Kota Osaka di Jepang, kini, di kenal sebagai kota air. Padahal, kondisi Osaka sekitar 50 tahun lalu pun tak ubahnya Jakarta.
Air sungainya kotor penuh sampah akibat pesatnya industrialisasi. Warga yang tinggal di bantaran sungai membuang limbah rumah tangga mereka langsung ke sungai.
Ketika berkunjung ke Jakarta pada awal Juli lalu, Wali Kota Osaka Kunio Hiramatsu mengakui hal itu.
”Air dari hulu yang masuk ke Osaka sudah digunakan berkali-kali oleh orang-orang sebelumnya. Airnya sudah bau dan mengandung penyakit. Saat musim panas tiba, airnya sangat berbau,” kata Hiramatsu.
Dalam gambar yang dipajang di situs Asosiasi Solusi Lingkungan dan Air Kota Osaka (OWESA), tampak air sungai yang coklat dengan rumah-rumah papan berdiri berimpitan di bantaran sungai. Pabrik-pabrik membuang limbah mereka tanpa pengolahan lebih dulu ke sungai.
Akan tetapi, kondisi itu kini sudah jauh berubah. Sejak Maret 2000, Osaka di Jepang memperkenalkan Honmaya kepada semua warganya.
”Sekarang air untuk mencuci, mandi, dan minum di Osaka sama. Sungai-sungai yang bersih juga memungkinkan bermacam-macam acara di gelar di sepanjang tepi sungai,” ujar Hiramatsu.
Honmaya lahir dari air ledeng yang, setelah melalui proses tertentu, aman dan layak dikonsumsi. Minuman kemasan dalam botol warna merah muda dan biru itu merupakan produk kebanggaan Osaka, semacam prestasi puncak dalam teknologi pengolahan air yang dicapai kota itu.
Jakarta juga sesungguhnya memiliki sumber air yang tidak sedikit. Sayangnya, airnya masih tercemar oleh sampah dan limbah sehingga belum bisa dikonsumsi. Sampai saat ini Jakarta belum melakukan tahap pengendalian pencemaran air seperti yang dilakukan Osaka.
Proses seabad
Honmaya didapat Osaka sesungguhnya melalui proses yang sangat panjang. Guna memenuhi kebutuhan air minum bagi warganya, Biro Tata Air Kota Osaka mulai membangun sistem penyaluran air melalui pipa di Sakuranomiya di tepi Sungai Yodo tahun 1895. Ketika itu, kapasitas penyaluran air mencapai 51.240 meter kubik dan melayani 610.000 penduduk.
Saat kota berkembang lebih jauh dan permintaan air semakin meningkat, Osaka membangun satu lagi pabrik pengolahan air di Kunijima tahun 1913. Seusai Perang Dunia II, guna mengimbangi meningkatnya kebutuhan air, dibangun Pabrik Pengolahan Air Niwakubo tahun 1957, lalu Pabrik Pengolahan Air Toyono tahun 1968. Total panjang pipa 5.200 kilometer.
Setelah melewati satu abad karya tata airnya, kota ini semakin aktif meningkatkan sistem penyediaan air bagi warganya. Kini, kapasitas penyediaan air mencapai 2,43 juta meter kubik per hari. Setidaknya, 97,3 persen warga sudah terlayani air ledeng dan penyakit yang disebabkan air hampir nol persen.
Hentikan pencemaran
Menyadari pentingnya air yang aman dan sehat, tahun 1960, upaya untuk menghentikan pencemaran air dimulai. Tahun 1970 disahkan Undang- Undang Pengendalian Pencemaran Air untuk mengontrol limbah industri, mengawasi pembuangan limbah, dan mengendalikan pembuangan limbah domestik. Semua potensi pencemaran air dikontrol ketat.
Saluran-saluran pembuangan juga mulai diperbaiki sehingga sampah dan limbah tidak langsung masuk ke sungai atau danau. Perlahan-lahan, sungai, danau, dan sumber air lainnya terbebas dari sampah dan limbah, tetapi masih belum layak dikonsumsi.
Tahun 1992, Biro Tata Air Kota Osaka meluncurkan Proyek Pengelolaan Fasilitas Pemurnian Tingkat Lanjut guna memperbaiki kualitas air minum secara komprehensif.
Air dari sumber air dipompa ke menara-menara air, lalu dialirkan ke ruang-ruang berisi pasir-pasir halus. Dari situ, air dipompa dan dialirkan ke fasilitas pengolahan air. Dari sumur-sumur penerima, air dimasukkan lagi ke dalam ruang sedimentasi pengental untuk melarutkan lumpur yang terkandung dalam air.
Setelah itu, air dialirkan melalui pipa-pipa ke fasilitas pengolahan air tingkat lanjut. Di situ, air diproses dengan ozon tingkat menengah, dijernihkan lagi dengan pasir penyaring, lalu diberi butiran arang aktif dan klorin. Setelah melalui serangkaian proses itu, air sudah dalam kondisi aman untuk dikonsumsi.
Air tersebut kemudian dialirkan ke tampungan penyaluran dan ke stasiun distribusi, kemudian mengalir melalui pipa ke rumah penduduk untuk memasak, mencuci, dan minum.
Metode pengolahan air itu berhasil menghilangkan bau dan rasa tidak enak pada air minum. Bibit penyakit yang disebabkan mikroorganisme pun hilang. Sebagai promosi, air ledeng itu juga dikemas dalam botol merah jambu dan biru menjadi Honmaya.
Sistem pengolahan air ledeng ini mendapat penghargaan standar ISO 22000 tahun 2008, yaitu standar internasional untuk manajemen keamanan pangan. Honmaya juga memenangi penghargaan emas di ajang Monde untuk memilih kualitas internasional di Brussels, Belgia, pada 24 Mei 2011.
Honmaya tidak hanya mengubah citra negatif air Osaka pada masa lalu, tetapi menjadi wajah kesuksesan Osaka sebagai kota air.
Hiramatsu menawarkan kepada Jakarta untuk mengadopsi teknologi pengolahan air di Osaka. Kini, tergantung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera memulai langkah agar memiliki ”Honmaya” sendiri. (Fransisca Romana Ninik)
Post Date : 28 Juli 2011
|