|
Menjelang musim kemarau yang akan jatuh sekitar bulan Juli nanti, sebagian besar wilayah Jakarta kembali terancam kekeringan. Bencana kekeringan mengancam 48,75 persen penduduk Jakarta yang masih mengandalkan air tanah dangkal dan air permukaan untuk mendapatkan air bersih. Seperti tahun lalu, wilayah yang terancam krisis air (zona kritis) adalah Penjaringan, Cengkareng, Tambora, Pademangan, Sawah Besar, Kemayoran, Koja, Tanjung Priok, Kelapa Gading, dan Cilincing. Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Kosasih Wirahadikusumah, Rabu (23/6), mengingatkan bahwa setiap tahun wilayah Jakarta memang selalu mengalami krisis air. Krisis itu terjadi karena curah hujan yang turun di Jakarta tidak bisa kembali menjadi air tanah akibat berkurangnya daerah resapan air. Zona kritis adalah daerah dengan kedalaman muka air tanah 12-16 meter dengan fluktuasi penurunan muka air tanah 6-8 meter. Selain zona kritis, di Jakarta masih ada beberapa daerah yang masuk zona rawan, yaitu wilayah Petamburan, Kebon Jeruk, Kembangan, Taman Sari, Gambir, Menteng, Tanah Abang, Setiabudi, Senen, Matraman, Cempaka Putih, Johar Baru, Pulo Gadung, dan Cakung. Menurut Kosasih, air hujan yang turun di Jakarta sebagian besar mengalir di permukaan run off dan tidak bisa meresap ke dalam tanah. Banyaknya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang dikonversi menyebabkan minimnya penyerapan air ke dalam tanah. "Air hujan yang jatuh langsung terbuang ke laut," kata Kosasih. Pada tahun 2000, BPLHD DKI mencatat, luas RTH di Jakarta hanya 18.180 hektar atau 28 persen dari luas wilayah DKI. Padahal, menurut standar, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1998 tentang penataan RTH di wilayah perkotaan mengatur, RTH di perkotaan harus mencapai 40 persen dari seluruh luas wilayah. Menambah RTH di Jakarta, katanya, bukan pekerjaan gampang karena banyak area yang sudah terbangun. Menurut Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) 2001, luas wilayah Jakarta 661,62 km2 dengan luas areal yang sudah terbangun sebanyak 608,61 km2 atau 91,99 persen dari luas total wilayah DKI. Berdasarkan penelitian NKLD yang dilakukan tahun 1998, total volume cadangan sumber daya air tawar di DKI 6.619,25 juta m3, yang berasal dari curah hujan 2.885,7 juta m3, air permukaan 3.472,48 juta m3, dan air tanah 281 juta m3. Namun, dari total cadangan itu, yang bisa dimanfaatkan hanya 728,3 juta m3, yang berasal dari air tanah dan air hujan. Buruknya kualitas air tanah dan tingginya laju run off menyebabkan potensi cadangan air tawar tidak bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Kualitas buruk Nasib warga Jakarta yang mengalami kekeringan semakin parah karena kualitas air tanah yang tersisa akan semakin buruk. Kepekatan bahan-bahan pencemar yang masuk ke air tanah dan sumber daya air lainnya, seperti sungai, semakin kental karena volume air berkurang. Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan BPLHD DKI Yunani Kartawiria mengungkapkan, selain kuantitas air yang menurun, kualitas air tanah yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil pengamatan terhadap sumur pengamatan di lima wilayah Jakarta, hampir 90 persen air tanahnya sudah tercemar bakteri fecal coli yang berasal dari tinja. Hasil penelitian keseimbangan kebutuhan dan suplai air di Jakarta yang dilakukan Japan Indonesia Cooperation Agency menunjukkan, pada tahun 2010 penduduk Jakarta akan mulai mengalami kekurangan air bersih. Selain minimnya air tanah, kekurangan air tawar yang disuplai oleh sungai yang melintasi Jakarta mencapai 2.310 liter per detik pada tahun itu. Kekurangan suplai air tawar terus meningkat menjadi 13.210 liter per detik. Mengingat krisis air bersih sudah terjadi hampir setiap tahun, Pemerintah Provinsi DKI harus mengupayakan konservasi air dalam tanah. (IND) Post Date : 24 Juni 2004 |