Musim penghujan berangsur-angsur pergi meninggalkan kita. Musim kemarau pun datang. Bahaya kekeringan dan kesulitan mendapatkan air bersih pun mengintai karena ulah kita yang tidak bersahabat dengan alam.
Hujan yang mengguyur Indonesia pada musim hujan kali ini cukup panjang. Awalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan peralihan antara musim hujan ke musim kemarau akan terjadi pada Maret lalu. Namun sampai saat ini rintik hujan masih beberapa kali mengguyur wilayah-wilayah di Indonesia.
Banyak orang awam menganggap jika musim hujan panjang maka musim kemarau yang terjadi akan pendek. Namun pada kenyataannya, musim hujan yang panjang akan menyebabkan musim kemarau yang juga lebih panjang dari biasanya. Alhasil, kecemasan akan bahaya kekeringan menyeruak seiring makin panjangnya musim kemarau di beberapa wilayah Indonesia.
Pada 2006, misalnya, enam daerah di Indonesia, yakni Nusa Tenggara, Jawa, Bali, Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan mengalami kekeringan akibat beberapa faktor. Saat itu, sebuah badai bernama Ewiniar yang datang dari perairan sebelah timur laut Filipina terus bergerak menjauhi Indonesia dan tidak memengaruhi pola cuaca di sebagian besar wilayah Indonesia.
Hal itu menyebabkan wilayah Indonesia bagian selatan didominasi angin dari timur sehingga hujan semakin berkurang di wilayah itu. Hal itu tentunya berdampak terhadap rendahnya curah hujan di wilayah itu dan timbul kekeringan.
Meski bencana kekeringan seperti tahun 2006 diprediksi tidak akan terjadi pada tahun ini, tetap saja bahaya kekeringan selalu mengintai. Selain karena faktor musim hujan yang panjang yang akan membawa musim kemarau yang panjang pula, pola hidup manusia yang tidak ramah terhadap alam juga sangat memengaruhi terjadinya kekeringan. Keseimbangan di alam pun hilang. Hilangnya keseimbangan itulah yang juga dikhawatirkan Robert Delinom, pakar air tanah dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Menurutnya, saat musim hujan air yang ditumpahkan memang banyak. Namun, air yang melimpah itu tidak tertangkap atau tidak terserap baik oleh lapisan tanah. Akibatnya, air hujan mengalir begitu saja di permukaan tanah. Tidak heran saat musim hujan banyak wilayah di Indonesia yang dilanda banjir.
Tidak tertangkapnya air saat musim hujan jelas menimbulkan kerugian yang sangat besar saat musim kemarau datang. Persediaan air tanah saat musim hujan tidak bertambah banyak karena air “lari” begitu saja.
Pada musim kemarau tentu saja suplai air tanah akan jauh berkurang karena hujan tidak lagi turun. Padahal, kebutuhan akan air tanah sebagai sumber air yang paling banyak digunakan oleh kita tetap sama pada musim kemarau. “Suplai dan demand air tanah di beberapa wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sudah tidak seimbang. Hal itu salah satunya disebabkan pola hidup kita yang tidak ramah lingkungan. Tidak heran kalau puluhan tahun lagi kita bisa kehabisan persediaan air bawah tanah,” papar Robert mengenai kondisi air tanah di Indonesia.
Melanda Berbagai Daerah
Kondisi yang dipaparkan Robert memang nyata. Air tanah yang menjadi lumbung air kita lama-lama akan habis. Tidak perlu menunggu puluhan tahun untuk membuktikan hal itu. Saat ini kekeringan akibat kurangnya suplai air tanah sudah terjadi di beberapa wilayah di Tanah Air.
Daerah seperti Gunung Kidul, Yogyakarta, merupakan daerah yang saban tahun dilanda kekeringan. Warga yang tinggal di tujuh kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, yaitu Kecamatan Rongkop, Panggang, Girisubo, Tepus, Tanjungsari, Gedangsari, dan Ngawen saat ini mengalami kesulitan air karena musim kemarau. Akibatnya, mereka mulai membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Rata-rata warga membeli air bersih dari pihak swasta dengan harga 120.000 rupiah sampai 160.000 rupiah untuk setiap 5.000 liter air bersih.
Wilayah lainnya yang juga langganan kekeringan adalah Blora, Jawa Tengah. Kekeringan tampaknya telah mengakrabi masyarakat yang tinggal di Kecamatan Randu Blatung, Jiken, dan Menden. Di tiga kecamatan itu, terutama saat musim kemarau, tanahnya retak-retak dan minim unsur hara. Menurut Haryono Purnomo, seorang warga asal Blora, untuk mencukupi kebutuhan air bersih penduduk setempat harus mengambilnya dari sungai yang jaraknya sekitar dua kilometer dari permukiman.
“Sering kali penduduk juga menampung air hujan di bak-bak penampungan besar saat tiba musim hujan,” kata Haryono. Air hujan itu juga kerap digunakan untuk mengairi sawah tadah hujan yang dimiliki penduduk. Minimnya pasokan air bersih di beberapa daerah di Blora mendorong pemerintah setempat menyuplai air bersih dalam tangki-tangki besar yang diberikan kepada penduduk.
Tidak hanya di daerah, kurangnya pasokan air bersih juga dirasakan pula di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Di Semper, Jakarta Utara, misalnya, saking sulitnya air bersih, beberapa penduduk harus membeli air bersih yang dijajakan pedagang air keliling. Hal yang sama juga dialami warga Perumahan Pondok Cipta, Bekasi Barat. “Air di sini sudah tidak bagus untuk dikonsumsi. Kalau dimasak meninggalkan kerak di dasar panci,” ujar Tuginah, 68 tahun, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan itu.
Tuginah dan ibu-ibu lain di kompleksnya setiap bulannya rata-rata membeli air tiga sampai empat jeriken yang tiap jerikennya berisi 20 liter air. Harga satu jeriken berkisar 2.000 rupiah. Pengeluaran mereka untuk mencukupi kebutuhan air bersih semakin besar manakala mereka harus membayar air PAM dan air minum isi ulang atau air mineral. Semua hal itu mereka lakukan karena air tanah di lingkungan mereka sudah tidak layak konsumsi dan semakin sulit didapat.
Kondisi itu bisa semakin parah jika sikap kita terhadap alam tidak berangsur ramah. Menurut Robert, kekeringan yang melanda Indonesia selain disebabkan faktor cuaca, ulah manusia juga memberikan kontribusi yang sangat besar. Bahkan, di Indonesia kekeringan akibat ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan atau disebut juga kekeringan antopogenik lebih banyak terjadi.
Beberapa perilaku manusia yang dikatakan tidak ramah lingkungan di antaranya pemakaian air yang berlebihan serta merusak kawasan tangkapan air. Dalam pandangan Chalid Muhammad, Ketua Institut Hijau Indonesia (IHI) yang juga mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kekeringan yang berujung pada kesulitan air bersih di Indonesia lebih banyak terjadi akibat rusaknya daerah tangkapan air. “Pemerintah sering kali mudah memberikan izin pembukaan hutan yang menjadi daerah tangkapan air untuk dijadikan perkebunan, pertambangan, dan permukiman,” ujar Chalid.
Menurutnya, rusaknya daerah tangkapan air ditambah eksploitasi air tanah yang berlebihan seperti yang dilakukan industri air minum dalam kemasan (AMDK) membuat penduduk semakin kesulitan mendapatkan air bersih.
Meski para pengusaha AMDK menyatakan praktik yang mereka lakukan tidak akan membuat penduduk sekitarnya kekurangan air tanah, baik Chalid maupun Robert tidak memercayainya begitu saja. Menurut mereka, praktik yang dilakukan para pengusaha AMDK memang tidak berimbas langsung terhadap daerah sekitar pabrik.
Robert mengatakan penduduk sekitar pabrik memang tidak terlalu terkena dampaknya karena air yang mereka gunakan masih berada di kedalaman yang dangkal. Sedangkan air yang dieksploitasi perusahaan AMDK merupakan air tanah dalam yang kedalamannya sekitar 50 meter. Air yang diambil oleh perusahaan AMDK itu seharusnya menjadi jatah daerah yang berada di bawah seperti Jakarta. “Karena airnya sudah diambil di atas, Sukabumi misalnya, daerah di Jakarta akan kekurangan air,” urainya.
Robert dan Chalid menyepakati pemerintah seharusnya dapat menjalankan undang-undang mengenai sumber daya air dengan konsisten. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang menyatakan air merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi negara hendaknya diterapkan dengan benar. “Pelaksanaan dari UU ini belum terlihat. Negara seharusnya mengoreksi pengelolaan kebutuhan air untuk rakyatnya,” tegas Chalid.
Kalau kebutuhan air bersih untuk rakyat sudah terpenuhi, eksploitasi air tanah yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tidak akan segencar sekarang. Seiring berkurangnya eksploitasi air tanah, permintaan air bersih secara berlebihan pun tidak akan ada. (yst/L-2)
Post Date : 13 Juli 2009
|