Kelola Sampah Mandiri, Tidak Mustahil !

Sumber:Republika - 31 Agustus 2004
Kategori:Sampah Jakarta
Tanpa keterlibatan masyarakat, sampah di Kota Bekasi akan terus menggunung. Apalagi, Pemkot kurang serius menanganinya. Bertempat di Aula Islamic Center Bekasi 150 orang siswa dan guru dari SMP dan SMA se-Kota Bekasi antusias mengikuti Pelatihan Kader Lingkungan yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi. Selama dua hari peserta dibekali wawasan dan keterampilan mengolah sampah secara mandiri untuk menghasilkan barang-barang bernilai ekonomis.

Antusiasme peserta workshop semakin meningkat saat memasuki sesi praktik pengolahan sampah menjadi kompos (pupuk untuk tanaman) dan pembuatan benda-benda kerajinan tangan dengan memanfaatkan sampah-sampah organik maupun nonorganik. Mereka belajar membuat kertas daur ulang, bunga dari gelas air minum kemasan, dan aneka produk lainnya.

''Ternyata sampah tidak cuma mengotori lingkungan. Kita bisa buat banyak hal dari setumpuk sampah,'' kata Fahri, salah seorang siswa SMP yang mengikuti acara tersebut. Bersama para siswa lainnya, Fahri didaulat menjadi kader lingkungan yang bertugas mempraktikkan dan menyebarluaskan wawasan pengelolaan sampah secara mandiri di sekolah masing-masing.

Asisten Daerah II (Asda) Kota Bekasi, Paray Said, mengungkapkan bahwa kegiatan semacam itu untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar pengelolaan lingkungan hidup yang salah satu caranya dilakukan dengan mengelola sampah secara mandiri. Bila masyarakat mampu mengelola sampah secara mandiri, penimbunan sampah di tempat-tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dapat berkurang.

Ini artinya masyarakat turut memperbaiki kondisi air, udara, dan tanah. Apalagi, Pemkot Bekasi baru bisa mengelola 60 persen sampah rumah tangga. Menurut Kepala Dinas Kebersihan Kota Bekasi, Deddy Djuanda, setiap hari kota di timur Jakarta ini memproduksi 3.000 meter kubik sampah rumah tangga. Dari jumlah tersebut, hanya 1.800 meter kubik sampah yang bisa diangkut Dinas Kebersihan ke TPA Sumur Batu.

Sampah-sampah yang tidak dikelola dengan baik ini tidak hanya mencemari tanah, air, dan udara sekitar, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat. Keindahan kota pun terusik dan secara ekonomis hal tersebut akan semakin membebani pengeluaran Pemkot dalam mengelola sampah dan menghambat pertumbuhan investasi.

Penyebabnya tidak lain karena masih minimnya armada pengangkut sampah milik Pemkot Bekasi yang hanya 70 unit. ''Idealnya kita punya 255 armada pengangkut sampah,'' ungkap Deddy. Sisanya, berserakan di 42 titik TPA liar yang tersebar di berbagai sudut kota, khususnya di Bekasi Utara.

Untuk mengatasi hal tersebut, Dinas Pengendalian Lingkungan Hidup (DPLH) Kota Bekasi gencar melakukan sosialisasi pengendalian lingkungan hidup dan mengenalkan metode pengelolaan sampah secara mandiri. ''Semua barang yang dihasilkan dari olahan sampah ini ternyata mempunyai nilai ekonomis yang cukup menguntungkan,'' kata Syafri, kepala DPLH Kota Bekasi.

Bila sampah-sampah ini diolah dengan baik oleh setiap anggota masyarakat, volume timbunan sampah baik di TPA resmi maupun di sudut-sudut kota dapat berkurang. Artinya, volume air sampah yang berpotensi besar mencemari sungai-sungai juga bisa ditekan.

Berdasarkan penelitian DPLH, beban pencemaran Kali Bekasi, sungai terbesar di Kota Bekasi, sudah sangat berat. Sebagian besar kandungan pencemarannya berasal dari deterjen, kotoran manusia, dan limbah sampah rumah tangga lainnya.

Salah satu bentuk pemanfaatan sampah adalah dengan mengolah sampah rumah tangga menjadi kompos (pupuk) untuk menyuburkan tanaman. Pembuatan sampah ini, kata Masrawati, staf DPLH, dapat dilakukan oleh setiap anggota keluarga. Prosesnya pun cukup mudah. Sampah harus dipisahkan antara sampah organik dan nonorganik. Setelah itu, sampah disimpan dalam satu wadah, diberi kapur, dan zat kimia lainnya. Kemudian, ditutup rapat selama tiga minggu. Tumpukan sampah ini kemudian akan mengalami proses pembusukan menjadi kompos.

Meskipun belum diuji secara ilmiah, kompos yang dihasilkan dari sampah rumah tangga ini memunyai kualitas setara dengan pupuk-pupuk lain, termasuk pupuk kandang. Kandungan asam (pH) yang terdapat dalam setiap jenis pupuk memungkinkan kompos diproduksi dalam jumlah yang banyak. Bahkan, beberapa penjual pupuk sudah mulai menjual dua jenis pupuk tersebut. ''Khusus kompos tampaknya punya pangsa tersendiri,'' papar Masrawati.

Sampah nonorganik pun bisa diolah menjadi barang kerajinan tangan yang bernilai seni tinggi. Di antaranya, kreasi bunga plastik yang dibuat dari botol minum kemasan atau sedotan bekas. Masyarakat juga bisa membuat beragam jenis kertas daur ulang dengan beragam ukuran dan ketebalan tertentu menggunakan kertas-kertas bekas.

Selain itu, lumpur yang mengendap di saluran-saluran air ternyata juga bisa diolah menjadi media tanaman yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Cara pembuatannya pun sangat mudah karena lumpur ini hanya perlu dicampur dengan bioaktifator. Setelah itu, hasilnya dapat langsung digunakan untuk tanaman.

Limbah yang sering menyumbat saluran dan menyebabkan banjir ini juga bisa diolah menjadi batako. Untuk membantu masyarakat membuat batako, DPLH beberapa waktu lalu meminjamkan alat pembuatan batako kepada Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) yang berlokasi di Perumahan Pondok Pekayon Indah, Bekasi Selatan.

Tapi, hingga saat ini, menurut Syafri, gerakan pengelolaan sampah secara mandiri belum dicanangkan secara terpadu. Pihaknya baru memulai merangkul beberapa instansi terkait untuk ikut menyukseskan gerakan tersebut.

Di tempat terpisah, Dedi menilai pengelolaan sampah mandiri yang dimotori oleh DPLH masih harus diuji visibilitasnya. Pasalnya, produk berupa pupuk dan barang-barang daur ulang belum tentu bisa bersaing dengan barang sejenis. Lagi pula sudah banyak industri rumah tangga yang secara khusus memproduksi barang-barang tersebut secara massal. ''Kita masih mengkaji apakah pola semacam itu bisa diterapkan dan memunyai nilai ekonomi yang menguntungkan,'' ujar Dedi.

Kepala Bidang Pengelolaan Sampah Kota Bekasi, Abdul Malik, mengungkapkan hal serupa. Pihaknya lebih menekankan penanggulangan sampah ini dengan menambah jumlah armada pengangkut sampah dan memperbaiki fasilitas dan teknologi pengelolaan sampah di TPA Sumur Batu.

Harga jual pupuk hasil kompos sampah masih lebih mahal dibandingkan pupuk biasa. ''Kalau kurang menguntungkan, sistem pengelolaan seperti itu sulit diterapkan,'' kata Abdul Malik.

Belajarlah dari Pondok Pekayon Indah

Salah satu komunitas pecinta lingkungan yang secara kontinu mengelola sampah secara mandiri adalah Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) di Pondok Pekayon Indah, Bekasi Selatan. LSM yang melibatkan 800 kepala keluarga (KK) di empat RW ini sudah lama mengembangkan pola pengolahan sampah berikut distribusi hasilnya.

Setiap hari anggota GPL sudah terbiasa mengolah sampah rumah tangga menjadi kompos di rumah masing-masing. Kompos ini lalu dikumpulkan dan dipasarkan di bawah manajemen GPL. ''Kita sudah memunyai wadah organisasi yang terdiri dari kalangan majelis taklim, PKK, dan karang taruna,'' jelas Lala Gozali, ketua GPL.

Hasil keterampilan dari limbah plastik juga sudah banyak dipasarkan ke toko-toko. Untuk membuat beraneka barang kerajinan tangan, GPL membentuk beberapa kelompok usaha dan memberikan pelatihan-pelatihan kepada para anggota.

Gerakan yang baru berumur satu tahun ini pun kerap menggelar penyuluhan-penyuluhan tentang persampahan dan kesehatan lingkungan. Penyuluhan antara lain dilakukan kepada para pembantu rumah tangga agar mereka terampil membuat kompos.

Tidak mengherankan di penghujung tahun 2003 lalu GPL memenangkan lomba Kreativitas Program Daur Ulang Kementerian Lingkungan Hidup. Mereka menyabet gelar juara pertama. Sejak itu, GPL semakin bersemangat mengolah sampah lingkungan. ''Target kita sederhana, lingkungan perumahan bersih dan selokan jadi lancar,'' ujar Lala.

DPLH Kota Bekasi pun memberikan dukungan penuh terhadap GPL yang dianggap menjadi inspirator pengelolaan lingkungan mandiri. Selain memberikan bantuan berupa alat pembuatan batako, DPLH juga membeli dan menggunakan beberapa barang yang diproduksi GPL.

Selain GPL, warga di perumahan Antilop, Pondok Gede, juga sudah memulai gerakan serupa. Di kalangan pelajar pengolahan sampah mandiri sudah dilakukan oleh para siswa SMU 1 Nasional. ''Kita akan terus menyosialisasikan gerakan ini ke semua lapisan masyarakat,'' tutur Syafri.

Laporan: c05

Post Date : 31 Agustus 2004