Kami Butuh Air Bersih

Sumber:Kompas - 10 Oktober 2006
Kategori:Air Minum
Wabah diare di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dipicu kebiasaan masyarakat meminum air yang keruh akibat kekurangan air bersih setiap musim kemarau. Pengobatan dan penanganan setelah penyakit itu menjangkiti ribuan orang, tidak pernah menuntaskan persoalan. Jalan keluar yang diharapkan masyarakat, pemerintah mau membantu menyediakan air bersih saat kemarau.

Sungai Ogan dan Sungai Pemulutan di Kecamatan Pemulutan, sedang pasang, Senin (9/10) siang. Akan tetapi air dua sungai itu tetap kotor, berbau, dan berwarna hijau-kecoklatan. Masyarakat yang kekurangan air justru menyerbu sungai itu dengan gembira.

Mereka mandi, mencuci, dan menciduk air sungai yang sedang pasang itu untuk diminum. Mereka tampak begitu santai, seakan lupa, air itu bisa mengandung kuman penyebab diare. Padahal diare telah mewabah di kawasan itu selama tiga bulan terakhir ini.

"Sebenarnya, kami juga tahu, kalau air ini tidak bersih. Tetapi kami mau mengambil air di mana lagi? Mau beli air dari luar, kami tak punya banyak uang," kata Suwani (32), warga Desa Pelabuhan Dalam, Pemulutan, sambil mencuci pakaian di pinggiran sungai.

Usai mencuci, wanita itu tak lupa mengambil air dengan bak dan dibawa pulang ke rumah. Air itu diendapkan selama semalam agar menjadi lebih bening, sehingga layak dimasak sebelum diminum. "Kalau air sungai sedang pasang, air itu hanya kami endapkan saja, terus dimasak. Kalau air kotor saat sungai surut, air itu diberi sedikit kaporit," katanya.

Warga Pemulutan terbiasa meminum air Sungai Ogan dan Sungai Pemulutan. Puluhan tahun lalu, kebiasaan itu belum mendatangkan efek yang fatal, karena kualitas air sungai masih bagus. Para petani yang datang dari sawah biasa langsung menciduk dan meminum air sungai tanpa dimasak terlebih dahulu.

Tetapi, saat ini, kualitas air semakin buruk akibat tercemar berbagi limbah rumah tangga dan industri. Kebiasaan meminum air itu pun mendatangkan penyakit diare. "Saat kemarau, air semakin jelek karena kotoran mengendap di air yang surut," kata Unsyah Harun (53), pegawai puskesmas yang tinggal di Pemulutan sejak 1975.

Pemulutan termasuk kawasan yang terkena wabah diare. Kepala Puskesmas Pemulutan, Masagus M Hakim, mengungkapkan, ditemukan 264 kasus diare di kecamatan itu selama Juli, 188 kasus selama Agustus, dan 447 kasus selama September hingga awal Oktober. Diare menyerang anak-anak, orang dewasa, hingga warga usia lanjut.

"Wabah penyakit itu tak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakat yang meminum air kotor saat kemarau. Jika kebiasaan itu terus berlanjut, wabah diare sulit diatasi," kata Unsyah Harun.

Suwani, ibu rumah tangga yang biasa meminum air sungai, mengungkapkan, salah satu anaknya, Aril (6), baru saja sembuh dari diare yang diderita selama seminggu. Aril muntah-muntah, buang air besar, lemas, tak mau makan-minum. Setelah diobati di Puskesmas Pemulutan, anak itu berangsur sembuh.

Dia berharap, pemerintah membantu menyediakan air bersih di Pemulutan, terutama saat kemarau. Warga yang sebagian besar berekonomi lemah, tak mampu mengumpulkan modal sendiri untuk membuat sumur bor atau mendatangkan layanan air bersih dari PDAM. Mereka meminta pemerintah membangun sumur-sumur yang bisa mengeluarkan air jernih saat kemarau.

Kepala Dinas Kesehatan Ogan Ilir, Izwar Arfanni, mengatakan, satu-satunya cara untuk menanggulangi wabah diare adalah dengan menyediakan air bersih bagi masyarakat saat kemarau. Dinas Kesehatan sedang mengusulkan pembuatan 150 sumur proteksi untuk tiga kecamatan yang rawan diare, yaitu Kecamatan Pemulutan, Pemulutan Barat, dan Pemulutan Utara. Satu sumur diperkirakan menghabiskan dana Rp 12,5 juta.

"DPRD Ogan Ilir sudah menyetujui usulan itu, untuk program tahun 2007. Sumur proteksi dilengkapi pompa penyedot serta alat penyaring, sehingga air yang keluar sudah lebih bersih," katanya. (ilham khoiri)



Post Date : 10 Oktober 2006