertanian atau bahan baku industri dan pariwisata (hotel). Meski penting untuk pendapatan negara (daerah), seharusnya hal ini dijadikan prioritas ketiga. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang sumber daya air, Pasal 5, telah dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari. Sayangnya, undang-undang tidak mengatur prioritas penggunaan air, khususnya ketika air langka atau kritis. Implikasinya, meski sudah 63 tahun Indonesia merdeka, ternyata negara belum mampu mewujudkan kemerdekaan jutaan warga yang masih kesulitan akses air bersih, menggunakan air dengan kualitas rendah dan tercemar serta harus mengeluarkan biaya mahal. Karena, faktanya pemerintah tidak memberi subsidi bagi penduduk kota yang kesulitan air bersih dalam bentuk sambungan ke rumah ataupun keran-keran umum. Warga yang tinggal di slum area biasanya membayar 5-10 kali lipat untuk satu liter air dibandingkan dengan warga mampu. Sungguh ironis nasib kaum miskin yang belum menikmati makna kemerdekaan. Suhardi Suryadi Pemerhati Sosial Kemasyarakatan Post Date : 13 September 2008 |