JAKARTA: Tingkat kehilangan air fisik sebesar 25% di wilayah DKI Jakarta sulit ditekan sehingga mengakibatkan efisiensi pengelolaan air minum tidak optimal.
Rachmat Karnadi, Ketua Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Departemen Pekerjaan Umum, mengungkapkan kondisi riil di DKI menunjukkan tingkat kehilangan air (nonrevenue water) sebesar 38%. Angka itu terdiri dari faktor konsumsi resmi tak berekening 2%, kehilangan komersial 11%, dan kehilangan air fisik 25%.
"Untuk menekan tingkat kehilangan air fisik sebesar 25% di DKI sulit dilakukan karena banyak jaringan pipa air minum tertimbun beton. Namun, untuk menekan kehilangan komersial sekitar 11% itu relatif mudah dilakukan," ungkapnya, dalam workshop yang diselenggarakan oleh Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) di Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan kehilangan komersial dapat ditekan dengan optimalisasi penarikan rekening pelanggan atau perbaikan meteran yang rusak.
Menurut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, tingkat kehilangan air minum hampir seluruh perusahaan daerah air minum di Indonesia mencapai 34%.
Faktor pencemaran
Ketua Perpamsi Jakarta M. Haryadi Priyohutomo mengatakan masalah efisiensi pengelolaan air minum juga terkait dengan faktor pencemaran. Air baku untuk instalasi pengolahan air minum milik PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta kondisinya semakin buruk akibat tingginya pencemaran limbah.
Air baku dari asal sumbernya di Bendungan Jatiluhur, Purwakarta relatif masih bagus, tetapi dalam perjalanan melalui kanal banyak tercemar limbah dari rumah tangga dan industri di sepanjang aliran tersebut, sehingga biaya pengolahan airnya semakin mahal.
"Kondisi air baku dengan tingkat pencemaran limbah yang sangat tinggi itu menjadi salah satu penyebab biaya produksinya tidak efisien," jelasnya.
Haryadi terus mendesak dua operator air bersih di Jakarta untuk meningkatkan kinerja dan menurunkan tingkat kehilangan airnya.
Tingkat kehilangan air Palyja 44% dan Aetra 50% diharapkan dapat ditekan sekitar 2% per tahun yang dituangkan dalam setiap penetapan target kerja 5 tahunan (rebasing), sehingga dapat dicapai efisiensi yang maksimal.
Pada kesempatan sama, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Ketua Penasihat Perpamsi, menegaskan ancaman krisis air minum di Jakarta dan daerah lain akibat perilaku buruk manusia terhadap lingkungan, bukan karena pasokan air baku yang menyusut.
"Perilaku buruk manusia itu antara lain penebangan hutan dan kegiatan pembangunan yang menggerus daerah resapan air," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, produksi air minum di instalasi pengolahannya membutuhkan energi yang kini sumbernya semakin terbatas. Hal itu bisa berdampak langsung terhadap tarif air minum yang semakin tinggi.
Solusinya adalah efisiensi. Operator air minum dan konsumen harus bersama-sama mengusahakan efisiensi maksimal, sehingga tarif air minum bisa lebih murah. Nurudin Abdullah
Post Date : 30 Juli 2009
|