Kapan Banjir Bisa Berakhir?

Sumber:Kompas - 11 Februari 2010
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Meri Asikin (55) memandang rumahnya yang penuh lumpur dan sisa banjir. Dalam duka dan keputusasaan, perempuan warga Desa Baleendah, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu berujar pelan, ”Pemerintah jangan janji saja. Saya minta tepati janji melebarkan dan mengeruk Citarum!”

Air mata perempuan yang sehari-hari membuat pindang dari ikan tongkol dan bandeng itu menetes ketika menyingkap kelambu kamarnya yang lusuh akibat terjangan banjir sejak Sabtu (30/1) dini hari.

Di dalam kamar ada tumpukan kursi dan meja kayu yang mengeluarkan bau apek. Kursi dan kasur yang ditumpuk berdekatan masih basah. Meja rias yang menempel di tembok juga licin gara-gara lumpur.

”Saya sedih. Saya dan suami tidak bisa bekerja karena tungku untuk membuat pindang ikut terendam,” kata Meri, warga RT 4 RW 20, Rabu (3/2).

Sebanyak 1.033 warga Desa Baleendah atau dikenal sebagai Kampung Cieunteung senasib dengan Meri. Sebanyak 595 rumah terendam air bah setinggi 2 meter. Air surut pada Rabu.

Baleendah, kota kecamatan yang terletak sekitar 12 kilometer dari Kota Bandung, kebanjiran sejak tahun 1980-an. ”Banjir terparah terjadi tahun 1986. Sebelumnya, banjir hanya setinggi tumit dan cepat surut,” kata Jaja (43), Ketua RW 20, warga asli Baleendah.

Lokasi Baleendah berbatasan langsung dengan Citarum. Daerah yang kini menjadi permukiman itu sebenarnya termasuk sempadan sungai. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan, daerah sempadan sungai berjarak 60-100 meter dari sungai dan termasuk kawasan lindung yang tidak boleh ditempati.

Kenyataannya, rumah warga Baleendah berjarak kurang dari 5 meter dari bibir sungai. Hanya 10 persen warga memiliki izin mendirikan bangunan di daerah itu. ”Kebanyakan warga berbekal kikitir peninggalan orangtua,” kata Jaja.

Bangunan rumah warga bersifat permanen dan saling berimpitan. Kecuali gang utama, gang-gang menuju permukiman warga hanya cukup dilewati satu sepeda motor, atau maksimal dua orang untuk berpapasan.

Warga Baleendah yang terdiri atas 23 RW kerap membuang sampah ke Saluran Cigado yang melintasi kampung itu. Ada juga warga yang membuang air besar di sungai meski banyak warga memiliki WC. Air bah berbau busuk karena bercampur limbah pabrik, sampah, dan tinja.

Banjir semakin parah dalam lima tahun terakhir karena sedimentasi Citarum. Sedimentasi dipicu alih fungsi kawasan hutan di hulu sungai menjadi areal pertanian sayur.

Pada banjir besar tahun 2008, warga mengungsi selama tiga bulan, baik di kantor kecamatan, kantor desa, maupun kantor salah satu partai politik.

SDN Mekarsari di Kampung Cieunteung yang memiliki 340 siswa juga terendam dan siswanya harus diungsikan. Bangku-bangku sekolah lapuk karena sering terendam banjir, begitu pula lemari administrasi sekolah, seragam, buku, dan sepatu para siswa. ”Saya pakai sandal karena sepatu terendam di rumah,” kata Doni Ardiansyah (9), siswa kelas III, yang mengenakan sandal ke sekolah.

Akibat banjir, proses distribusi pabrik tekstil Tridaya Mas Sinar Pusaka (TSP) di Baleendah ikut tersendat. Truk-truk pengangkut terhadang banjir dan tak bisa masuk ke pabrik. ”Kami merugi ratusan juta dan biaya produksi naik 15-20 persen,” kata Erwin Thomas, Kepala Bagian Umum Pabrik TSP.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengaku tidak bisa sendirian menangani banjir. Hal itu terkait dengan pengelolaan Citarum yang berstatus sungai nasional. Pihaknya mengantisipasi banjir dengan merehabilitasi lahan kritis dengan anggaran Rp 25 miliar per tahun. Diskusi dengan Bappenas dilakukan terkait rencana utang dari Jepang untuk penanganan Citarum secara komprehensif dari hulu ke hilir. Dana ditaksir Rp 300 triliun.

Jaja menuturkan, warga memerlukan solusi segera. ”Mana yang akan ditawarkan, apakah relokasi, pembuatan kolam penampungan air, atau pengerukan,” katanya. (RINI KUSTIASIH)



Post Date : 11 Februari 2010