|
Aliran air sering tersendat, kadang macet total. Saat yang sama, kebocoran distribusi air masih terjadi. Hingga kini, banyak warga Jakarta yang belum terlayani air PAM. Masalah klasik tak jua tuntas, meski dua operator air minum swasta diundang turut menangani pascakrisis 1998. Potret buruk mengenai air bersih dapat ditemui di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Beberapa RT di RW 001, Kelurahan Kamal Muara, terendam rob secara permanen. Sementara warga di sana tidak dapat menikmati jaringan perpipaan air bersih. Penduduk terpaksa membeli air dari penjual dorongan. ”Ini ironi menyedihkan, Jakarta sangat tertinggal dalam pengelolaan air. Kota ini menjadi kota paling buruk ketahanan airnya di dunia dengan jumlah penduduk di atas 5 juta jiwa,” kata anggota Dewan Sumber Daya Air DKI Jakarta, Firdaus Ali. Persoalan utama yang dihadapi Jakarta saat ini adalah rendahnya ketahanan air, baik teknis maupun politis. Bertahun-tahun DKI Jakarta bergantung pada wilayah di sekitar dalam pengadaan air bersih. Pemanfaatan air di Jakarta baru 2,2 persen dari seluruh distribusi ke warga sebesar 18,7 meter per detik. Distribusi itu setara dengan 36 persen dari kebutuhan warga Ibu Kota. Sementara itu, kondisi air baku yang selama ini digunakan juga rentan pencemaran. ”Tidak satu pun dari 13 sungai dan 76 anak sungai di Jakarta layak menjadi sumber air baku. Gubernur harus memastikan bahwa urusan pengelolaan air dan sumber daya air di Ibu Kota ke depan diurus serius oleh entitas khusus. Sudah saatnya DKI punya Dinas Sumber Daya Air, bukan bagian dari Dinas Pekerjaan Umum,” katanya. Di tengah kerentanan ketahanan air, persoalan lain yang belum terselesaikan ialah membangun sinergi antarpemangku kepentingan. Dengan demikian, tingkat kehilangan air yang masih 46 persen dapat ditekan. Potret pengelolaan air Memahami persoalan air di Jakarta perlu melihat potret pengelolaan air. Sumber air baku yang dimanfaatkan warga Jakarta berasal dari Sungai Citarum di Jawa Barat, Sungai Cisadane di Banten, dan Kali Krukut di Jakarta. PAM Jaya membeli air mentah dari Citarum dengan harga Rp 172 per meter kubik kemudian dialirkan dan didistribusikan operator PT Aetra Air Jakarta di wilayah timur Jakarta. PAM Jaya juga membeli air baku yang sudah olahan dari Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Air ini kemudian didistribusikan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) di wilayah barat Jakarta. Masuknya operator dalam jaringan pengelolaan air di Jakarta tahun 1997 yang pertama dalam sejarah. Kontrak kerja sama PAM Jaya dengan dua operator itu berlangsung selama 25 tahun. Harapannya, kehadiran swasta memperbaiki pelayanan dan ada alih teknologi pengelolaan air. Kenyataannya, jauh panggang dari api, tidak seperti yang diharapkan. Saat ini, PAM Jaya dan dua operator tersebut tengah memperbarui kontrak kerja sama. Direktur Utama PD PAM Jaya Sri Widayanto Kaderi mengaku proses negosiasi ini tinggal menunggu kesepakatan dengan Palyja mengenai internal rate return (IRR) atau nilai pengembalian investasi. Pembicaraan berlangsung alot, entah kapan bisa selesai hingga saling menguntungkan. ”Kami sedang sama-sama menghitung. Tidak mudah menyelesaikan negosiasi ini karena kondisi yang dihadapi dua perusahaan berbeda. Namun, IRR harus sama karena obyek investasinya sama. Kami masih memiliki waktu dua bulan ke depan menyelesaikan negosiasi baru,” tutur Sri. Selain negosiasi ulang soal kontrak, publik mengharap ada penambahan air baku. Namun, pengadaan air baku ini baru dalam tahap ”akan” sebagaimana tertuang dalam komitmen kerja sama antara PAM Jaya dan Kementerian Pekerjaan Umum. Tanpa target Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo, Rabu (19/12), mengatakan, kualitas layanan PDAM dan dua operator air bersih yang masih tergolong buruk dikarenakan tidak pernah ada target pasti kapan kebutuhan air bersih warga Jakarta dipenuhi 100 persen dari pipa-pipa mereka. Menurut dia, pada era pemerintahan baru DKI Jakarta yang mengedepankan transparansi, sudah saatnya pemerintah menetapkan infrastruktur pengadaan air bersih itu kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak rakyat atau murni bisnis. Yang terjadi saat ini, Pemprov DKI Jakarta bersikap ambigu. Ketika operator swasta telanjur diundang masuk, ternyata pemerintah tidak siap dengan air baku yang mencukupi. Penerapan kebijakan menarik pajak tinggi atas pengguna air tanah tidak sepenuhnya berlaku. Di sisi lain, YLKI menyoroti kinerja operator swasta yang tumpang tindih dengan PAM Jaya. ”Operator itu ada untuk meningkatkan kualitas layanan air PAM di Jakarta, tetapi kenapa mereka hanya memenuhi hak-hak konsumen yang telah terlayani oleh PDAM? Kawasan-kawasan yang sejak lama tak tersentuh layanan PAM sampai sekarang tingkat penetrasinya rendah. Tidak heran jika warga berlomba pakai air tanah karena sanksinya juga nyaris tidak ada,” tambah Sudaryatmo. Badan Regulator PAM yang diharapkan bisa menjadi tokoh kunci mengawal serta mengontrol kinerja operator dan PAM Jaya serta memberi masukan agar kinerja ketiga pihak terdongkrak, ternyata belum berfungsi maksimal. ”Dibutuhkan setidaknya peraturan daerah untuk memperkuat posisi BR PAM. Saat ini, kedudukan BR seakan di bawah PAM Jaya dan operator karena BR muncul setelah ada kerja sama keduanya, bukan karena diamanatkan undang-undang,” ujar Sudaryatmo lagi. Namun, kepengurusan BR periode 2012-2015 belum banyak bersuara. ”Kami baru terbentuk, banyak masalah yang harus kami dengar dahulu,” tutur Marsha Kamila dari Humas BR PAM. Sebelumnya, Tulus Abadi dari YLKI sudah mengingatkan, akhir tahun ini bisa menjadi momentum Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja instansi terkait pelayanan air bersih. Sumber air baru Khusus terkait air baku, sesuai pengamatan YLKI, pemerintah perlu mencari dan menambah sumber air baku baru. ”Dari Jatiluhur dan Banten itu belum mencukupi. Pemerintah harus cari sumber air baku baru atau kreatif menciptakannya,” kata Sudaryatmo. Salinasi air laut atau penerapan teknologi tepat guna lainnya yang memungkinkan menghasilkan air baku ataupun air bersih siap konsumsi bisa menjadi alternatif pilihan bagi Pemprov DKI Jakarta. Direktur Umum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kerta Raharja (TKR) Kabupaten Tangerang Subekti mengatakan, krisis air bersih terjadi di DKI Jakarta dan Banten karena belum ada manajemen sistem pengolahan air terintegrasi dari hulu hingga hilir. Subekti berharap, manajemen sistem pengolahan air terintegrasi segera dilakukan sehingga krisis air bisa teratasi. Subekti yang juga Ketua Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) wilayah Banten mengatakan, jika DKI membutuhkan air bersih, bisa mendapatkannya dari Waduk/Bendungan Kariyan, Lebak, Banten. ”Saat ini waduk itu sedang dalam proses untuk dibangun,” katanya. Kerja sama TKR memasok air dengan DKI sudah dilakukan sejak tahun 1997. Dalam kerja sama ini, TKR memasok air curah (air bersih yang sudah diolah) dengan rata-rata 2.600 liter per detik, bukan dalam bentuk air baku atau air sungai. Air bersih produksi instalasi Serpong ini lebih banyak dipergunakan di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Kepala Bagian Pelayanan Masyarakat PDAM TKR Nopie Irianto menjelaskan, air yang dipasok ke DKI dikelola di Instalasi Serpong yang memproduksi air sebanyak 3.000 liter per detik. Hasilnya, sebagian besar dialirkan ke DKI. Subekti mengatakan, selama kerja sama dengan DKI berlangsung, tidak pernah terjadi masalah atau keluhan, baik dari segi kualitas air maupun kebocoran. Pernah terjadi kebocoran, tetapi di sekitar pipa dan tidak sampai mengganggu pasokan air. Subekti mengatakan, air bersih atau air curah dijual ke Jakarta seharga Rp 2.319 per meter kubik. Setiap tahun, harganya dinaikkan sesuai perjanjian kerja sama yang dibuat dan diperpanjang setiap tahun. Subekti mengatakan, permintaan air bersih kini luar biasa. Lima tahun ke depan, ditargetkan ada 70.000 pelanggan baru di Kabupetan dan Kota Tangerang. Makanya, penjualan air bersih ke DKI belum akan ditambah. (NELI TRIANA/PINGKAN ELITA DUNDU/ANDY RIZA HIDAYAT) Post Date : 20 Desember 2012 |