|
"Air sungai ini diambil sewaktu sungai pasang supaya tidak terlalu kotor. Setelah diendapkan semalam, air sungai bisa dipakai," tutur Nila (38), warga RT 28, Kelurahan 9-10 Ulu, yang sedang mencuci, Senin (13/8) siang itu. Nila, serta sejumlah warga yang tinggal di bantaran Sungai Aur, rutin mengambil air sungai yang mengalir deras sewaktu pasang, sekitar pukul 23.00. Air itu dipakai untuk berbagai keperluan, mandi, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Kondisi sungai pada malam hari jauh berbeda dibandingkan dengan pada siang hari. Seperti Senin siang itu, Sungai Aur hanya digenangi sedikit air. Air yang kotor dan berwarna kehitaman mampet karena terhadang onggokan lumpur dan sampah. Bau busuk pun menyebar. "Kami tidak mampu berlangganan air leding karena biayanya mahal. Air leding dibeli hanya untuk minum dan memasak. Keperluan lainnya, kami sudah terbiasa mengandalkan air sungai," kata Nila, yang mengaku tidak gatal meskipun mandi dengan air sungai yang keruh. Bagi sebagian warga Palembang, sungai adalah segala-galanya. Mereka melakukan semua aktivitas di sungai, mulai dari mandi, mencuci, dan membuat hajat. Air yang sama juga diambil untuk diminum. Ketua RT 1 RW 01, Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur 2, Mustar Abidin, mengatakan, sebagian besar warganya yang tinggal di pinggiran Sungai Musi menyadari kualitas air sungai yang makin jelek. Namun, warga yang sebagian besar buruh itu tidak mampu berlangganan air leding yang biaya pasangnya mencapai Rp 1,2 juta. Mustar mengatakan, pipa air leding hanya terpasang di masjid, dan diperebutkan sekitar 110 keluarga di wilayah itu. Akan tetapi, air leding yang dibeli dengan harga Rp 100 per jeriken itu terkadang macet sehingga warga terpaksa kembali meminum air Sungai Musi, yang dimasak terlebih dahulu. "Kami tahu air Sungai Musi tercemar. Kami terpaksa minum air itu jika tidak ada sumber air yang lain. Pipa air leding terkadang macet. Untuk langganan, kami tidak punya uang," katanya. Kebiasaan meminum air sungai merupakan tradisi yang diwariskan masyarakat yang tinggal di tepian sungai. Kebiasaan itu hingga kini terus berlanjut meski kualitas air sungai terus merosot. Ketua RT 28, Kelurahan 9-10 Ulu, Sarwo Edi, mengungkapkan, pada tahun 1960-an air Sungai Aur itu masih jernih. Kualitas air semakin menurun seiring padatnya permukiman penduduk dan maraknya pembuangan limbah. Warga di tepian sungai berharap pemerintah dapat mencari solusi untuk membersihkan sampah dan limbah sungai, sehingga kualitas air sungai masih bisa diselamatkan.(bm lukita grahadyarini) Post Date : 14 Agustus 2007 |