|
Beban utang PDAM sudah diringankan oleh Pemerintah dengan menghapusbukukan bunga dan denda, tetapi di sisi lain, PDAM dituntut menyehatkan diri serta memperluas cakupan pelayanan. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat bertemu dengan DPP Perpamsi bulan Mei 2008 meminta supaya PDAM seluruh Indonesia menambah sambungan baru sebanyak 10 juta. Jawaban yang akan keluar secara spontan dari mayoritas PDAM pastilah, mana air bakunya? Mayoritas PDAM akhir-akhir ini memang kian cemas menghadapi kesulitan air baku. Di Indramayu misalnya, terjadi semacam perebutan dengan juragan-juragan air yang tak segan-segan membangun pompa besar bersebelahan dengan pompa intake PDAM untuk disalurkan ke sawah penduduk di luar musim tanam padi. PDAM Blora tidak bisa memberi pelayanan yang baik kepada pelanggan karena ketiadaan air baku. Sungai yang terdapat di pinggir kota nyaris kering pada musim kemarau. Kota Bandung sudah sejak beberapa tahun terakhir mengalami krisis air karena alih fungsi lahan sehingga air hujan yang meresap ke tanah hanya sedikit. Jakarta, etalase Indonesia? Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Ir. Pitoyo Subandrio, Dipl. HE menyebut Jakarta sebagai wilayah yang paling miskin air baku. Hanya mencapai 2,5 meter kubik per detik, padahal penduduk yang memerlukan air tak kurang dari 10 juta orang. Di sisi lain, di sejumlah kota, air baku melimpah, tetapi tidak bisa dimanfaatkan untuk kota-kota lain yang sangat memerlukan. Memang air tidak selamanya berada di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat. Direktur Pengembangan Air Minum Direktorat Jenderal Cipta Karya Ir. Tamin Zakaria punya istilah tentang air. Investasi di bidang air itu feasible namun tidak terlepas dari 6 C, yang dijabarkannya sebagai berikut: "Pada air melekat Complexity dan Conflict. Makanya diperlukan Competency to overcome Complexity, serta Communication, Coordination and Cooperation to overcome Conflicts. Dan kalau mau diperkaya lagi, Pitoyo menyebut, kita harus berpikir secara komprehensif mengelola air. Yang jelas air sangat vital, dan perang bisa dipicu oleh masalah air. Tidak Pesimistis Penambahan 10 juta sambungan baru PDAM dalam lima tahun (semula direncanakan dalam tiga tahun - Red) bagi Direktur Pengembangan Air Minum Ditjen Cipta Karya benar-benar merupakan suatu tantangan besar, dan walaupun cita-cita mulia itu dihadang berbagai kendala, ia tidak pesimistis angka itu bisa tercapai. Bahkan katanya, tidak terlalu sulit. Kendala air baku? Kepada Majalah Air Minum ia mengungkapkan, karena air baku adalah tanggung jawab pemerintah, maka Departemen PU misalnya sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 900 miliar untuk tahun 2009. PDAM-PDAM yang mengalami kesulitan air baku sudah dipanggil dan diminta memberi informasi tentang kondisi air bakunya. Sayangnya, daya serap PDAM-lah yang tidak memadai. Sebab dari jumlah itu hingga sekarang barn terserap sebesar Rp 300 miliar. Untuk tahun 2010 katanya akan diadakan koordinasi dengan PDAM-PDAM serta Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Masalah air baku menurut Tamin termasuk prioritas bagi Departemen PU, sebab seperti diutarakan berkali-kali oleh Menteri PU, masalah air baku adalah tanggung jawab pemerintah dan tanpa air baku PDAM memang tidak bisa berproduksi. Dalam Renstra Departemen PU untuk periode 2005-2009, katanya, telah ditetapkan target meningkatkan kapasitas produksi air minum sebesar 39.800 liter per detik untuk memenuhi kebutuhan 27,8 juta lebih penduduk. Hal ini dirancang untuk memenuhi ketentuan regulator, yakni Departemen Kesehatan, bahwa air dengan kuantitas, kualitas dan kontinuitas yang baik diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Hal ini telah tertuang dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dalam rangka mengejar cakupan pelayanan 66% untuk perkotaan dan 40% di perdesaan terhitung tahun 2013. Tetapi seperti terungkap di atas, dari Rp 900 miliar dana untuk pembangunan prasarana air baku sebegitu jauh baru terserap Rp 300 miliar. Salah satu penyebabnya boleh jadi adalah apa yang ia sebutkan bahwa dalam pengelolaan air bersih secara nasional masih ditemui lack of efficient business management. Perihal ini ia berkata, "Bagaimana mungkin PDAM berkelanjutan kalau manajemen menjual air di bawah ongkos produksi dan bagaimana mungkin manajemen membiarkan kehilangan air dengan tidak mengganti meter air di tempat pelanggan, padahal pelanggan sudah menitipkan uang pemeliharaan meter air itu kepada manajemen PDAM. Dikatakannya ada kebocoran sampai 60%, 50%, tetapi secara rata-rata tingkat kebocoran adalah 37%. Kebocoran banyak disebabkan meter air yang rusak. Masyarakat sudah menitipkan biaya pemeliharaannya tiap bulan kepada PDAM, kenapa tidak digunakan untuk memperbaiki meter air atau menggantinya? Dana pemeliharaan ini tidak masuk pos pendapatan PDAM, tetapi adalah titipan masyarakat untuk digunakan memelihara meter air. Jumlahnya pun di berbagai PDAM sampai miliaran. "Kenapa tidak digunakan mengganti meter air supaya tingkat kehilangan air turun?" ujarnya dengan nada tinggi. "Inilah yang saya sebutkan lack of efficient business management," katanya lagi. Contoh sukses membalik keadaan dengan membereskan meter air menurut Tamin telah diperlihatkan oleh PDAM Kota Pontianak. Dengan terselamatkannya air yang hilang itu, maka akan lebih banyak air yang dapat disalurkan bagi pelanggan barn, dan cakupan pelayanan pun akan meningkat. Kembali ke masalah air baku, ia mengatakan, sudah sejak lama Departemen PU menyampaikan kepada PDAM yang mengalami kesulitan air baku untuk datang ke Departemen PU. Mereka dipersilakan menginformasikan berapa kebutuhannya dan di mana lokasinya. "Syukur-syukur kalau sudah ada rencana induk menyangkut air baku sehingga lebih mudah mengkoordinasikannya dengan Ditjen Sumber Daya Air," katanya. "Kita tinggal bersinergi antarsektor," katanya lagi. PDAM yang sedang membangun pipa transmisi air baku menurut Tamin Zakaria adalah PDAM Kota Pontianak. Konon pipa air baku PDAM Kota Pontianak sepanjang 40 km ke hulu Sungai Kapuas. Menyusul PDAM Pemalang dan sejumlah lainnya. Jakarta yang Mengenaskan Tanpa hendak mengabaikan posisi dan kepentingan tempat-tempat lain, selaku ibu kota negara, Jakarta memang selalu mendapat tempat istimewa dan menarik untuk ditelaah. Apalagi mengingat PAM Jaya yang bermitra dengan dua operator swasta sebegitu jauh baru mencapai 55% lebih cakupan pelayanan dengan tingkat kebocoran yang masih di atas 45%. Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Ir. Pitoyo, Jakarta adalah kawasan yang termiskin dalam hal air baku. Sungai yang melintasi Jakarta katanya hanya punya debit 2,5 meter kubik pada musim kemarau, walau di musim hujan selalu kebanjiran bahkan pernah nyaris tenggelam semua. Kondisi seperti itu seharusnya membuat orang di Jakarta tidak boleh menyia-nyiakan air. Tetapi seperti dipertanyakan oleh Direktur Pengembangan Air Minum Tamin Zakaria, "Bagaimana mungkin PDAM membiarkan tingkat kebocoran yang begitu tinggi?". Dengan manajemen PDAM yang punya sense of efficient diharapkan tingkat kebocoran berkurang tahun demi tahun sehingga air hilang tak tentu rimbanya itu dapat disalurkan kepada warga yang membutuhkan, dan uang akan lebih banyak masuk ke perusahaan untuk dapat diinvestasikan kembali demi memperluas cakupan pelayanan. Air PAM itu memang tidak bocor dan tercecer ke tanah atau selokan, tetapi kebanyakan masuk rumah penduduk. Namun karena tidak tertagih semuanya, maka tidak menjadi uang melainkan menjadi kerugian. Salah satu penyebabnya, ada pada meter air yang semestinya selalu dipelihara agar tetap bekerj,a dengan akurat. Namun banyak pula air hilang karena pencurian-pencurian seperti seririg dipergoki petugas-petugas PT Aetra maupun Palyja lewat sambungan ilegal. Selain masalah kehilangan air PAM yang tinggi, Jakarta punya satu dilema. Di satu sisi PAM Jaya belum mampu mencukupi kebutuhan penduduk, termasuk kebutuhan ratusan gedung yang puluhan tingkat tingginya. Akibatnya, gedung-gedung perkantoran, hotel, apartemenapartemen, rumah susun sederhana maupun amat sederhana dan sebagainya itu melakukan penyedotan air tanah secara besar-besaran. Ini tentu berdampak negatif, yakni terjadinya penurunan permukaan tanah di Ibukota. Pitoyo dan jajarannya yang bekerja keras mengamankan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane seluas 6.150 km persegi itu mengatakan, memang tidak mungkin melarang penyedotan air tanah secara besar-besaran seperti yang terjadi sekarang ini sebelum PAM Jaya mencukupi kebutuhan semua penduduk. Yang perlu dilakukan adalah antara lain tindakan preventif dengan cara membangun sumur-sumur resapan sebanyak-banyaknya. Dan inilah salah satu yang giat dilaksanakan jajaran Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWS Cil-Cis). Dijelaskan, ratusan sumur resapan sudah dibangun di berbagai tempat, mulai dari kompleks UI Depok, berbagai sekolah, kecamatan, kelurahan dan sebagainya. Maksudnya, memberi contoh sekaligus memotivasi penduduk agar ikut membuat sumur resapan di tempatnya masing-masing.. la sendiri tak hanya omong. Rumahnya katanya dilengkapi dengan sumur resapan, sehingga tak setetes air hujan pun yang lolos dari rumahnya ke selokan. Seluruh air hujan yang jatuh di seputar rumahnya meresap ke tanah. Sebuah contoh positif, yang agaknya baik juga dijadikan sebagai bahan kampanye atau semacam gerakan di lingkungan PDAM. Pembuatan sumur resapan tak pelak harus digalakkan, dilaksanakan, dan tak cukup hanya sebatas hitam atas putih seperti tercantum dalam berbagai peraturan daerah. Miskinnya Jakarta akan sumber air menyebabkannya tergantung pada pasokan dari luar. Itulah yang mendorong Bung Karno (presiden pertama RI) membangun Waduk Jatiluhur. Sebenarnya, kata Pitoyo, adalah melanggar undang-undang mengalirkan air Jatiluhur ke Jakarta sebelum wilayah di sekitarnya tercukupi (UU Nomor 7 tahun 2005 tentang Sumber Daya Air). Tetapi mau bagaimana lagi? Salah satu tujuan pembangunan Jatiluhur adalah untuk mencukupi kebutuhan air baku di Jakarta. Waduk itu sekarang sedang ditingkatkan kapasitasnya dari 16 meter kubik menjadi 20 meter kubik dengan bantuan dana ADB (Asian Development Bank) agar mampu memasok air baku lebih banyak lagi bagi kebutuhan penduduk Ibukota. Bukankah kebutuhan manusia sehari-hari yang lebih utama? Sudetan Dibatalkan JK Di Majalah Air Minum edisi yang lalu diberitakan, ada pihak yang menawarkan pasokan air kepada PAM Jaya, bahkan sudah berupa air bersih yang siap didistribusikan dari suatu instalasi pengolahan air minum yang akan dibangun di daerah Bogor. Konon kabarnya di Kabupaten Bogor akan dibangun sebuah waduk berikut sudetan Sungai Ciliwung dan Cisadane. Ketika hal ini ditanyakan, Pitoyo memastikan rencana itu sudah dibatalkan. Katanya, Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri yang memutuskan suatu hari ketika terbang dengan helikopter di atas Bogor menyaksikan kondisi banjir. Kepada beliau dijelaskan bahwa terowongan yang dimaksudkan itu tidak akan mampu menampung air banjir, maka Wakil Presiden saat itu juga mengatakan, "Ya sudah, lupakan saja rencana pembangunan sudetan atau terowongan itu. Toh tidak bisa menampung banjir." Pitoyo membenarkan, dulu memang ada rencana pembangunan waduk dan sudetan Ciliwung-Cisadane, bahkan dana bantuan serta konsultan dari Jepang sudah tersedia. Tetapi karena masyarakat Banten menentang karena ketakutan kebanjiran, katanya bakal mendapatkan banjir kiriman dari Ciliwung, rencana itu batal, dan dana bantuan pun sudah dikembalikan ke Jepang. "Sekarang mereka minta sudetan itu dibangun karena sudah merasa keenakan menjual air ke Jakarta," ujar Pitoyo. Seperti diketahui, sebagian air bersih PAM Jaya wilayah barat dibeli dari PDAM Kabupaten Tangerang. "Terserah kalau PDAM sendiri yang membangunnya. Tetapi yang membangun tidak Departemen PU," katanya. Sutiyoso sendiri sewaktu menjadi gubernur DKI Jakarta memang pernah mendesak pembangunan waduk Ciawi, bahkan menawarkan dana Pemda DKI Jakarta untuk membantu pembiayaannya. Adapun rencana pembangunan waduk di Ciawi menurut Pitoyo, lebih ditujukan sebagai penampungan air untuk mengurangi bahaya banjir di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi tidak semua air bisa ditampung di situ mengingat banyak sekali anak-anak sungai yang tidak semuanya bisa diarahkan airnya ke waduk penampungan itu. Menurut Pitoyo, masalahnya sebenarnya lebih pada pola pikir yang harus komprehensif. Biaya pembangunan waduk di Bogor itu, yang kapasitasnya hanya 34 juta meter kubik sama dengan biaya pembangunan Waduk Jatigede di Kuningan yang sedang dirintis dengan kapasitas 1.000 juta meter kubik. Biaya pembangunannya diperkirakan Rp 2,5 triliun. Jadi perbandingannya sangat tidak sepadan, 34 berbanding seribu, sangat tidak efisien. "Saya harus mempertanggungjawabkan hal itu, tetapi kalau ada investor mau membangunnya, silakan," katanya. Yang jelas menurut Pitoyo, di masa-masa mendatang Jakarta akan mendapat tambahan pasokan air dari Jatiluhur dan Waduk Karian di Banten. Waduk Karian Waduk Karian sendiri, menurut berbagai sumber, rencana pembangunannya sudah sampai di Bappenas. Waduk yang dicita-citakan itu diharapkan sudah akan jadi pada tahun 2014 atau 2015 dengan kapasitas 208 juta meter kubik. Biaya pembangunannya konon mencapai Rp 3 triliun lebih bersumber pada APBN dan negara donor. Khusus untuk pembebasan tanah di empat kecamatan meliputi 11 desa mencapai Rp 400 miliar. Rencana pembangunan Waduk Karian dimaksudkan untuk memasok air baku ke Kabupaten dan Kota Serang dan Kabupaten Tangerang, mengingat Serang akan mengalami defisit air baku 5,48 meter kubik per detik dan Kabupaten Tangerang defisit 8,12 meter kubik per detik terhitung tahun 2012. Jika hanya waduk dengan genangan seluas 1.740 ha di Kabupaten Lebak itu yang diandalkan, dapat dipastikan airnya tidak akan cukup untuk dipasok ke Jakarta. Karena itulah menurut rencana akan dibangun pula beberapa waduk tambahan yakni Waduk Tanjung (120 juta meter kubik), Pasir Kapo (44,5 juta meter kubik) dan Cilawang (62 juta meter kubik). Secara global, pembangunan waduk akhir-akhir ini banyak mendapat tantangan dan kritik karena dituduh akan menyengsarakan penduduk, menghalau penduduk dari kampung halamannya, dan sebagainya. Di sisi lain, dikatakan, penduduk desa lebih banyak berkorban, sebaliknya masyarakat kota lebih banyak menerima manfaat. Rencana pembangunan Waduk Karian pun tak luput dari kritik dan tentangan. Tetapi dalam kondisi alam yang sudah semakin rusak, hutan dan gunung semakin gundul, ditambah alih fungsi lahan di mana-mana, salah satu cara paling praktis untuk menahan air selama mungkin di darat adalah dengan membangun waduk. Ini juga bermakna konservasi air. Pada musim penghujan, air ditampung di waduk, dan pada musim kemarau dialirkan perlahan-lahan untuk keperluan penduduk di hilir. Namun bersyukur, Pemerintah Provinsi Banten sudah berketetapan untuk membangun waduk tersebut. Seorang pejabat Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian pernah mengatakan, penduduk di desa dan di kota tidak terpisahkan. Mereka sama-sama masyarakat Banten. Diakui, yang di hulu memang lebih banyak berkorban, sementara yang di hilir lebih banyak menerima manfaat. Tetapi perlu diingat, hal itu tidak sengaja didesain begitu. Itu sudah merupakan konsekuensi dari upaya penyediaan air. Yang perlu dipikirkan adalah, memberlakukan semacam insentif dan disinsentif bagi penduduk yang terkait dalam pembangunan waduk itu. Insentif bagi penduduk untuk memelihara lingkungan sekitarnya, dan disinsentif bagi siapa saja agar tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berdampak negatif pada kelangsungan waduk itu. Penyaluran air baku dari Banten ke Jakarta sebelum wilayah sekitarnya mendapatkan pasokan air yang cukup juga menyalahi undang-undang sumber daya air. Maka agar tidak menyalahi undang-undang, menurut Pitoyo, Dirjen SDA yang lama pernah mengusulkan agar tiga Balai Besar Wilayah Sungai yang ada sekarang, yakni Cidanau-Ciujung-Cidurian di Banten, Ciliwung-Cisadane dan Citarum digabung menjadi satu kesatuan. Tujuannya, agar Jakarta tidak mendapatkan air sisa saja. Terowongan Bawah Tanah Pitoyo juga menyampaikan kritik terhadap suatu wacana membangun sebuah terowongan bawah tanah di Jakarta yang pernah terlontar di suatu seminar. Terowongan berdiameter 16 meter itu diangan-angankan oleh penggagas dibangun di bawah Banjir Kanal Barat. Wacana ini memang sempat berkembang dan banyak didiskusikan di masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso. Lagi-lagi Pitoyo mengatakan, "Kalau mau dibangun ya silakan, tapi jangan saya yang disuruh membangun." Alasannya, terowongan yang dimaksudkan sekaligus sebagai reservoir bawah tanah untuk menampung air banjir sekaligus menyimpan air baku buat air minum dan untuk industri, tidak akan mampu menampung air banjir. Belum lagi dari pertimbangan bahwa masa-masa banjir cuma dua minggu, kenapa harus membangun suatu infrastruktur yang begitu rumit dan mahal? Reservoir bawah tanah yang diwacanakan itu, yang katanya juga akan berfungsi sebagai jalan tol, konon menelan biaya sampai Rp 5 triliun. Gagasan tersebut menurut Pitoyo hanya dimaksudkan sebagai mencari proyek belaka dan main akal-akalan. "Kalau saya punya dana sebanyak itu kan lebih baik digunakan untuk magari Ciliwung di Kampung Melayu, Krukut, kemudian Pesanggrahan dan lain-lain," katanya. Dijelaskannya, kalaupun prasarana seperti itu ada di Malaysia atau Singapura, itu karena di Malaysia airnya dialirkan dengan gaya gravitasi, baik untuk memasukkannya maupun untuk mengeluarkannya. Terowongan atau deep tunnel itu terdapat di Kuala Lumpur, dan Kuala Lumpur memang terdapat di dataran tinggi. Sedangkan di Singapura, deep tunnel dibangun karena mereka tidak punya lahan. Dan nanti untuk mengeluarkan airnya, tidak bisa dengan sendirinya melainkan harus dipompa. Padahal kita tahu sekarang energi sangat mahal. "Jadi mikirnya itu harus komprehensif integral, jangan sepotong-sepotong," katanya. Victor Sihite Post Date : 30 September 2008 |