|
JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum mendukung upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan renegosiasi kontrak dengan para mitranya, PT Aetra Air Jakarta dan Perusahaan Air Minum Lyonnaise Jaya (Palyja). Renegosiasi diminta dilakukan secara hati-hati, tidak terburu-buru, dan teliti dalam melihat pasal demi pasal. "Jangan sampai sudah diteken tetapi risiko banyak di Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya)," kata Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum di Kementerian Pekerjaan Umum, Rachmat Karnadi, dalam sebuah lokakarya, Sabtu lalu. Menurut Rachmat, perjanjian kerja sama yang ideal harus meletakkan risiko di tangan operator air, bukan di pihak PAM Jaya seperti yang berlaku saat ini. Kontrak yang diteken pada 1997 itu dituding sebagai penyebab mahalnya tarif air bersih di Jakarta, yakni Rp 7.800 per meter kubik. Kontrak tak berimbang pula yang membuat beban utang (shortfall) PAM Jaya kepada kedua mitranya itu pada akhir tahun lalu mencapai sekitar Rp 800 miliar. Di akhir kontrak pada 2022, beban utang itu diperhitungkan mencapai Rp 18,2 triliun. Rachmat juga mengkritik kontrak itu terkait dengan adanya kasus pengalihan aset senilai Rp 3 miliar milik PAM Jaya oleh salah satu mitranya. Menurut dia, perjanjian itu semestinya dianggap public private partnership. "Itu artinya, swasta diberi kesempatan mengelola selama periode tertentu saja, sehingga aset milik pemerintah tetap kembali ke pemerintah," kata dia. Direktur Utama PAM Jaya, Sri Widayanto Kaderi, dalam lokakarya yang sama, mengakui soal kontrak tak berimbang di mana PAM jaya sebagai pihak kedua menanggung risiko. Dalam kontrak itu, termaktub bahwa mitra swasta akan mendapat kenaikan imbalan setiap enam bulan tanpa memperhitungkan pencapaian target yang harus diraih mitra. Imbalan air itu diperoleh dari tarif air yang dibebankan kepada masyarakat. Akibatnya, tarif air berpotensi melambung menjadi Rp 22 ribu per meter kubik saat kontrak berakhir pada 2022 mendatang. "Sesuai dengan rekomendasi DPRD, kami harapkan pada April mendatang sudah tercapai kesepakatan (renegosiasi kontrak)," kata Sri. Dari 12 prinsip dasar renegosiasi kontrak tersebut, Sri mengatakan PT Aetra telah menyepakati 4 poin. Mereka antara lain bersepakat menghapus shortfall pada 2016 dengan meningkatkan volume penjualan air dan menurunkan non-revenue water (NRW) atau tingkat kehilangan air. Dihubungi secara terpisah, Sekretaris PT Aetra Air Jakarta, Joshua Tobing, mengakui ihwal kesepakatan itu dan menyatakan telah "mengalah". Namun, menurut dia, Aetra meminta imbalan. Negosiasi itu take and give. Kami meminta adanya kemudahan dalam pendanaan ke bank," kata Joshua. Negosiasi dengan Palyja diakui belum mengalami kemajuan berarti. Menurut Sri, Palyja memang berbeda dengan Aetra. Sebab, perusahaan ini diharuskan membeli air dari Tangerang, selain mengandalkan pasokan dari Jatiluhur. "Tapi pada dasarnya semua bisa dibicarakan. Kami berharap mereka menjelaskan apa yang diharapkan dari renegosiasi kontrak, sehingga pembicaraan bisa berlanjut," katanya. AMANDRA MUSTIKA | WURAGIL Post Date : 05 Maret 2012 |