|
Banjir dan kekeringan yang melanda di berbagai wilayah Indonesia beberapa waktu lalu tampaknya akan menjadi peristiwa rutin di masa datang. Keduanya terjadi tidak sebagai konsekuensi modernisasi dan komersialisasi dalam kehidupan masyarakat. Adanya UU No 7/2004, posisi sumber daya air telah mengalami pergeseran nilai dan kegunaan. Jika semula penggunaan air dominan untuk kepentingan pertanian dan air minum, kini berubah untuk berbagai kepentingan (industri, tenaga listrik, perikanan). Dengan demikian, fungsi air yang bersifat sosial dan milik umum (common property) berubah menjadi komoditas ekonomi dan dikuasai pemilik modal (private property). Implikasinya, kompetisi penggunaan air di antara berbagai kepentingan kian meningkat baik di tingkat masyarakat pemakai air maupun dengan perusahaan. Terutama saat ketersediaan air tidak cukup memadai dari sisi kuantitas. Neraca sumber daya air Indonesia mencatat, pada tahun 2000 defisit air sekitar 52.809 juta meter kubik dan diperkirakan mencapai 134.102 juta meter kubik pada 2015. Situasi krisis air (kekeringan), banjir, dan longsor mencerminkan rapuhnya kebijakan pengelolaan DAS. Berdasarkan data Dirjen Sumber Daya Air Kimpraswil, kini ada sekitar 65 daerah aliran sungai (DAS) atau 13,8 persen dari jumlah DAS di Indonesia dalam keadaan amat kritis dengan tingkat sedimentasi tinggi. Yang menjadi masalah adalah ketika krisis air dan kompetisi penggunaan air terjadi, negara tidak melindungi masyarakat, khususnya pemakai air tradisional (petani) melalui regulasi. Akibatnya, kelompok masyarakat pemakai air dari lapisan bawah mengalami marjinalisasi ekonomi serta merasakan ketidakadilan dalam konteks pengelolaan dan pemanfatan sumber daya air. Padahal, akumulasi ketidakadilan dalam distribusi air merupakan pemicu terjadinya konflik dan kekerasan sosial di antara kelompok pengguna air, bahkan melibatkan pemerintah sebagai salah satu aktornya. Di Pulau Lombok, misalnya, ada 386 kasus konflik pemakaian air setiap tahunnya. Konflik atas hak guna air bukan saja terkait pemanfaatan air untuk kebutuhan air minum di tingkat masyarakat, irigasi untuk pertanian, tetapi juga terkait kepentingan industri dan pertambangan. Konflik hak atas air sering melibatkan berbagai stakeholder di semua tingkat. Bahkan bersifat melintas batas administrasi wilayah serta lintas komunitas (etnis, agama, dan suku). Hak atas air Disadari, kehidupan manusia sebagaimana makhluk hidup lain di bumi amat tergantung air. Air bukan semata dibutuhkan untuk suplemen makanan, menggerakan energi listrik, dan kelangsungan industri, tetapi air diperlukan sebagai kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan kehidupan setiap harinya. Maka, air diibaratkan benang dalam struktur tenunan. Air merupakan kebutuhan dasar rumah tangga yang sekalipun jumlahnya relatif kecil dari total kebutuhan yang lain. Berapa banyak warga memerlukan air minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar. Gleick, (1999) mendefinisikan, kebutuhan dasar akan air adalah untuk minum dan memasak makan setiap hari dan kurang lebih 5 liter per hari. Jumlah ini sudah termasuk kebutuhan untuk memelihara standar dasar setiap orang dalam mencukupi kesehatannya. Namun, hal ini baru memenuhi syarat kecukupan dari sisi ketersediaan, belum kualitas air untuk memelihara kesehatan yang harus bebas dari kontaminasi bahan kimia. Padahal, banyak kasus di mana warga memperoleh air dari sumber yang tidak terlindungi. Seperti terjadi di Jakarta di mana sebagian besar (94 persen) air tanah (sumur) diindikasikan mengandung besi, mangan, dan bakteri E coli. Kegagalan pemerintah, khususnya dalam memberi solusi yang komprehensif guna memenuhi kebutuhan minimum warga akan air akibat krisis air, akan menciptakan hilangnya potensi sumber daya air sebagai aset negara yang dapat menjamin kelangsungan pembangunan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Pembaruan kebijakan pengelolaan air sebenarnya sudah mengakomodasi hak dan akses setiap warga untuk memenuhi kebutuhan minimum atas air minum dan masak. Namun, hak ini hanya menjadi utopia karena dalam praktiknya pemerintah acapkali kurang transparan dan adil dalam memberikan hak guna atas air. Sistem perizinan atas hak guna air ternyata membuat celah bagi seseorang yang kaya untuk memperoleh air secara melimpah, dan di sisi lain menjadikan orang yang miskin harus berjalan berkilo-kilometer demi seember air. Hak minimum masyarakat miskin bisa kian tertutup, saat tidak ada komitmen dan tanggung jawab sosial dari individu/kelompok pengguna air dalam jumlah besar (industri, pertambangan, air minum mineral) atas pentingnya distribusi air secara merata dan adil. Jika demikian, negara mempunyai kewajiban untuk menyantuni hak masyarakat atas air sesuai kesepakatan masyarakat internasional dan ratifikasi konvenan tentang hak ekonomi, sosial dan budaya pada September 2005 oleh DPR. Kemampuan mengembangkan kebijakan hak guna air yang adil dan merata diyakini menjadi modal dasar bagi pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dalam menjawab proses perubahan dan dinamika sosial, ekonomi, serta politik di tingkat regional dan nasional. Dalam kaitan ini, perspektif kebijakan hak guna air harus didasarkan sistem alokasi air yang menjamin kebutuhan semua sektor dan rumah tangga. Semua orang, apa pun kondisi sosial-ekonominya, berhak untuk memperoleh akses air minum dalam kuantitas dan kualitas yang dapat mencukupi kebutuhan dasarnya. Keterlambatan merumuskan bentuk kelembagaan pengelolaan air yang dapat memberi jaminan ketersediaan air bagi semua sektor akan semakin mendegradasikan posisi sosial dan ekonomi masyarakat miskin. Tidak mudah memang karena dibutuhkan dana cukup, pengaturan kelembagaan yang tepat, dan komitmen politik pemerintah yang kuat. Ironisnya, ketiga persyaratan ini hampir-hampir tidak dimiliki pemerintah kita sekarang. Suhardi Suryadi Direktur LP3ES Post Date : 09 Agustus 2006 |