|
”Wah, kami sudah lama ara aiq. Tak perlu sudah PDAM ke sini. Yang perlu itu bagaimana kita bisa buat lahan tangkapan air lebih luas. Kita butuh bak penampung lebih besar.” Lalu Supratman (47), Kepala Dusun Dalem Lauq, Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur, bersemangat menceritakan soal sumber air di kampungnya. Aiq dalam bahasa Sasak yang berarti ’air’ itu sudah lama ara atau tersedia dan dapat dinikmati warga Lendang Nangka, sekitar 20 kilometer selatan Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Antusiasme warga dusun yang bersahaja itu kian menyala tatkala ia mengenalkan Tahir Muhtar (77), Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Asih Tigasa di kantornya, pertengahan Mei lalu. Segala rupa makanan disajikan di meja. Rupa-rupanya pula, Pak Lalu ini meyakini Pak Tahir berusia sekitar 80-an tahun. Si empunya usia tak keberatan disebutkan lebih tua, meski ternyata Tahir lahir pada 4 April 1935. Kebanggaan Pak Lalu kepada sesepuhnya itu bisa dipahami. BUMDes Asih Tigasa yang dipimpin Tahir itu kini mengelola air bersih bagi 761 pelanggan di Lendang Nangka. Ini solusi cemerlang dan cerdas terhadap problem air bersih warga. BUMDes dijalankan oleh 17 pengurus, mulai dari pencatat meteran air sampai teknisi pipa. Khusus pencatat meteran, BUMDes memercayakannya kepada ibu-ibu, sebab mereka dinilai lebih teliti dan jujur. Laporan keuangan BUMDes diumumkan melalui pengeras suara di masjid desa, yakni pada hari Jumat, sekali sebulan. Tujuannya agar warga mengetahui jumlah pemasukan dari pelanggan air dan apa saja peruntukannya. Rata-rata, pemasukan BUMDes Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan. ”PDAM” swakelola ini menyisihkan 45 persen pendapatannya untuk masjid, 20 persen untuk kas desa, 5 persen untuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD), 5 persen untuk administrasi, dan 25 persen untuk insentif pengurus. Air dihargai Rp 200 per meter kubik atau lebih murah dibandingkan dengan tarif PDAM Rp 3.000 per meter kubik. Air naik jadi Rp 200 per meter kubik sejak tahun 2010. Dulunya, air cuma Rp 100 per meter kubik. Sebelum BUMDes didirikan tahun 2005, warga harus berjalan sekitar 15 km menuju mata air Tigasa dan Tojang untuk mendapatkan air. Era 1970-an, banyak warga membuat sumur. Namun, saat kemarau air sumur itu surut. Harapan warga terbit ketika tahun 1976 desa itu memenangi lomba kesehatan dari Unicef (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak) melalui Dinas Kesehatan NTB. Hadiah lomba berwujud pengadaan bak penampungan air bersih dari beton berukuran 25 meter x 9 meter x 1,5 meter. Bak (reservoir) itu menampung mata air dan menyalurkannya ke jaringan pipa menuju tujuh kampung di Lendang Nangka. Di setiap kampung dibangun reservoir berukuran 2 meter x 1,5 meter x 1,5 meter. Jaringan pipa dibangun menggunakan pipa ukuran 4 dim sepanjang 1.900 meter sampai ke pusat desa. Air lalu didistribusikan ke kampung-kampung dengan pipa ukuran 2 dim. Warga mengambil air dari bak penampungan yang ada di tiap kampung untuk mandi, memasak, dan mencuci. Namun, acap kali warga berebut air, sebab warga di daerah yang lebih tinggi cenderung boros sehingga warga di bawahnya tak kebagian air. Tahun 1999, ada program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMKE). Warga mengusulkan perbaikan jaringan pipa, yakni dengan mengalirkan langsung air ke rumah warga. Setiap rumah dibatasi punya satu keran. Tahir menginisiasi warga agar membayar Rp 1.500 per bulan untuk perawatan jaringan pipa. Pembentukan Bapamdes Namun, pemborosan air dan kerusakan lingkungan di area tangkapan air masih membayangi. Tahun 2002, dibentuklah Badan Pengelola Air Minum Desa (Bapamdes). Warga bermusyawarah dengan Dinas Pekerjaan Umum setempat dan sepakat memakai meteran air. Pemda membantu pengadaan 280 unit meteran air. Penambahan meteran selanjutnya dilakukan melalui pendaftaran. Penggunaan meteran bisa mengontrol penggunaan air dan menghindarkan perebutan air. Sisi positifnya, pendapatan dari pengelolaan air itu bisa dikembalikan untuk keperluan warga, mulai pesta adat, sunatan, pembangunan masjid, perayaan 17 Agustus, dan perbaikan jalan. Kepala desa pun membuat peraturan desa soal pengurus dan peruntukan uang air tersebut. Dengan akta notaris pada tahun 2005, Bapamdes diubah menjadi BUMDes. ”Warga tinggal pakai air sesuai kebutuhannya. Kalau pipa rusak, tinggal panggil saya ke rumah,” ungkap Subawai (42), teknisi pipa. Kecakapan Subawai soal perpipaan rupanya yang membuat rumah Maharani (31), warga setempat, kini dialiri air. Ada keran di kamar mandi, dapur, dan halaman rumah. Bisa jadi pemandangan itu lumrah di Jawa. Namun, bagi warga Lendang Nangka ”kemewahan” itu tak bisa dinikmati sebelum ada BUMDes. Mengutip Deliar Noer dalam biografi Mohammad Hatta (2012), Bapak Bangsa itu mengingatkan pengelolaan lahan di Tanah Air yang umumnya milik kolektif warga desa. Tanah haruslah diusahakan secara bersama, termasuk di dalamnya mata air dan kekayaan alam lain yang dikandungnya. Keperluan desa, seperti irigasi, pemeliharaan masjid, gereja, kuburan, rumah adat, koperasi poliklinik, dan sekolah, menurut Hatta, bisa dikerjakan bersama-sama oleh warga desa. Praktik BUMDes Asih Tigasa senapas dengan ide Bung Hatta. Kemandirian warga desa dilembagakan dalam sebuah organisasi kolektif yang profesional dan bersifat sosial. Tidak rakus dan mementingkan diri sendiri. Stevent Febriandy, pegiat Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), mengatakan, praktik inovasi dan kemandirian warga bangsa sejatinya menyebar di pelosok negeri. Diperlukan upaya segenap pihak untuk menyelami semangat-semangat itu, menemukannya, menampungnya, mengabarkannya, dan mereplikasinya. Rini Kustiasih Post Date : 13 Juni 2012 |