Kehidupan Mereka Akrab Dengan Banjir

Sumber:Kompas - 15 Februari 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Di tengah teriknya sinar matahari, Endang (57), pemilik sebuah toko di Baleendah, mengungkapkan keresahannya. Pasalnya, awan hitam tampak di kejauhan diiringi angin kencang berembus lebih dari biasanya.

"Daerah ini langganan banjir. Kalau sudah turun hujan yang cukup lama, bisa dipastikan air meluap sampai masuk ke dalam toko," tutur Endang di tokonya yang terletak di Kelurahan Baleendah, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Rabu (14/2).

Sungai Citarum, kata Endang, sambil merapikan barang dagangannya, adalah sumber luapan air karena semua anak sungai maupun saluran pembuangan yang ada di Kecamatan Baleendah maupun Kecamatan Dayeuhkolot mengalir ke sungai terpanjang di Jawa Barat ini. Citarum mengalir dari hulunya di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, hingga ke pantai utara Jabar.

Bagi dia, air menggenang cukup merepotkan semua pemilik rumah karena lama genangan bisa menyebabkan beberapa perabotan rusak terendam. Belum lagi kerepotan yang harus dilalui untuk membersihkan lantai rumah pascasurutnya air. Itu pun tidak berlangsung lama karena air bisa kembali menggenang bila hujan turun kembali.

Namun, sejenak Endang bisa bernapas lega. Sejak satu minggu terakhir kawasan itu bebas banjir karena jarangnya hujan turun. Yang dia khawatirkan, hujan yang tiba-tiba datang dan membuyarkan semua yang sudah dimilikinya.

"Tandanya cukup jelas. Kalau ada hujan semalam suntuk atau air selokan yang nyaris meluap, kami segera mengangkat perabotan," ujar Endang.

Cerita senada diungkapkan Aseuh (22), tukang tambal ban yang setiap hari mangkal di Jalan Raya Cisirung, tepatnya di Desa Cangkuang Wetan, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Dengan hujan yang turun dalam semalam, air selokan yang berada di dekat lokasi kios miliknya meluber hingga ke badan jalan.

"Saya jadi repot karena sampah meluber sampai ke jalan. Sampah rumah tangga itu terbawa aliran air di selokan dan tersangkut di badan jalan akibat besar lubang selokan yang tidak muat," kata Aseuh.

Untungnya, beberapa pihak yang keberatan dengan keberadaan sampah tersebut langsung berinisiatif menyingkirkan sampah ke tepi jalan. Tinggal satu masalah lagi, siapa yang mengangkatnya ke tempat pembuangan akhir.

Sungai Citepus yang berada tidak jauh dari kiosnya menjadi salah satu penyebab luapan air bila hujan terus-menerus turun.

Sungai Citepus merupakan anak sungai yang mengalir ke Sungai Citarum.

Selama ini yang menjadi masalah dari Sungai Citepus adalah sampah rumah tangga yang terbawa aliran sungai bila sedang meluap. Bisa dibayangkan, air sungai berwarna coklat hitam bisa tertutup oleh warna putih yang berasal dari gabus maupun bungkus plastik dari berbagai kemasan yang tersangkut di bawah jembatan Citepus.

Tak pelak lagi, selain menghambat jalannya air, sampah yang menumpuk juga menjadi penyebab menyebarnya penyakit. Meski demikian, masih saja ada sisi positif yang bisa diambil, seperti sampah yang bisa dijual oleh pencari sampah yang kerap dikenal sebagai burok atau pemburu rongsok. Membaik

Asikin (53), seorang petani, dengan perlahan menjatuhkan biji jagung ke tanah bekas urukan Sungai Citarum yang dibentuk menjadi sebuah ladang di Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah. Dari tempat dia berdiri, Sungai Citarum hanya berjarak 5 meter. Rencananya, jagung yang akan dia panen bukan untuk dijual, melainkan untuk dimakan sendiri.

"Hitung-hitung untuk menutupi kebutuhan sendiri, lumayan dengan memanfaatkan lahan yang tidak digunakan," ujar bapak dua anak itu.

Dia sadar, menanam jagung dengan jarak sedekat itu bisa mengakibatkan jerih payahnya gagal saat air sungai meluap. Namun, kondisi yang berlangsung sejak awal tahun 2007 ini membuatnya mampu berharap sedikit lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Menurut dia, pengerukan Sungai Citarum yang sudah berlangsung dalam beberapa bulan ternyata sudah memperlihatkan hasil nyata. Intensitas banjir yang berkurang drastis sudah dia rasakan. Tinggi luapan air pun tidak sampai menjangkau tempat dia kini berdiri.

"Namun, rumah saya yang berada di seberang sungai memang masih sering kebanjiran karena posisinya lebih rendah. Bahkan, ketinggiannya hampir sejajar dengan permukaan sungai. Entah bagaimana nasib daerah ini," katanya.

Karno (40) setiap harinya mangkal di depan pintu masuk Kampung Bojong Citepus yang ada di Desa Cangkuang Wetan. Rumah tukang becak itu sudah roboh diterjang banjir sejak tahun 1987 dan hingga kini dia tinggal dengan cara mengontrak tidak jauh dari rumahnya semula.

"Memang, rumah kontrakan kami masih sering kebanjiran, tetapi setidaknya tidak separah rumah sebelumnya," ujarnya.

Asikin menjelaskan, dia sudah tinggal di daerah tersebut sejak dia lahir. Layaknya kacang dengan kulitnya, dia merasa berat bila diharuskan pindah dari rumahnya yang sering dikunjungi banjir.

Selain itu, kalaupun dia berencana untuk pindah, tidak akan ada orang yang mau untuk membeli rumahnya. Siapa yang mau membeli rumah atau tanah yang menjadi daerah langganan banjir.

Adapun Endang mengaku lebih suka bertahan di rumahnya. Sebab, meski kerap datang, banjir masih bisa dihadapi. Artinya, meski waswas tiap awan mendung datang, dia tidak akan meninggalkan rumahnya. (Didit Putra Erlangga R)



Post Date : 15 Februari 2007