Oehua di Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang, Pulau Timor, adalah bagian dari sekitar 2 juta hektar lahan kritis di Nusa Tenggara Timur. Hampir seluruh permukaan tanahnya berlapiskan karang dan gersang di puncak kemarau. Sejak lama pula rata-rata masyarakat setempat beranggapan bahwa menanam pohon hingga hidup merupakan pekerjaan sia-sia.
Kini, setidaknya di lingkungan Oehua, anggapan itu seharusnya patah lantaran telah ada contoh usaha yang berhasil mengubah tanah gersang 3 hektar menjadi lahan berbalut hijauan jati putih, mahoni, nangka, mangga, dan sejumlah jenis pohon lainnya yang tumbuh subur dan segar sekaligus mengembuskan kesejukan.
Menariknya lagi, capaian usaha itu bukanlah sumbangan dari proyek pemerintah, yang di antaranya bernama Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan yang lazim disebut Gerhan atau GNRL bernilai belasan miliar rupiah per kabupaten. Penanaman dan perawatan ternyata tanpa panduan atau arahan petugas terkait dari dinas kehutanan. Pencapaian itu sepenuhnya adalah wujud tekad dan ketekunan Pastor Gregor Neonbasu SVD bersama tukang kebunnya, Edmundus Seran (37).
”Sebenarnya tekad menanam pohon di kawasan Oehua inspirasinya dari kesaksian di Australia,” tutur Dr Gregor Neonbasu SVD, biarawan Katolik yang sehari-hari kini Ketua Yayasan Pendidikan Arnoldus Yansen yang mengelola Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, di lokasi binaannya di Oehua, 15 kilometer sebelah timur Kota Kupang, Sabtu 27 Februari lalu.
Pastor Gregor pada tahun 1998-2005 mengikuti studi S-2 dan S-3 bidang antropologi, khusus antropo-lingustik, di The Australian National University of Canberra, Australia. Selama itu ia menyaksikan sejumlah contoh keberhasilan usaha penghijauan di atas lahan kritis di Australia, yang sebagian besar wilayahnya tidak jauh berbeda dengan daratan NTT, terutama Timor. Salah satu metode sederhana yang tak sulit diterapkan adalah upaya menahan humus tanah yang biasanya berpotensi terbawa erosi pada musim hujan.
”Dari kesaksian itu diketahui cara menahan humus tanah dari hanyutan erosi ternyata cukup dengan terasering. Itulah langkah awal yang kami dorong ketika memulai usaha penanaman pohon di Oehua, dan terbukti berhasil,” ujarnya.
Kawasan binaan Gregor Neonbasu di Oehua adalah milik Pastoran SVD Provinsial Timor yang berpusat di Lalian, 13 kilometer sebelum Atambua, Kota Kabupaten Belu di Pulau Timor bagian NTT atau sekitar 270 kilometer timur Kota Kupang. Lahan di Oehua itu awalnya hanya seluas 3 hektar, tetapi belakangan mengalami perluasan menjadi 13 hektar.
Kepemilikan lahan tahap awalnya terjadi akhir tahun 1990-an, tetapi usaha penanaman pohon baru dimulai tahun 2001 atas dorongan kuat Pastor Gregor saat pulang berlibur. Tekadnya itu gayung bersambut karena Pastoran SVD di Kupang kebetulan memiliki seorang tukang kebun ”bertangan dingin” untuk urusan penanaman pohon. Ia adalah Edmundus atau Mundus Seran, asal Besikama, Kabupaten Belu bagian selatan, 80 kilometer dari Atambua atau lebih kurang 320 kilometer timur Kota Kupang.
”Saya hanya tamat SD, tidak ada pendidikan khusus atau kursus menanam pohon. Minat menanam pohon dari lingkungan keluarga. Kebetulan bapak saya (Blasius Seran) sejak muda senang menanam kelapa, mangga, pisang, dan berbagai jenis pohon berguna lainnya di kampung. Saya bersama saudara lain menjadi tahu karena selalu dilibatkan dalam usaha penanaman pohon itu,” tutur Mundus di Oehua, Sabtu siang itu.
Panghijauan
Usaha penghijauan kawasan binaan Pastor Gregor di Oehua masih terus berlanjut. Namun, dari sekitar 3 hektar penghijauan tahap awal yang dimulai sembilan tahun lalu, sudah menunjukkan keberhasilan menggembirakan. Kini sekitar 1.200 tegakan jati putih setinggi 8-12 meter sudah merimbuni kawasan. Di bagian lain lahan yang sama juga tumbuh mahoni, cendana, beringin, nangka, cemara, mangga, pepaya, dan bahkan jagung yang kini memasuki usia panen.
Gregor dan Mundus mengisahkan, awalnya kawasan binaan di Oehua itu dan juga kawasan sekitarnya merupakan kawasan kering dan tandus. Permukaan tanahnya nyaris tanpa pohon atau didominasi balutan semak yang kemudian rontok dan ludes dilalap api saat kemarau tiba. Pemandangan sesudahnya adalah potret kawasan berwajah garang dari serakan karang yang menghitam dan mencuat tajam.
Jati putih adalah jenis pohon yang mampu bertahan hidup di Timor. Atas kesaksian itu, Mundus memulai usahanya dengan menanam anakan jenis pohon itu di atas lahan yang sudah diterasering sebelumnya. Pengadaan anakan pohon tak perlu biaya, cukup mendatangi sejumlah pohon jati putih berusia tua yang tumbuh langka di sekitar kampung atau kawasan sekitarnya. Di sekitar pohonnya pasti ada anakan jati putih yang tersisa dari serbuan sapi atau kambing. Atas restu warga sekitar, Mundus pun lalu mencabut anakan pohon itu untuk ditanami di tempat usahanya.
Ada kisah menarik ketika Mundus memulai usahanya itu. Ia sering menghadapi reaksi masyarakat setempat yang bersikap sangat pesimistis atas upaya menanam pohon di kawasan Oehua dan sekitarnya.
”Kamu pendatang baru di tempat ini. Kami sudah sejak lama di Oehua dan sering berusaha menanam pohon, namun tak pernah berhasil. Usaha menanam pohon di sini sia-sia kalau ada beberapa pohon yang bertahan hidup, tumbuh sendiri, dan luput dari mulut sapi atau kambing,” tutur Mundus menirukan ledekan sejumlah warga sekitar.
Ledekan warga tak membuat Mundus ciut. Dengan karung plastik di tangan, ia terus mengumpulkan anakan jati putih untuk ditanami di kebunnya. Pada saat yang sama ia juga menanam mahoni, nangka, cendana, jambu air, pisang, dan jenis lain, yang anakannya didatangkan dari tempat lain.
”Sejak awal saya memang berkeyakinan, kawasan gersang ini bisa dihijaukan asalkan ditanami jenis pohon yang cocok dengan alam setempat diikuti ketekunan merawatnya. Tekad itu kini terbukti, sebagian lahan ini sudah dapat dihijaukan,” ujarnya.
Kunci keberhasilan
Di mana kunci keberhasilannya? Kata Mundus, kunci utamanya, selain terasering, adalah cara menanam. Sebelum menanam, lubang yang telah disiapkan diisi tanah gemburan bercampur air, diaduk-aduk hingga becek. Tanah gemburan itu sendiri harus bercampur potongan rerumputan kering guna membantu pertumbuhan akar muda sebelum menembus lapisan keras.
Kalau anakan yang ditanam dari koker, harus menyisakan 2-3 sentimeter ujung atasnya di atas permukaan genangan lubang. Namun, kalau anakannya telanjang, bagian akarnya harus ditambahkan dengan balutan tanah gemburan khusus. Selanjutnya anakan harus disiram, setidaknya dua kali seminggu, bahkan jika perlu, dibantu tetesan air mirip model infus kesehatan di rumah sakit.
Dukungan lainnya adalah bangunan pagar untuk mengamankan tanaman dari serbuan hewan seperti sapi atau kambing. Ketersediaan air juga harus terjaga sehingga aktivitas menyiram tanaman dapat dilakukan secara kontinu.
Jika pada tahun-tahun pertama penyiraman tanaman mengandalkan satu mobil tangki untuk mendatangkan air dari luar, sejak tahun 2005 berganti air dari sebuah sumur gali berkedalaman 34 meter dalam kawasan kebun. Debit airnya selalu cukup tersedia hingga puncak kemarau.
Keberhasilan mendapatkan air melalui sebuah sumur gali dalam kebun binaan Pastor Gregor Neonbasu di Oehua itu juga serentak membuyarkan pemahaman masyarakat sekitar yang sejauh ini beranggapan bahwa kawasan itu tak memiliki kandungan air tanah. Untuk memenuhi kebutuhan air di rumah, mandi atau cuci, masyarakat Oehua sejak lama harus ke Tilong atau sumber lain di sekitarnya yang berjarak 4-5 kilometer.
”Belakangan ini setidaknya sudah ada empat sumur gali dengan debit air cukup milik masyarakat di Oehua. Usaha menggali sumur itu baru dilakukan setelah mereka menyaksikan keberhasilan sebuah sumur di kebun kami. Sekarang ini sebagian masyarakat Oehua tidak lagi harus jauh-jauh mencari air karena sudah ada sumur,” kata Mundus lagi.
Seperti diakui Pastor Gregor, kawasan lahan binaannya di Oehua seluas 13 hektar itu akan dikembangkan menjadi pusat studi Pastoran SVD Provinsial Timor, rumah jompo, dan bangunan lain. Namun, semua bangunan itu akan tumbuh di antara kawasan hijau di bawah rimbunan jati putih dan berbagai jenis pohon lain.
”Alamnya yang garang membuat warga Timor, termasuk saya, sering terperangkap dalam kegerahan yang sangat mengganggu, terutama pada musim kemarau. Pada saat-saat seperti itu, saya suka ke kebun sekadar menghalau kegerahan sekaligus berinspirasi. Embusan angin dari rimbunan jati dan pohon lain di kebun ini sungguh memberikan kesejukan yang menyegarkan,” tutur Gregor Neonbasu.
Usaha penghijauan binaan Gregor Neonbasu di Oehua masih terbatas, baru berhasil merimbuni lahan seluas 3 hektar. Meski begitu, keberhasilannya layak menjadi rujukan atau inspirasi menaklukkan tanah gersang di Timor atau NTT umumnya. Frans Sarong
Post Date : 05 Maret 2010
|