Kelangkaan Air Ancam Timur Tengah

Sumber:Media Indonesia - 10 Mei 2011
Kategori:Air Minum

Di beberapa negara, produksi gandum terus turun akibat cadangan akuifer, air bawah tanah yang terdapat di antara batuan kedap, sudah sangat tipis. Kondisi itu merupakan akibat dari penyedotan besar-besaran yang telah berlangsung puluhan tahun.

Setelah melakukan embargo minyak pada Amerika Serikat di era 70-an, Arab Saudi menyadari bahwa mereka sendiri sangat rentan terhadap tindakan balasan berupa embargo gandum. Sejak itu, menggunakan teknologi pengeboran minyak, Saudi menyedot akuiferakuifer yang jauh di bawah padang pasir untuk mengairi ladang gandum.

Selama beberapa masa, cara ini berhasil membuat Saudi mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Namun, setelah 20 tahun swasembada gandum, pemerintah Saudi pun mengakui bahwa kemungkinan panen mereka akan berakhir pada 2012. Sebagaimana diberitakan Guardian.co.uk beberapa waktu lalu, panen gandum di negara itu telah jatuh dua pertiganya.

Cepatnya keruntuhan pertanian gandum ini disebabkan dua faktor. Pertama, di negara gersang ini sangat sedikit pertanian yang bisa berjalan tanpa irigasi. Kedua, irigasi sepenuhnya bergantung pada akuifer-akuifer purba.

Berbeda dengan akuifer kebanyakan, akuifer purba tidak terisi ulang dengan air hujan. Saudi memang sebenarnya memiliki teknologi pengadaan air lain, yakni teknologi penyulingan air laut. Namun, teknologi yang menjadi andalan pengadaan air bersih di kota-kota ini dinilai terlalu mahal untuk irigasi.

Kerawanan pangan yang terus meningkat di Arab Saudi juga berdampak pada pencaplokan lahan pertanian di negara lain. Dua negara yang sering dilanda kelaparan, yakni Ethiopia dan Sudan, telah menjadi ladang kebun baru bagi Saudi. Beberapa perusahaan asal Saudi telah menyewa lahan secara besar-besaran di negara-negara subur itu untuk memproduksi pangan.

Ini merupakan fenomena baru yang kian mencuat di beberapa negara ini, yang sering disebut land grabbing. Alam yang subur dan kaya air dicaplok negara-negara gersang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Krisis air juga mengancam terjadinya perang suku sebagaimana terjadi di Yaman. Di negara tetangga Saudi ini penggunaan akuifer juga sudah jauh melampaui kemampuan untuk terisi kembali.

Muka air tanah di seluruh Yaman turun 2 meter setiap tahunnya. Di ibu kota Yaman, Sana'a, saluran air bersih hanya tersedia se tiap empat hari sekali. Di Taiz, kota lebih kecil di bagian selatan, warga bahkan harus menunggu 20 hari sampai air ledeng tersedia selama satu hari.

Dengan air tanah yang terus turun, Yaman harus mengimpor 80% kebutuhan gandum mereka. Negara ini tidak bisa mengembangkan industrinya dan kasus malnutrisi anak sangat banyak.

Kelangkaan air juga membuat masalah yang lebih serius dari sekadar lapar dan dahaga. Negara yang sudah disebut beberapa pihak sebagai negara gagal (failed state) ini makin terancam perang suku yang memperebutkan sumber-sumber air tersisa. Kelangkaan air telah membuat masa depan negara ini terancam.

Masalah air juga merongrong Suriah dan Irak. Di negara dengan populasi besar ini, air menjadi barang langka setelah aliran Sungai Eufrat dan Tigris berkurang. Turki, yang mengontrol bagian hulu dua sungai itu, tengah giat membangun sejumlah dam untuk kebutuhan energi tenaga hidro mereka. Meskipun sebenarnya ketiga negara telah memiliki perjanjian manajemen air, nyatanya Suriah dan Irak tidak mampu berbuat banyak dengan keputusan Turki tersebut. Masalah air kini juga tengah mengancam Yordania.

Kondisi yang tengah terjadi di Timur Tengah ini sebenarnya peringatan juga untuk banyak negara lain, termasuk kawasan Asia Tenggara. Dengan populasi yang besar dan penggunaan air yang tidak terkontrol, krisis regional akibat air juga bisa terjadi di sini. (Big/M-3)



Post Date : 10 Mei 2011