Wolowae, daerah padang rumput itu, sejak dulu gudang ternak Nusa Tenggara Timur. Banyak orang di sana tak sulit memperoleh uang dari menjual ternak. Namun, ratusan penduduk di salah satu dusunnya sulit memperoleh air minum.
Masalah air rupanya terkait dengan pemekaran Nagekeo sejak 2007, yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Ngada.
Nama dusun yang langka air itu Kaburea, di Desa Tendakinde, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Desa Tendakinde terletak di kawasan pantai utara Flores dan terdiri dari tiga dusun, yakni Kaburea, Marilewa, dan Ratenunu. Dari tiga dusun itu, yang bermasalah dengan air bersih hanya Kaburea dengan penduduk berjumlah sekitar 350 jiwa.
Meski di dusun tersebut ada banyak sumur gali, sumur-sumur itu airnya amat asin sehingga tidak baik untuk kesehatan.
Sebagaimana Idrus dan istrinya, Nur Idana. Pada saat sinar matahari begitu menyengat kulit, keduanya tetap mencari air bersih di pinggir Kali Nioniba, Jumat (21/8).
Kali Niobia itu letaknya tak jauh, hanya sekitar 1 kilometer dari Tendakinde, pusat kota Kecamatan Wolowae.
Idrus membawa puluhan jeriken, sekaligus dia juga yang mesti mendorong gerobak pulang ke rumah setelah semua jeriken terisi penuh. Nur bertugas mencedok air dari dalam galian kali ke jeriken.
”Air ini hanya untuk minum,” kata Nur yang mengenakan caping. Nur ditemani keponakannya, Faisal. Faisal tidak membantu, tetapi malahan berenang di Kali Nioniba.
Ia dan suaminya memilih waktu matahari di atas kepala untuk mencari air karena pagi atau sore hari terlalu banyak warga setempat yang mengantre. ”Kalau air dalam galian sudah keruh, kami akan menggali lagi di tempat lain,” kata Idrus.
Warga Kaburea biasa mencari air tawar di Kali Nioniba dengan cara menggali di daerah pinggir kali. Setelah digali dengan kedalaman sekitar 30 sentimeter, akan muncul air tanah yang bening.
Air yang memancar di galian itu kemudian menjadi milik bersama warga dusun dan mereka pun beramai-ramai mengantre. Bagi lidah mereka, air dari galian kali itu terasa tawar dan juga lebih segar dibandingkan dengan air sumur.
Untuk mencuci pakaian atau mandi, warga Kaburea menggunakan air sumur setempat, sedangkan air dari Kali Nioniba hanya digunakan untuk minum. Itu sebabnya saat warga desa mengantre air, satu keluarga bisa saja membawa belasan hingga puluhan jeriken untuk persediaan beberapa hari.
Menurut Idrus, pada musim kemarau seperti sekarang justru air tanah dari Kali Nioniba relatif lancar atau mudah didapat. Akan tetapi, pada musim hujan warga setempat akan kesulitan karena air meluap.
Ny Harjah, tetangga Idrus, juga datang ke sungai siang itu karena persediaan air di rumahnya habis.
Ny Harjah mengungkapkan, jika keadaan mendesak, tetapi tidak ada persediaan air minum sebagaimana pada musim hujan, terpaksa mereka akan meminta air minum dari tetangga yang memang masih memiliki persediaan cukup.
Menurut Camat Wolowae Dominikus Bhoke, warga Kaburea hanya mengalami kesulitan untuk akses air minum, sedangkan air bersih untuk keperluan mandi ataupun mencuci pakaian dapat diperoleh dari sumur-sumur yang ada di dusun tersebut. ”Sumur di Kaburea kalau tak dalam memang airnya asin,” kata Dominikus.
Dari lima desa di Wolowae, yaitu Tendakinde, Tendatoto, Totomala, Anakoli, dan Natatoto, sebenarnya ke semua desa telah dihubungkan dengan jalur pipanisasi dengan sumber dari mata air. Penduduk Wolowae total sebanyak 4.897 jiwa.
Desa Tendakine mendapatkan pasokan air minum dari sumber air di Desa Tendatoto. Di Tendatoto terdapat delapan mata air, yaitu Konge, Mukudedho, Yobokoka, Aepetu, Okimoke, Aeipu, Aebeto, dan Yodede.
”Namun, umumnya mata air di Tendatoto kecil debitnya. Pipanisasi dari Konge ke Kaburea sudah ada tahun 2005. Namun, entah mengapa di Kaburea air tidak mengalir,” kata Camat Wolowae itu. Jarak sumber air Konge hingga Kaburea sekitar 12 kilometer.
Menurut Dominikus, masalah akses air minum bagi warga Kaburea tengah diupayakan untuk diajukan anggarannya ke Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nagekeo agar jaringan pipa ke dusun tersebut ditinjau ulang.
Tokoh masyarakat Wolowae, Silvester Y Gani, berpendapat, problem air minum untuk warga Kaburea karena sistem pengelolaan yang tidak profesional. Pengelolaan air minum itu masih ditangani pemerintah desa setempat.
”Semestinya ada sistem atau pengaturan distribusi air yang baik, begitu pula pengawasan dan aspek pemeliharaan. Namun, hal ini belum memungkinkan dilakukan sebab sampai kini pengelolaan air minum di Nagekeo saja masih ditangani PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kabupaten Ngada. Jika problem seperti di Kaburea ingin cepat teratasi, di Nagekeo perlu dibuat lembaga pengelola air minum sendiri,” kata Silvester yang juga mantan Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Nagekeo.
Menurut Silvester, salah satu masalah yang menyebabkan air minum tidak mengalir ke Kaburea adalah kendala di masyarakat hulu, yakni Desa Tendatoto.
Warga Tendatoto sering membuka pipa saluran air dan membuat sambungan baru secara ilegal ke rumah mereka. Ini memicu kebocoran sehingga warga Kaburea tak kebagian air.
Semangat pemekaran wilayah umumnya untuk meningkatkan mutu pelayanan publik. Jika sekian lama warga Kaburea bersusah payah mengais air minum di Kali Nioniba, penyebabnya Pemerintah Kabupaten Ngada kurang perhatian, apalagi Kaburea terpencil dan jaraknya sekitar 95 kilometer dari Ngada. Samuel Oktora
Post Date : 09 September 2009
|