|
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Musi memiliki semboyan, Pelanggan Pulang dengan Senyum. Akan tetapi, menurut pengalaman sejumlah warga yang pernah menjadi pelanggan PDAM, mereka justru tersenyum setelah tidak lagi berlangganan. Hal itu dilontarkan Retno, penghuni Perumnas Talang Kelapa, Palembang. "Justru air di sini beres setelah tidak lagi dikelola PDAM," cetusnya. Retno, yang sudah belasan tahun tinggal di kompleks perumahan di pinggiran kota itu, menuturkan, warga dibuat sakit kepala dengan pelayanan PDAM. "Air lebih sering matinya. Pernah air enggak nyala sampai dua hari. Keran air dibuka yang keluar cuma angin. Lagi pula kualitas airnya jelek, keruh," ujarnya. Kondisi itu berakhir setelah jaringan air ledeng ke kompleks tersebut diserahkan PDAM kepada perusahaan swasta, PT Adhya Tirta Sriwijaya (ATS), sekitar tahun 1998. Sejak saat itu warga bisa menikmati pelayanan air bersih dengan lancar hampir 20 jam sehari. "Di kompleks perumahan sebelah malah sudah 24 jam nonstop. Tetapi, di perumnas belum bisa karena sistem pipa lama banyak yang bocor. Mereka rugi kalau air harus terus mengalir," kata Retno. Selain air yang tidak lagi tersendat-sendat, warga juga merasa lebih percaya karena petugas dari perusahaan rutin mengecek meteran air setiap bulan. "Zaman PDAM dulu, mana pernah dicek. Makanya, biaya yang dikenakan sering tidak sesuai dengan pemakaian," ucap Retno. Kini ada ratusan keluarga seperti keluarga Retno yang menikmati pelayanan air bersih lebih baik. Selain Perumnas Talang Kelapa, tercatat sejumlah warga perumahan di sekitarnya, seperti Kompleks Maskarebet, Villa Gardena, Villa Angkasa, dan Sukarame Indah, menjadi pelanggan jasa yang ditawarkan perusahaan swasta tersebut. PELAYANAN air semacam itu sayangnya baru dinikmati oleh sebagian kecil warga Palembang. Pengelolaan air minum oleh perusahaan swasta, yang bisa menjadi alternatif pemecahan penyediaan air bersih, tampaknya belum disadari oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang. Akibatnya, untuk jasa penyedia air bersih, sebagian besar warga Palembang masih harus bergantung pada PDAM Tirta Musi, BUMD milik Pemkot Palembang. Jumlah warga kota yang terlayani oleh PDAM, berdasarkan perkiraan mereka sendiri, baru sekitar 53 persen dari jumlah 1,3 juta jiwa penduduk Palembang. Warga yang menggunakan sumur sebagai sumber air sehari-hari pun tetap bergantung pada air bersih dari tangki PDAM saat kemarau. Ini berarti hampir seluruh warga Palembang bergantung pada pasokan air PDAM Tirta Musi. "Warga sini memang pakai sumur. Kalau tidak, ya, cukup menampung air hujan saja. Tapi, kalau sudah musim kemarau, semunya antre beli air," ujar Wati, warga Sukabangun. Di halaman rumahnya terdapat sebuah tangki penampungan air dengan kapasitas 3.000 liter. Tangki itu, menurut dia, hadiah perlombaan PKK 10 tahun lalu. Di musim kemarau, tangki tersebut menjadi salah satu sumber air bagi warga sekitar yang sumurnya kering. Sumber air dari tangki tersebut adalah air pasokan PDAM. Warga sekitar menyebutnya Air Rambutan karena Kantor PDAM Tirta Musi berada di Jalan Rambutan. "Kapan kami butuh, tinggal telepon saja ke PDAM. Tetapi, kami tidak boleh sembarangan mengambil air. Hanya mobil tangki dengan nomor yang sudah ditetapkan yang boleh menyetor air ke sini," kata Wati. Kondisi tersebut sudah berjalan 10 tahun. Menurut Wati, tampaknya hal itu masih akan berlanjut, sebab sampai saat ini belum ada kabar jaringan PDAM bakal mencapai tempat tinggal mereka. Berjibaku sendiri dalam memperoleh air, lama kelamaan menjadi hal yang dianggap lumrah oleh masyarakat Palembang. Simak yang dituturkan Riska, warga Kenten. "Kalau sumur kami kering, masih bisa minta ke tempat ayuk (kakak perempuan-Red) atau beli air dari pedagang yang lewat di depan rumah," tuturnya. Halaman belakang rumah kakak perempuannya yang cukup luas, menurut Riska, berbatasan dengan daerah rawa-rawa yang terkadang masih menyimpan air. Sementara itu, bagi warga yang menjadi pelanggan PDAM, terkadang harus menyiasati dengan berbagai cara agar bisa menikmati layanan yang seharusnya. Sebagai contoh yang dialami Margono, warga salah satu perumahan di Bukit Besar. "Saya dulu sengaja pilih rumah di sini karena sudah ada jaringan PDAM. Tapi, begitu mulai membangun airnya justru mati. Sudah kepalang tanggung, ya terpaksa bayar lagi Rp 750.000 untuk nyambung ke jaringan baru," katanya. Air yang lebih sering mampat daripada mengalir, kualitas air yang buruk (keruh dan berbau), meteran air yang tidak jalan, dan complaint atas kerusakan jaringan yang tak segera ditanggapi, adalah sedikit dari deretan keluhan para pelanggan PDAM Tirta Musi. Ironis jika apa yang dialami Margono atau ribuan pelanggan lainnya terus dibiarkan, sementara dari merekalah selama ini PDAM memperoleh pemasukan terbesar. Jadi, kapan pelanggan PDAM benar-benar bisa tersenyum? (DOT) Post Date : 24 Maret 2004 |