Keluarga Toto Langganan Banjir

Sumber:Suara Pembaruan - 18 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Hari beranjak siang. Air yang sejak pagi menggenang, sudah surut. Warga RT 001 RW 02, Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan, mulai keluar rumah membawa sapu lidi dan sikat. Penuh semangat, mereka membersihkan lumpur dan sampah yang terbawa banjir.

Perkampungan ini memang langganan banjir. Setiap tahun, rumah-rumah berukuran sekitar 4 X 8 meter itu, selalu digenangi air luapan Sungai Ciliwung. Pada Selasa (13/11) itu, genangan air "hanya" mencapai 70 sentimeter.

Rata-rata rumah warga berlantai dua, namun ketinggiannya tidak seragam. Lantai satu rumah Ketua RT, Toto (52), berketinggian 3,7 meter. Lantai duanya, tiga meter. Sementara tinggi rumah Rahayu, tetangga sebelahnya, hanya empat meter (lantai satu dan dua). Rumah lain, ada yang lebih pendek lagi.

"Saat banjir tahun 2002 lalu, barang kita habis. Waktu itu, kita masih menaruh banyak barang di lantai satu. Begitu banjir tiba-tiba datang, kita cuma bisa menyelamatkan diri dan barang yang kecil-kecil saja. Begitu ada rezeki, rumah kami tinggikan supaya lebih aman kalau menaruh barang," sahut Toto.

Kebanyakan warga merupakan pendatang. Hampir semuanya berdagang. Menurut Toto pendapatan maksimal warganya per bulan rata-rata Rp 1,5 juta. "Itu juga tidak setiap bulan bisa segitu besar," katanya.

Pria asal Wonogiri, Jawa Tengah ini juga mengatakan, warga bukannya tidak ingin pindah ke lingkungan yang lebih baik, namun dengan penghasilan yang sangat kecil, tak ada pilihan bagi mereka. "Kami tak mampu beli tanah, apalagi membangun rumah. Paling-paling pindah ke rumah kontrakan. Itu berarti pengeluaran bertambah. Kalau di sini, paling-paling kita cuma harus meninggikan rumah," lanjutnya.

Alasan lain, mengapa warga memilih bertahan, adalah lokasi kerja. Menurut Toto, warganya berjualan di sekitar kampung tersebut. Toto sendiri berjualan mi ayam di kantin SMA 8. "Kami sudah punya langganan. Kalau pindah, sama saja mulai dari nol," katanya.

Permukiman warga menempati lokasi bantaran Ciliwung. "Dulu saya mengontrak rumah ini pada penghuni sebelumnya. Suatu hari penghuni lama menawarkan kami membeli rumah ini. Karena murah, kami bayar saja," ujar Toto, tanpa menyebut nilai jual-belinya.

Ia sendiri mengaku menempati rumah di kampung ini sejak 1979. Sekalipun tak bersertifikat, warga tidak khawatir digusur. "Kalau mau digusur, silahkan saja, tapi kami minta ganti rugi," katanya. Toto berkata demikian karena warga di situ selalu memenuhi kewajiban administrasi pada pemerintah, misalnya pajak bumi dan bangunan (PBB).

Bagi beberapa orang, Jakarta bukan tempat yang ramah. Selain keberanian, kecerdikan membaca dan menyikapi situasi juga harus dimiliki pendatang. "Kalau tak punya uang untuk pindah, tinggikan saja rumahnya. Kalaupun harus kena banjir, toh hanya untuk beberapa saat saja. Meskipun langganan banjir, kami cukup senang tinggal di sini," tegas Toto.

Sudah lewat jam satu siang. Warga sudah selesai membersihkan rumah. Cuaca pun mulai tampak cerah. Toto dan anak naik ke lantai dua rumah tripleks itu untuk menggotong kursi panjang ke lantai satu.

"Begini ini Mas, keadaannya kalau sudah masuk musim hujan. Kita harus selalu siap menyambut banjir. Kalau air naik, barang kita naikan ke atas. Kalau surut, kita turunkan lagi. Pintar-pintar kita sajalah," kata istri Toto. [ATW/N-6]



Post Date : 18 November 2007