|
BENCANA sepertinya enggan pergi dari sejumlah wilayah yang rusak parah diterjang gempa. Baru saja upaya pemulihan dilaksanakan, kini warga di wilayah gempa kembali menelan pil pahit, kekeringan melanda wilayah Gunungkidul. Akibatnya, korban gempa kesulitan mendapatkan air bersih, sementara dropping bantuan air bersih dari pemerintah belum ada. Seperti yang dialami warga korban gempa di Desa Leng Barat Kec. Panggang dan Desa Blado, Kec. Giritirto. Juga beberapa desa di Kac. Saptosari, Sendangsari dan Pulosari, Kab. Gunungkidul, DI Yogyakarta. Wardiyun (49), warga Leng Barat termasuk satu dari belasan ribu orang yang kehilangan rumah, akibat gempa bumi 27 Mei lalu. Bantuan logistik sudah beberapa hari ini mulai surut. Wardiyun bersama istrinya Sarti (43), harus memulai hidupnya tanpa mengandalkan lagi bantuan dari orang lain. Mereka menjadi pengungsi, hidup di tenda. Belum lagi persoalan ekonomi, kebutuhan pangan, kehilangan rumah dan harta benda. Kini mereka kembali dihadapkan pada bencana kekeringan. Telaga yang selama ini menjadi sumber kehidupan mulai mengering. Bahkan untuk mandi pun airnya sudah tak layak, telaga sudah berubah menjadi kubangan lumpur. Untuk memenuhi kebutuhan minum dan memasak harus beli. "Satu tangki air kapasitas 5.000 liter harus mereka beli Rp 110.000,00. Satu tangki air kita irit-irit agar memenuhi kebutuhan satu bulan," kata Sarti. Sarti dan Wardiyun paham betul, setiap kemarau desanya pasti kekeringan, air sulit dan mahal, dan harganya membumbung tinggi. "Tahun lalu satu tangki air bisa Rp 150.000,00. Dulu krisis air menjadi hal biasa, namun kini menjadi luar biasa. Rumah tak bisa ditempati, temboknya bengkah. Meski begitu, nasib Sarti beruntung karena masih suka dikirim uang oleh empat anaknya di rantau. Turino (27) tetangga Sarti, dibuat pusing dengan terjadinya kekeringan, karena jumlah anggota keluarganya lebih banyak, sehingga pemakaian air lebih boros. Air satu tangki hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan tiga pekan, itupun dengan diirit. Nasib Janah (52), warga Warga Giripurwo Kec. Purwosari, Gunungkidul, tak kalah menyedihkan. Ia terpaksa menjual singkong atau gaplek, untuk memperolah air. Di Giripurwo, harga air lebih mahal dari singkong yang hanya Rp 600,00/kg, sedang harga satu jeriken air Rp 1.500,00/isi 20 liter. Menurut dia, ongkos menanam dan merawat singkong tidak sebanding. Satu ha lahan paling hanya mampu menghasilkan 1 ton gaplek, karena tanamannya kurang air. Sehingga jarang warga yang menanam singkong, dan membiarkan lahannya kosong. Sebagian warga memang masih memanfaatkan sisa-sisa air di telaga, meski airnya sudah keruh. Karena airnya keruh harus didiamkan semalam lebih dulu agar kotoran mengendap. "Setiap hari saya harus berjalan 2 km untuk ambil air," katanya. Bahkan, untuk menyiram tanaman tembakau di Desa Blado petani harus membeli air Rp 1.000,00/jeriken. Untuk sekali penyiraman tanaman seluas 300 m2 dibutuhkan sekira 50 jeriken. Satu kali penyiraman membutuhkan 50 jeriken, harga per jeriken mahal Rp 1.000,00 ongkos itu untuk transportasi mengambil air di telaga yang jarak tempuhnya 2 km," kata Bardi warga Blado. Di sisi lain, sebagian masyarakat menganggap kekeringan sebagai peluang untuk meraup keuntungan. Kamto (32), dalam sepekan ini mendapat penghasilan yang cukup, dengan menjual air ke petani atau warga. Mobil pick up dan 50 jeriken air, merupakan modal utama untuk meraih keuntungan. Kamto yang juga petani tembakau merangkap penyuplai air. Sekali mengambil air dengan mobil pick-up di mata air hanya dikenakan uang kas desa Rp 2.000,00. "Plus ongkos BBM sekali angkut Rp 30.000,00 jadi untungnya lumayan," katanya. (Eviyanti/"PR") Post Date : 05 Juli 2006 |