|
AIR merupakan komponen penyusun utama makhluk hidup. Meski demikian strategis, perhatian pemerintah terhadap pengelolaan sumber daya air jauh lebih rendah dibandingkan dengan minyak. Padahal, fakta menunjukkan, nilai tukar ekonomi air jauh melebihi nilai tukar minyak untuk volume yang sama. Indikasinya, air dan minyak tanah kini sama-sama langka, tetapi minyak ada substitusi, subsidi, dan operasi pasar, sementara air tidak tersedia. Padahal, berita dan derita krisis air akibat kekeringan terus mengemuka dengan besaran (magnitude) intensitas, frekuensi, durasi, dan distribusi kian mencemaskan. SEBENARNYA kekeringan merupakan fenomena musiman biasa bagi Indonesia yang memiliki dua musim, hujan dan kemarau. Peningkatan besaran kekeringan secara luar biasa belakangan menjadikan kekeringan sebagai hantu yang amat menakutkan bagi siapa saja, termasuk penguasa. Ketakutan terhadap ancaman kekeringan ini amat beralasan karena sejarah mencatat, tumbangnya rezim Orde Lama maupun Orde Baru yang saat itu diyakini amat mustahil diawali dengan kekeringan luar biasa. Dampak yang ditimbulkan tak terbilang besarnya, mulai dari penurunan luas tanam, luas panen, produktivitas sampai kualitas hasil, terjadinya kebakaran hutan dan lahan, hingga meningkatnya beban perempuan yang berkelebihan (over burden). Dampak luar biasa ini tampaknya menjadi lebih parah lagi karena pemerintah bersama masyarakat tidak serius dan konsisten memecahkan masalah kekeringan dengan menggunakan teknologi maju berbasis masyarakat. Indikatornya, ancaman kekeringan terus meningkat, bahkan pada tahun basah 2004 yang di beberapa wilayah masih terjadi hujan lebat di wilayah lain, seperti Klaten, Wonosari, Wonogiri, dan wilayah pegunungan kapur selatan, sudah terancam kekeringan. Terjadinya tragedi dan bencana kematian ribuan manusia di gurun Sahel, Afrika perlu dijadikan pelajaran dalam menyikapi dan mengantisipasi bahaya kekeringan yang kian mencemaskan. Meski dampaknya amat luar biasa, hingga kini belum ada upaya signifikan untuk menyelesaikan soal kekeringan. Selama ini, penyelesaian masalah kekeringan dilakukan dengan reaktif, temporer, ad hoc, partial, orientasi penciptaan proyek. Pemberian air bersih, bantuan pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, serta rehabilitasi sarana irigasi adalah fakta nyata tentang strategi dan pendekatan penanggulangan kekeringan yang tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Ironisnya, untuk mengatur hajat hidup orang banyak, seperti minyak, pemerintah membentuk BUMN Pertamina, sementara untuk air yang merupakan komponen utama penyusun manusia malah diserahkan kepada pasar, bahkan dibuka pintu privatisasi dengan disahkannya UU sumber daya air yang sarat rekayasa. Eksploitasi sumber mata air (natural spring water resources) maupun air tanah (ground water) yang berlebihan tanpa kontrol untuk air kemasan dan industri yang tidak mengindahkan keberlanjutan adalah teladannya. Bila kondisi ini terus terjadi, dapat dipastikan berita penurunan produksi, puso, kekurangan air akan terjadi setiap tahun, bahkan terjadinya gurun pasir yang tidak balik (irreversible) yang selama ini hanya mimpi dapat menjadi kenyataan. Apakah kita tidak belajar dari fakta, gurun pasir yang ada di dunia ini tidak pernah berhasil dihijaukan? Pertanyaan lebih ekstrem, apakah derita ini akan terus dibiarkan dan baru mendapat perhatian setelah menelan korban jiwa? Mengapa ini terus terjadi? Defisit neraca air meteorologis dan hidrologis adalah jawabnya. Defisit neraca air meteorologis dan hidrologis, menurut ruang dan waktu, merupakan penyebab utama meningkatnya ancaman kekeringan. Ketimpangan pasokan dan kebutuhan ini kian membengkak saat kemarau dengan pasokan menurun, sementara eksploitasi sektor industri dan air minum dilakukan membabi buta untuk mengejar margin maksimal. Masalah ini diperburuk dengan keterpaksaan petani membudidayakan padi dalam kondisi air terbatas, mendorong terjadinya kekeringan agronomis yang menyebabkan kebangkrutan petani karena sawah sering merupakan harta satu-satunya untuk sandaran hidup. Pilihan petani untuk membudidayakan padi ini sering dituding akibat ketidakmampuan petani melakukan antisipasi kekeringan. Padahal, keputusan itu dilakukan dengan pertimbangan matang karena padi merupakan kebutuhan primer dengan harga relatif stabil yang investasi tenaga dan dana relatif rendah daripada komoditas hortikultura dan perkebunan, seperti cabai, tomat, melon, dan tembakau. Pemerintah tidak bisa serta-merta menganjurkan penggantian jenis komoditas yang hemat air dan bernilai ekonomi tinggi bila penyediaan sarana seperti benih, pascapanen, pengolahan hasil, dan pemasaran tidak dapat dilakukan. Komoditas sayuran yang mudah rusak amat berat risikonya bila harus ditanggung petani sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu memikirkan penyelesaian end product dari komoditas unggulan yang dihasilkan bila adaptasi kekeringan melalui sistem budidaya akan dikembangkan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana masalah kekeringan ini diselesaikan? Peningkatan kemampuan deteksi dini secara on-line dan penyusunan sistem informasi kekeringan adalah solusinya. ANCAMAN kekeringan dapat terjadi akibat dua faktor: (1) dampak perubahan global; dan (2) dampak perubahan lokal. Perubahan global adalah suatu keniscayaan sehingga yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan deteksi dini (early warning detection) dan pemantauan secara on-line. Melalui teknik saringan Kalman (Kalman Filter), tiap perubahan besaran curah hujan dapat diprediksi secara real time. Dengan data curah hujan dari stasiun iklim otomatis, model prediksi curah hujan yang dihasilkan Kalman Filter dapat di-ajust secara reguler guna meningkatkan kualitas hasil pemodelan curah hujan. Saat ini Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi sedang mengembangkan metode itu yang divalidasi dengan data stasiun iklim otomatis yang dapat diakses melalui jaringan telepon. Berdasarkan hasil validasi, ternyata kemampuan forecast curah hujan tiga bulan ke depan memberi hasil yang menjanjikan (permisible) sehingga berdasar informasi itu dapat dirancang pola tanam optimumnya. Berkait dengan fenomena lokal, penyusunan sistem informasi kekeringan untuk alokasi, optimasi, dan pendayagunaan sumber daya antarsektor mendesak dilakukan. Saat ini baru Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang memiliki sistem informasi itu guna memantau ketahanan pangan. Dengan memanfaatkan data citra satelit Landsat TM, luas lahan sawah, luas tanam, luas panen, indeks kebasahan (wetness index), serta kemampuan produksi pangan dapat diestimasi tiga bulan sebelumnya. Integrasi data spasial, temporal, tabular, dan vektoral peubah kekeringan memungkinkan pengambil kebijakan mengembangkan sistem informasi untuk berbagai keperluan seperti tata ruang, manajemen alih fungsi lahan, produksi air, reboisasi, dan penghijauan, bahkan dalam peningkatan produksi pertanian. Penggunaan sistem informasi yang multipurposes dan multiple users amat direkomendasikan karena selain menghemat biaya, waktu, dan tenaga, juga memungkinkan koordinasi dan integrasi sistem berlangsung secara alamiah. Ancaman kekeringan sebagai dampak ketimpangan alokasi dan pendayagunaan sumber daya dapat dicari pemecahannya sesuai dengan kondisi spesifik lokasi. Meski ancaman kekeringan sudah amat mencemaskan, amat disayangkan hingga kini belum ada calon presiden yang secara serius dan nyata menyatakan atensinya. Mereka lebih tertarik masalah ekonomi, politik yang semu, dan cenderung absurd serta akan hancur berantakan bila kekeringan dahsyat terjadi. Menyedihkan, tetapi itulah faktanya. Mereka belum belajar dari sejarah. Suatu saat sejarah akan memberikan pelajaran. Gatot Irianto Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Post Date : 22 Juni 2004 |