Kami Sudah Lelah Diberi Janji

Sumber:Kompas - 31 Oktober 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
"Ah.... Sudah lama katanya kampung ini akan bebas banjir. Sudah beberapa kali kawasan ini disurvei. Penduduk sudah ditanya ini dan itu, dijanjikan segera bebas banjir. Tetapi, sama saja, banjir tetap datang," kata Nano Subarno, salah seorang korban banjir di Desa Pasar, Kecamatan Singkil, Minggu (28/10).

Selama sepekan banjir menerjang. Air yang sebagian besar berasal dari Kuala Singkil Lama dan Kuala Sipake merendam jalan setinggi 1 meter dan masuk ke rumah warga setinggi 30 sentimeter (cm). "Rumah kami rumah panggung sehingga air yang masuk tidak terlalu tinggi. Tapi, tetap saja semua barang basah," ujarnya.

Hari itu sisa-sisa banjir masih terlihat. Meski mulai surut, air masih menggenang setinggi lebih kurang 20 cm di beberapa lokasi, seperti di sekitar Pasar Kota Singkil. Di berbagai sudut kota air masih terus menggenangi rumah warga.

Nano, Sekretaris Desa Pasar, menuturkan, sudah beberapa kali desanya kedatangan petugas yang mengatakan hendak memperbaiki saluran pembuangan air desa, termasuk menata rumah warga yang tidak dibangun dengan baik.

"Buktinya, banjir leluasa menerjang. Petugas survei hanya datang dan pergi," ujar Nano.

Pria asal Tasikmalaya yang sudah 22 tahun tinggal di Singkil itu menuturkan, hampir setiap tahun bah datang. Banjir terbesar yang pernah dialaminya terjadi tahun 2000. "Air masuk ke dalam rumah. Tingginya hampir semeter. Itu banjir terbesar sampai saat ini," katanya.

Warga korban banjir di Desa Muara Batu-batu, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam, Nanggroe Aceh Darussalam, enggan meminta pemerintah menyediakan sarana air bersih karena letih hanya disirami janji-janji. Selama ini mereka minum air Sungai Lae Suraya, yang mengalir di depan rumah.

Tujuh hari banjir melanda wilayah itu. Menurut seorang warga, pemerintah hanya memberi air bersih sebanyak 25 kardus air mineral dalam kemasan gelas plastik. Bantuan itu untuk 14 desa yang ada di kecamatan itu. "Satu desa bisa ribuan orang," ujar seorang warga.

Sungai Lae Suraya menjadi tumpuan hidup warga Muara Batu-batu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aliran sungai yang berasal dari Kabupaten Bener Meriah, dan merupakan anak Sungai Alas, adalah media transportasi utama masyarakat di desa itu dan desa tetangga untuk mencapai pusat Kota Subulussalam.

Selain berfungsi sebagai media transportasi, air sungai juga digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti mandi, mencuci, memasak makanan, dan minum. Bahkan, untuk buang hajat pun, masyarakat menggunakan sumber air yang sama, yaitu air dari Sungai Lae Suraya.

Seorang warga bernama Aisyah menuturkan, ia harus menggunakan air sungai yang berwarna coklat untuk memasak dan minum karena tidak ada sarana air bersih.

Idrus, Sekretaris Desa Muara Batu-batu, menuturkan, pemerintah sudah membangun satu fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Namun, fasilitas itu jarang digunakan karena airnya berwarna coklat.

Beberapa kali pengajuan permintaan dikirim Idrus ke pemerintah setempat dan dinas serta instansi teknis terkait, seperti perusahaan daerah air minum (PDAM). "Tetapi, sampai sekarang tidak ada hasilnya. Kami lelah," tutur Idrus.

Ia menyatakan warga meminta dirinya mendesak Pemerintah Kota Subulussalam yang baru berdiri untuk merelokasi warga ke tempat yang lebih baik.

Pelaksana Tugas Harian Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Subulussalam Salbunis mengakui, pihaknya sama sekali tidak bisa memberikan bantuan air bersih karena pasokan air bersih di wilayah kota tidak bagus.

"Pasokan air dari PDAM Subulussalam tidak lancar. Kadang hidup, kadang mati. Mau tidak mau, mereka bertahan dengan kondisi itu," ujar Salbunis. Ia menyatakan, untuk kondisi darurat pihaknya berupaya meminta kepada pimpinan Komando Rayon Militer menggunakan unit penyulingan air agar warga bisa mendapatkan air bersih.

Salbunis menambahkan, Pemerintah Kota Subulussalam belum memikirkan kemungkinan memindahkan warga dari lokasi tempat tinggal sekarang ini.

Solusi yang sedang dipikirkan adalah menyalurkan air bersih ke tempat tinggal warga. Namun, kata Salbunis, masih menunggu mandirinya PDAM Kota Subulussalam, dari induknya, PDAM Kabupaten Aceh Singkil. "Masih cukup lama," tutur Salbunis.

Menurut pengamatan, hal ini tidak hanya menjadi harapan masyarakat yang tinggal di pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi juga berbagai daerah lain yang menjadi langganan banjir, seperti Jakarta, Kabupaten Bandung (Jawa Barat), dan Semarang (Jawa Tengah). Masyarakat saat ini butuh bukti. Bukan janji-janji kosong. Mahdi Muhammad



Post Date : 31 Oktober 2007