Kampung Marlina dan Krisis Air Jakarta

Sumber:Koran Tempo - 24 Maret 2012
Kategori:Air Minum
Ini sebenarnya pemandangan yang sudah lama terjadi: banyak warga di Kampung Marlina, Penjaringan, Jakarta Utara, begadang demi mendapatkan air bersih yang mengalir lemah. Mereka tinggal di lingkungan air payau. Jika malas begadang, mereka harus menanggung akibatnya, yakni membeli air dalam jeriken dengan harga Rp 15 ribu per orang per hari, plus membayar tagihan pasokan air lewat pipa. "Bikin jengkel," kata Sumarni, 45 tahun, salah satu warga.
 
Itu sebabnya kamar mandi mungil di rumah milik Sumarni selalu dijejali ember-ember penuh air. Ada lima ember yang tampak kemarin, selain bak yang terisi setengah. Air yang mengalir hanya sembilan jam, sejak pukul 22, itu membuat bak itu tak sempat terisi penuh.
 
"Ini sudah cukup baik. Sering mati juga. Bisa dua hari enggak nyala," kata ibu tujuh anak ini, menambahkan.
 
Sumarni adalah satu di antara 45 ribu warga di RT 10 RW 17, Penjaringan, yang selama ini mengeluh kesulitan memperoleh air bersih. Bertahun-tahun mereka mengalaminya, sejak pengelolaan air dioper dari PAM JAYA ke swasta, yakni PT PALYJA.
 
"Karena itu, kemarin waktu Hari Air Sedunia, kami ikut berunjuk rasa," kata Kokom, 32 tahun, tetangga Marlina.
 
Dalam aksi itu, mereka menyatroni kantor Kedutaan Besar Prancis perihal privatisasi air. Mereka juga menceburkan diri di kolam Bundaran Hotel Indonesia. "Ini (aksi menceburkan diri) dilakukan karena kami jengkel," kata Kokom.
 
Dengan kondisi seperti ini, Sumarni dan para tetangganya masih bisa disebut beruntung. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo mengungkapkan bahwa ada sekitar 40 persen warga Jakarta yang belum memperoleh air bersih melalui sambungan pipa.
 
Padahal, dia menambahkan, kondisi air baku di Jakarta semakin buruk setiap hari, baik dari kuantitas maupun kualitas. "Kualitas air di Jakarta terus menurun," kata dia ketika dihubungi Ahad lalu.
 
Manajer kampanye soal air dan pangan di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, M. Islah, menyesalkan pemerintah setempat membiarkan sungai-sungai yang tercemar tersebut. Ini yang, menurut dia, menimbulkan komersialisasi air, sehingga pengolahan air baku menjadi semakin mahal.
 
Sudaryatmo dan Islah sepakat Pemerintah Daerah DKI Jakarta mesti mengambil alih pengelolaan air bersih dari tangan swasta. "Jakarta merupakan daerah yang tidak bisa memenuhi kebutuhan airnya sendiri. Jakarta sudah krisis air," kata Islah.| PINGIT ARIA | ADITYA BUDIMAN | WURAGIL


Post Date : 24 Maret 2012