|
"Sejak dulu kami sudah kesulitan air, tetapi sumber air masih mengalir. Sekarang makin susah. Mencari sumber air sangat susah. Kalau menggali sumur, sudah digali puluhan meter pun, air tak kunjung keluar," ujar Tariyem (65), warga Dusun Pule, Desa Gedong, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, dengan nada prihatin. Saat ditemui suatu siang, Tariyem sedang membersihkan tanaman jagung yang baru berusia seminggu di lahan yang tidak jauh dari rumahnya. "Baru sekarang bisa tanam lagi. Karena hujan mulai datang," ujarnya. Walau sekarang dengan mudah bisa membeli air dari penjual yang lalu lalang di desa mereka dengan membawa tangki, Tariyem mengakui kondisi itu tetap memberatkan warga karena mereka tetap harus mengeluarkan dana. "Kalau dulu, saat musim kemarau, kami masih bisa mengambil air di sumber air sehingga tidak perlu mengeluarkan uang. Sekarang, kalau musim kemarau, kami terpaksa membeli air karena sumber air kering semua," tuturnya yang dibenarkan Sutiyah (50), tetangganya. Kedua perempuan yang selama ini tinggal di desanya mengakui kesulitan air sudah biasa. Namun, kenapa beberapa tahun terakhir sumber air banyak yang kering, mereka tidak mengerti. Tariyem dan Sutiyah adalah bagian dari 31.158 warga di Kecamatan Pracimantoro yang selama ini kesulitan air. Pracimantoro adalah satu dari enam kecamatan di Wonogiri yang menderita kekeringan terparah tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, Pracimantoro adalah daerah dengan jumlah penduduk terbanyak yang membutuhkan air. Enam kecamatan lain adalah Paranggupito, Giritontro, Giriwoyo, Eromoko, dan Batuwarno. Di Jawa Tengah, Kabupaten Wonogiri adalah kabupaten yang menjadi langganan kekeringan dan kekurangan air. Tiap tahun, Pemerintah Provinsi Jateng dan Pemerintah Kabupaten Wonogiri harus mengalokasikan anggaran khusus untuk mengatasi kekeringan dan kekurangan air. Bahkan, pada tahun 2007, kebutuhan dana untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Wonogiri mencapai Rp 4,2 miliar. Lahan kritis meningkat Dari tahun ke tahun, seiring dengan meningkatnya jumlah desa yang mengajukan permintaan bantuan air, luasan lahan kritis di kabupaten dengan luas daerah 182.236 hektar ini meningkat signifikan. Hanya dalam waktu empat tahun, luas lahan kritis di kabupaten yang berada 32 kilometer di sebelah selatan Kota Solo ini meningkat dua kali lipat atau naik 100 persen. Berdasarkan data Wonogiri Dalam Angka, pada tahun 2003, luas lahan kritis di Wonogiri 26.991 hektar. Namun, pada tahun 2004, luas lahan kritis bertambah 15.046 hektar menjadi 42.037 hektar. Tahun 2005, luasan lahan kritis bertambah 12.227 hektar menjadi 55.264 hektar. Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Wonogiri Pranoto mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, kekeringan di Wonogiri telah meluas. "Dulu cuma dua kecamatan, sekarang menjadi enam kecamatan," ujarnya. Dari hasil pengkajian, meluasnya lahan kritis selain akibat alam juga akibat ulah manusia. Contohnya, lahan pertanian dan permukiman yang merambah sampai perbukitan mengakibatkan rawan longsor dan daerah resapan air pun berkurang. Untuk mengatasi keadaan ini, mau tidak mau, lahan kritis harus ditanggulangi. Penghijauan besar-besaran pun dilakukan, terutama di sekitar waduk yang menjadi sumber air bersih dan air irigasi pertanian. Di sisi lain, untuk program jangka pendek dan jangka menengah, diupayakan pencarian sumber-sumber air baru, termasuk ditemukannya sumber air Seropan berupa sungai dalam tanah dengan debit 800 liter per detik. Upaya penghijauan ini menggerakkan masyarakat agar merasa ikut menanam dan memelihara. Gerakan penghijauan yang dilakukan sejak tahun 2005 itu kini mulai membuahkan hasil yang lumayan. Pohon-pohon mulai menghijau. Mudah-mudahan, beberapa tahun ke depan masyarakat mulai bisa memetik hasilnya. Kabupaten Wonogiri yang gersang bisa menjadi hijau, sedangkan kesulitan air bisa diatasi. Sonya Hellen S Post Date : 06 Desember 2007 |