Masalah sampah di Jakarta sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Bahkan, sebanyak sekitar 4.850 ton sampah penduduk Jakarta, harus dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sampai kapankah sampah di Ibukota dikelola sendiri, terutama oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI? Mengapa Pemprov DKI lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi semata, tanpa memerdulikan sampah yang dihasilkan?
Dalam diskusi bertema Sarat Pencakar Langit, Jakarta Tak Memiliki Tempat Pembuangan Sampah, di Jakarta, Selasa (29/9) dibeberkan bagaimana sampah di Jakarta ibarat bom waktu, yang siap meledak kapan pun. Lantas, dalam diskusi ini juga menjelaskan, sejauh mana peran Pemprov hingga saat ini.
Pakar teknologi lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali menjelaskan, akar permasalahan sampah di Jakarta, adalah tidak efektifnya pengawasan serta penegakan hukum mengenai lingkungan oleh Pemprov DKI. Bahkan, ia menambahkan, jika tidak segera ditangani, dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan, penduduk Jakarta akan terjangkit berbagai penyakit karena sampah.
"Dalam bahan baku air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DKI saja, sudah terkontaminasi oleh zat-zat berbahaya, seperti Amoniak dan Triklorometana akibat sampah. Sedangkan, PDAM tidak memiliki alat untuk mengelolanya, padahal zat-zat tersebut berpotensi mengakibatkan kanker pada manusia," ujarnya.
Lebih lanjut, Firdaus menambahkan, sebanyak 28.000 meter kubik sampah di Jakarta tidak seluruhnya terangkut ke TPA Bantar Gebang, dan tersebar di sembarang tempat. Selain itu, kekurangan dana dianggap Firdaus sebagai dalih Pemprov DKI untuk menunda pengelolaan sampah.
Firdaus juga membandingkan, bagaimana Singapura dengan luas yang hampir sama dengan Jakarta bisa mengelola sampah dengan baik, dengan melibatkan pemerintah, produsen, dan warganya. Bahkan, sampah di Singapura menjadi komoditas yang bernilai ekonomis.
Sementara itu, Outreach Sevices Dana Mitra Lingkungan, Maryanto, mengatakan, akibat dari kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk membuang sampah tanpa melakukan pengelolaan telah membuat ratusan korban berjatuhan akibat ledakan gas metan yang diproduksi oleh sampah di TPA Leuwigajah dan TPA Bantar Gebang.
"Keberadaan TPA Bantar Gebang tanpa pengelolaan, membuat pemulung terancam keselamatannya, yang kini jumlahnya mencapai sekitar 5.000 orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah, mengingat penghasilan yang didapat mencapai Rp 600.00-700.000 ribu per minggu," tuturnya.
Masalah lebih kompleks lagi, ketika ada mafia-mafia yang meraup keuntungan dari adanya TPA yang ada saat ini. Mafia-mafia itu, kini menjadi kendala adanya TPA baru, seperti TPA Ciangir, Tangerang.
Mengenai kapan Pemprov DKI mulai serius menangani sampah, Maryanto menduga keseriusan dimulai setelah sampah-sampah tersebut terus menumpuk dan tidak dapat lagi dibuang serta menimbulkan kerugian yang sangat besar.
"Pengelolaan sampah di Jakarta sudah telat. Harusnya sejak awal, sudah ada pencegahan dan pengelolaan sampah. Untuk saat ini, jika Pemprov DKI ingin melakukan pengelolaan sampah, maka harus dibutuhkan sistem jangka pendek dan jangka panjang yang membutuhkan biaya yang cukup mahal," tambahnya. [FLS/U-5]
Post Date : 01 Oktober 2009
|