|
PENAMPILAN yang sederhana, baik saat tugas maupun melakukan kerja sosial selalu tampak dari bapak empat anak yang berprofesi sebagai dokter ini. Pria kelahiran Semarang 6 Maret 1964 bernama Budi Laksono kini tak hanya dikenal di kalangan akademisi dan pemerintahan. Masyarakat pelosok dusun di Kota Semarang pun mengenalnya. Program jambanisasi keluarga yang terus digencarkan di Kota Semarang mapun kabupaten dan kota di Jawa Tengah sejak 1997 itu, diawali saat dia bertugas di Puskesmas Kedungwuni 2, Kabupaten Pekalongan. Dia heran ketika masyarakat di wilayah itu mengalami saluran pencernaan seperti diare, desentri, tifus, gangguan saluran usus, dan hepatitis A, yang hingga saat ini masih menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan masyarakat Indonesia bahkan di Jawa Tengah. ”Setelah saya telusuri, ternyata hanya 9,1 persen keluarga yang memiliki jamban. Alasan mereka, faktor ekonomi karena tidak mampu, tidak memiliki lahan dan biayanya mahal. Bahkan, sebagian masyarakat menganggap, keluarga yang memiliki jamban hanyalah orang mampu,” tuturnya, Senin (2/1). Gagal Selain itu, program jambanisasi yang pernah dibuat oleh pemerintah setempat pun gagal. Pasalnya, secara teknologi tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, air tidak tersedia dengan cukup, serta kesadaran kepemilikan jamban yang belum muncul. Mulai saat itulah, suami dari Sri Peni Hernawati (44) itu mulai membuat ide program jambanisasi yang murah sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Disposal Amphibian Latrine (DAL) atau toilet amphibi disposal, demikian ia menyebutnya. DAL adalah toilet yang dibuat dengan cepat (2 jam bisa jadi dan dipakai, serta hanya 30 menit untuk menutup tanpa bekas), murah (biaya kurang dari Rp 200 ribu), bahkan bisa murah lagi bila tenaganya adalah relawan. Mudah karena bisa dibuat oleh orang awam. Tidak memakai semen dan seng, serta dibuat dengan alat yang ada di rumah. ”Caranya, buat lubang panjang dalam tanah berukuran 4 meter, lebar 0,8 meter, dalam minimal 1 m. Potong bambu 1,2 meter dan letakkan di atasnya. Potong plastik dengan ukuran sepanjang lubangnya. Tutup dengan papan sebagai lantai dan landasan toilet. Buat ruang toilet dengan plastik. Plastik bisa dipakai molsa atau plastik lembaran 0.4. Buat juga pintu dari plastik,” katanya. Untuk penggunaanya, kata dia, tempatkan kloset bila air cukup dan rajin-rajin membersihkan toilet. Bila tidak ada air, maka ambil keluar kloset dan pergunakan langsung seperti wc cemplung. Karena plastik berfungsi mencegah angin dan serangga. Bambu yang digunakan untuk alas kloset juga bisa diganti dengan cor pasir dan semen. ”Pada 1997 cukup dengan Rp 36 ribu. Seiring dengan kenaikan harga bahan bangunan, untuk membuat jamban sekarang ini butuh biaya sekitar Rp 180 ribu. Hanya dengan Rp 180 ribu, masyarakat sudah bisa terhindar dari penyakit saluran pencernaan,” ungkap Budi Laksono. Saat kembali ke Semarang, Budi pun kembali menemukan beberapa warga yang terkena penyakit saluran pencernaan di Kelurahan Cepoko, Kecamatan Gunungpati karena kebiasaannya melakukan buang air besar (BAB) di sungai. ”Di kelurahan itu, selain sungai, 90 persen air sumur milik warga yang digunakan mengandung ekoli di atas 60 persen. Itu yang membuat warga terkena penyakit pencernaan. Kebiasaan BAB tidak pada tempatnya itulah kemudian saya membuat program jambanisasi lagi,” ujarnya. Program Kampung Sehat Total Jamban Keluarga (Katajaga) yang dilakukan atas dukungan Rotary International dan Yayasan Wahana Bhakti Sejahtera (YWBS) itupun akhirnya membuahkan hasil. Melalui pendekatan sosial dan agama, masyarakat mulai sadar akan pentingnya BAB tidak di sembarang tempat. Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) pada Oktober 2011 pun memberinya penghargaan khusus sebagai pegiat jamban keluarga dengan sistem total keluarga dan pastisipasi rakyat pertama di Indonesia. ”Sekarang, warga di 14 dusun di Kecamatan Gunungpati, Mijen dan Ngaliyan sudah memiliki jamban semua dan 99 persen warga tidak lagi BAB ke sungai,” katanya. Dengan anggaran Rp 2 miliar yang dikucurkan oleh Pemerintah Kota Semarang untuk Program Jambanisasi itu, kata Budi, pada 2013 Semarang patut disebut sebagai kota total jamban keluarga di Indonesia. Selain itu, Budi juga berharap pada 2015 tidak ada lagi warga Indonesia yang BAB di sembarang tempat. ”Saat ini saya sedang membantu Pemerintah Kabupaten Semarang, Kendal dan Demak untuk memberikan sosialisasi dan penyuluhan pentingnya jamban bagi keluarga,” katanya. (Muhammad Syukron-39) Post Date : 03 Januari 2012 |