|
[YOGYAKARTA] Bencana kekeringan yang rutin melanda Kabupaten Gunungkidul, memasuki masa kritis. Sejumlah warga mulai mengeluhkan pelayanan pemerintah dalam hal pengadaan air bersih. Mengingat ketersediaan dana khusus dropping air milik Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sudah digunakan, masyarakat berupaya secara mandiri baik dari membeli air ke pedagang, sampai menunggui aliran air dari sumber-sumber air dengan debit yang berkurang banyak. Warga Kecamatan Paliyan, Yulianingsih (28) mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan air minum, keluarganya terpaksa membeli air dalam kemasan galon, sedang untuk mandi dan mencuci, harus membeli dari pedagang air keliling, baik yang menggunakan mobil tanki maupun jerigen. "Paliyan tidak terlalu jauh dari pusat kota, jadi satu tanki berkapasitas 10 ribu liter, harganya mencapai Rp 130 ribu. Kalau sampai ke Ponjong atau Rongkop, harganya bisa dua kali lipat," terangnya. Menanggapi hal itu, Kepala Bagian Ekobang Gunungkidul, I Ketut Santosa menyatakan, dana yang ditunggu-tunggu dan sudah diajukan melalui APBD Perubahan, belum jelas akan turun kapan, sedang dana murni dari APBD sebesar Rp 200 juta, sudah habis terpakai untuk droping air selama satu setengah bulan. "Apa boleh buat, masih banyak wilayah rawan kekeringan yang belum tersentuh bantuan. Kami masih harus menunggu dana turun lagi," katanya. Khusus warga yang tertimpa bencana, bantuan air masih terus dilakukan, sebab selain karena rumah roboh dan rusak berat, kondisi kesehatan korban gempa relatif rawan. "Kalau mereka dipusingkan dengan air, rekonstruksi rumah tidak akan jalan. Untuk saat ini fokus kita memang pada korban gempa, meski banyak warga yang mulai mengeluh kesulitan," ucapnya. Prediksi bahwa pada Oktober ini hujan mulai turun, tidak bisa dijadikan patokan. Sementara itu, 225 dari 250 telaga di Gunungkidul rata-rata mengering. Telaga Serpeng yang terletak di Dusun Serpeng, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu juga ikut mengering, meski sudah dilakukan pengerukan dan dibangun dengan dinding beton pada 2004 dan memakan dana sebesar Rp 1 miliar. Sedang kecamatan yang dilanda kekeringan makin meluas, meliputi Kecamatan Purwosari, meliputi Desa Giripurwo dan Giricahyo, Kecamatan Panggang hampir seluruh desa, Kecamatan Saptosari meliputi Desa Krambilsawit, Ngloro, sebagian Jetis, Planjan, dan Ngloro. Kecamatan Paliyan meliputi Desa Giring, Karangasem, Mulusan, dan Pampang. Untuk Kecamatan Tanjungsari dan Tepus hampir seluruhnya mengalami krisis air. Demikian juga Kecamatan Rongkop dan Girisubo. Pedagang Air Sumber air yang terdapat di Desa Giritirto Kecamatan Purwosari tampak tetap mengucurkan air dengan debit yang cukup tinggi. Akibatnya, banyak pedagang air yang mengambil air dari Sumber Ngeleng untuk dijual ke masyarakat yang kekurangan air. Salah satu pedagang air keliling, Supar mengaku bahwa satu jerigen bervolume 35 liter di jual Rp 3.500 dengan pertambahan Rp 500 setiap lima km. "Sampai ke Panggang, satu jerigen harganya Rp 4.000, makin jauh, ya makin naik," ucapnya. Supar dalam sehari bisa empat kali bolak-balik mengangkut 50 jerigen yang rata-rata bervolume 35 liter sampai 60 liter. Dia yakin, dengan objek bisnisnya itu, banyak masyarakat yang tertolong. Warga setempat, Wajib (50) menyatakan tidak berkeberatan bila sumber air di wilayahnya digunakan dan diambil kemudian dijual para pedagang yang rata-rata berasal dari luar Gunungkidul. [152] Post Date : 17 Oktober 2006 |