|
JAKARTA (Media): Pemanfaatan teknologi yang tepat dan kemauan politik birokrasi diperlukan untuk mewujudkan kebutuhan air bersih, terutama di kota-kota besar. Masalah air bersih harus dibuat kebijakan yang sama seperti pelarangan merokok yang dicanangkan Gubernur DKI. Ketua Agen Manajemen Lingkungan Jakarta Kosasih mengatakan hal itu kepada Media di sela-sela diskusi soal manajemen air di Jakarta, Senin (29/8). "Solusi kekurangan pasokan air bersih di Jakarta adalah dengan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan dorongan yang serius dari Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Larangan merokok saja dicanangkan, soal air bersih juga membutuhkan kebijakan yang sama," tandas Kosasih. Dia mencontohkan pemakaian air PDAM Jaya paling banyak di Jakarta Utara. Berdasarkan penelitiannya, 84 total industri berada di wilayah itu. Ketika dihitung sampai 22 industri saja sudah mengonsumsi lebih dari separuh pasokan PDAM Jaya. Kawasan industri dan perumahan serta rekreasi seperti Taman Impian Jaya Ancol, Pantai Indah Kapuk, Kawasan Industri Berikat, dan Pelindo di Jakarta Utara membutuhkan 1.000 m3 air bersih dari PDAM Jaya per harinya. Tarif air bersihnya berkisar Rp9.000-Rp12.000 per liter dan dalam waktu dekat tarif ini akan naik lagi. Apabila kawasan-kawasan ini beralih memproses air bersih dari air laut--bukan membeli dari PDAM Jaya lagi--kebutuhan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta akan terpenuhi saat ini juga. Data PDAM menyebutkan baru bisa memasok 54% jaringan air bersih. Namun, data ini masih diragukan Kosasih. Di kawasan itu, kata dia, para pengelolanya merasa menjadi pahlawan karena mengalihkan kebutuhan air bersih PDAM kepada masyarakat kebanyakan. Investasi Di sisi lain, industri ini tidak tergantung lagi pasokan air PDAM dan dalam tiga tahun investasinya bisa kembali. Operasionalnya pun menjadi lebih murah karena minus membayar air bersih. "Otomatis eksploitasi air tanah secara besar-besaran akan berhenti. Apalagi, instansi yang berwenang membuat agenda yang tepat untuk menghentikan eksploitasi air tanah tersebut, karena PDAM mampu memasok seluruh kebutuhan masyarakat." Akibat eksploitasi air tanah yang terus menerus, kata Kosasih, saat ini persediaan air sudah mencapai ambang batas dengan defisit air tanah sebanyak 66 juta m3 per tahun. Solusi lainnya, dengan memproses air limbah rumah tangga. Namun, limbah ini terlalu banyak mengandung pospat dari deterjen yang sulit untuk diuraikan karena belum ada teknologinya, termasuk air sungai juga banyak mengandung limbah deterjen ini. "Ini problem tersendiri. Penyelesaiannya harus mendesak perusahaan yang memproduk deterjen maupun sabun untuk menghilangkan atau mengurangi unsur pospat dalam produknya," katanya. Sementara itu, pakar Lingkungan Dodit Ardian Pancapana, dalam diskusi manajemen air ini mengatakan sejak krisis ekonomi pada 1997, sistem di Indonesia berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal ini dimulai dengan UU No 22/1999 tentang pemerintah daerah. Wajah pembangunan di suatu areal tergantung kabupaten. Banyak cerita sukses soal pembangunan di kabupaten-kabupaten tersebut. Namun, di sisi lain banyak dampak negatif ditinjau dari aspek lingkungan di banyak bagian di Indonesia. Persoalannya karena setiap kabupaten membangun sesuai dengan kebutuhannya, tanpa memperhitungkan atau mengintegrasikan dengan kabupaten lainnya sehingga menimbulkan inefisiensi termasuk dalam membangun sistem manajemen air. (Win/H-5) Post Date : 31 Agustus 2005 |