Kapan Air Tak Lagi Meluap...?

Sumber:Kompas - 25 Januari 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Sejak dulu kala, Bengawan Solo pada musim hujan identik dengan banjir. Gesang Martohartono (90), dalam lagunya yang legendaris tentang Bengawan Solo menyebutkan, "Di musim hujan, air meluap sampai jauh." Kontras dengan kondisi saat musim kemarau, yang ... tak seberapa airmu.

Lagu yang yang diciptakan tahun 1940 itu telah mendeskripsikan polah Bengawan Solo yang sangat dipengaruhi musim: banjir pada musim hujan dan surut pada musim kemarau. Bagi Gesang, banjir Bengawan Solo adalah pengalaman pribadinya. Pada pertengahan Maret 1966, rumahnya di Solo dilanda banjir akibat meluapnya Bengawan Solo, yang juga menenggelamkan sekitar tiga per empat kota itu.

Catatan sejarah juga menunjukkan, pada tahun 1968, banjir luapan Bengawan Solo menggenangi daerah seluas 120.000 hektar dan 152.000 rumah dengan kerugian sekitar Rp 8 miliar. Tahun 1987, banjir menggenangi 57.500 ha dan 53.000 rumah. Tiga orang meninggal dan kerugian mencapai Rp 6 miliar. Tahun 1993 banjir menggenangi 15.000 hektar sawah, 3.000 hektar tegalan, 17.000 hektar pekarangan, 182 hektar tambak, dan 5.000 rumah. Kerugian mencapai Rp 9 miliar.

Akan tetapi, adakah ini berarti banjir yang melanda kawasan di sekitar daerah aliran Bengawan Solo pada pergantian 2007-2008 kali ini pun lantas dimaklumi? Atau, adakah ini cermin dari ketidakbecusan penguasa menata DAS Bengawan Solo?

Kondisi DAS

Ruas Bengawan Solo bagian tengah dan hilir melewati lima wilayah kabupaten, yaitu Blora (Jawa Tengah), Bojonegoro (Jawa Timur), Tuban (Jatim), Lamongan (Jatim), dan Gresik (Jatim). Kondisi daerah yang luas, datar, dan subur menyebabkan tingginya pemanfaatan lahan di kawasan ini untuk pertanian.

Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 mencatat, tata guna lahan di kawasan ini meliputi sawah (25 persen), pekarangan (10), tegalan (14), hutan (40), perkebunan rakyat (22), dan lain-lain (kurang dari dua persen).

Data dari Departemen Kehutanan menyebutkan, DAS Bengawan Solo hanya memiliki hutan 19 persen dari sedikitnya 30 persen yang dibutuhkan. Tekanan pertumbuhan penduduk yang berdampak pada perubahan fungsi lahan merupakan penyebab utama. Sebagian besar kawasan DAS di Jawa berubah menjadi permukiman, kawasan industri, dan pertanian.

Dari pantauan Kompas di Tuban dan Lamongan, awal Januari lalu, sebagian lahan pertanian ini berada persis di pinggir sungai. Sebagian besar tanamannya adalah jagung dan padi. Papan peringatan dari Departemen Pekerjaan Umum tentang larangan memanfaatkan bantaran sungai, yang banyak terdapat di sepanjang bantaran, tidak diindahkan. Papan itu dikelilingi oleh tanaman warga, yang saat itu tengah kebanjiran.

Hampir semua bantaran sungai digunakan bercocok tanam. Rata-rata oleh penduduk miskin yang tak punya lahan lain. Melarang orang miskin memanfaatkan bantaran sungai berarti mengancam perut ribuan orang miskin, kata Abdul Mukhid (45), Kepala Desa Pelangwot, Kecamatan Laren, Lamongan.

Bahkan, di sejumlah titik, sejumlah warga tinggal di dalam tanggul dengan jarak kurang dari 10 meter dari tepi sungai, seperti terlihat di Desa Duri Wetan, Kecamatan Maudaran, Lamongan dan Desa Nggilis, Kecamatan Widang, Tuban. Kami tak punya tanah lain selain di dalam tanggul, kata Kasturi (35), warga Duri Wetan.

Di Bojonegoro, jumlah penduduk yang tinggal di dalam tanggul mulai dari jembatan Jetak hingga Jembatan Kalithek Glendeng mencapai 5.000 jiwa. Mereka hidup berdampingan dengan luapan Bengawan Solo.

Warga yang bermukim di sekitar DAS Bengawan Solo tak hanya rentan terhadap luapan air. Keselamatan jiwa mereka juga terancam karena amblesnya tanah karena longsor.

Misalnya, pada 11 Mei 2005, tanah di sekitar bibir Bengawan Solo di Kelurahan Klangon dan Kauman, Kecamatan Bojonegoro, ambles sepanjang satu kilometer dengan kedalaman dua meter. Tanah yang melesak itu rata-rata selebar 16 meter dari bibir sungai. Amblesnya tanah itu diperkirakan karena erosi tanah di sungai akibat penambangan pasir dan hujan deras.

Saya tidak tahu harus bagaimana. Mau pindah juga tak punya lahan lain, tutur Ali, warga Klangon yang jadi korban longsoran.

Tak sekadar teknis

Banjir besar yang melanda kawasan sepanjang DAS Bengawan Solo, terutama di bagian tengah hingga ke hilir, menguak kisah kebrutalan manusia memperlakukan sungai. Beberapa wilayah di Solo, misalnya Kota Baru dan Pasar Kliwon, terkena banjir cukup parah setelah tanggul di sekitar wilayah itu rusak.

Beberapa dinding tanggul rusak bukan karena sudah waktunya rusak, tetapi memang sengaja dipotong oleh warga. Mereka ingin akses jalan lebih mudah, ujar Rifki, warga Pasar Kliwon, Solo, dengan geram.

Rumah Rifki di Pasar Kliwon terendam hingga setinggi dada. Peristiwa itu mengingatkannya pada kejadian tahun 1966, saat Kota Solo nyaris tenggelam karena tanggul jebol.

Tanggul jebol juga terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Supiyah, pengusaha keripik tempe di Desa Grudo, Kecamatan Ngawi, mengatakan, dua tanggul di dekat desanya jebol. Tanggul itu dibangun pada tahun 1992, setelah banjir besar melanda Ngawi.

Mengatasi banjir Bengawan Solo memang bukan sekadar masalah teknis tentang seberapa banyak dam, tanggul, ataupun sudetan yang mesti dibuat. Banjir pada pergantian tahun lalu juga menunjukkan bahwa tanggul dan sudetan ternyata tak banyak berguna.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo Imam Agus mengatakan, intervensi teknis tetap tidak akan cukup untuk mengatasi banjir Bengawan Solo. Ada tekanan penduduk yang demikian besar. Ada kemiskinan, penduduk miskin yang mencari lahan pertanian hingga di tepi-tepi sungai. Ada masyarakat yang mengonversi hutan yang merusak hulu bengawan, kata dia.

Dalam jangka pendek, menurut Imam, Ditjen Sumber Daya Air Departemen PU akan merevitalisasi DAS Bengawan Solo. Revitalisasi dilakukan dengan melebarkan badan sungai menjadi 230-250 meter. Idealnya, lebar Bengawan Solo 300 meter. Saat ini hanya sekitar 160-180 meter, ujarnya.

Tetapi, pelebaran badan sungai agar mendekati ideal sulit dilakukan karena terbentur masalah sosial, yakni harus memindahkan 10.000 keluarga yang tinggal di bantaran Bengawan Solo.

Untuk melebarkan badan sungai menjadi 230-250 meter saja kita harus merelokasi ribuan keluarga. Karena terkendala masalah sosial ini, revitalisasi Bengawan Solo diperkirakan baru selesai lima tahun, tuturnya.

Imam juga memaparkan akan membangun tanggul tambahan setinggi empat meter di sepanjang aliran Bengawan Solo. Tanggul sepanjang 130 kilometer itu akan dibangun dari Babat (Lamongan) hingga Cepu (Bojonegoro). Tanggul tersebut akan melengkapi tanggul sepanjang 110 kilometer yang telah dibangun dari muara Bengawan Solo di pesisir Gresik hingga Babat. Pembangunan tanggul tambahan membutuhkan dana Rp 1,2 triliun. Pemerintah saat ini melobi pinjaman lunak dari Pemerintah Jepang.

Upaya lain mencegah luapan Bengawan Solo, Departemen PU akan membuat sudetan kali (flatway) Bengawan Solo. Rencananya, ada dua sudetan, yakni sudetan Bojonegoro dan Babat. Saat ini baru ada satu sudetan di Lamongan, dengan kapasitas aliran 600 meter kubik per detik, ujarnya.

Sejumlah upaya memang telah direncanakan dan biayanya sebagian akan ditopang dari utang. Tetapi, akankah lirik lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang itu suatu saat akan berubah menjadi, Pada musim hujan, air (tak lagi) meluap sampai jauh.... Entahlah! (Ahmad Arif dan Khairina/LAS/ACI)



Post Date : 25 Januari 2008