Melakukan pemilahan sampah kering memang bukan hal yang mudah, terutama bagi masyarakat Wonokromo. Selain memerlukan kemauan yang kuat dan kekompakkan dari seluruh masyarakatnya, Wonokromo menghadapi persoalan lain. Padatnya perkampungan dan tidak adanya lahan kosong membuat para kader Wonokromo harus berpikir ekstra untuk mencari tempat sementara sebelum sampah kering yang telah dipilah masyarakat dijual ke tukang lapak.
Pada awalnya mereka menyimpan sampah kering di teras rumah beberapa kader. Namun masalah kembali muncul di musim penghujan. Sampah kering yang telah siap jual menjadi basah dan akibatnya sampah kering jadi tidak laku.
Akhirnya mereka berinisiatif untuk membangun “Rumah Sampah Kering”. Dananya didapat dari hasil penjualan sampah kering yang mencapai 4 juta rupiah. Untuk mewujudkan rumah tersebut, mereka harus menunggu selama 3 tahun.
Kini mereka tak lagi bingung menyimpan sampah keringnya. Sejak akhir tahun 2008, rumah tersebut sudah bisa digunakan. Bahkan, arisan kader pun juga dilakukan di rumah tersebut.
Selain itu, dengan adanya rumah sampah kering ini, maka para kader lebih mudah memperoleh bahan-bahan seperti plastik bekas sabun cair, kopi, bungkus mi instan, sedotan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut diperlukan untuk bahan baku pembuatan kerajinan tangan daur ulang seperti tas, taplak meja, tudung saji, dll. Sehingga mereka bisa memenuhi pesanan yang datang. Selain itu, kerajinan-kerajinan hasil karya para kader ini bisa dijual kepada para tamu yang berminat menjadikannya sebagai cindera mata. Selain menambah penghasilan buat kader, mereka juga bangga karena sudah berhasil merubah wajah Wonokromo dari daerah yang terkenal sangat kumuh menjadi tempat sarana belajar dan berbagi pengalaman.
http://www.esp.or.id
Post Date : 19 Agustus 2009
|