|
AKHIR-AKHIR ini terdengar berita, Kabupaten Magelang akan menjual air dari sejumlah mata air ke Yogyakarta (yang akan disalurkan untuk PDAM Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul). Apakah program tersebut layak untuk dilanjutkan? Program layak dilanjutkan apabila konsep keseimbangan pengelolaan sumber daya air dapat diwujudkan, pemanfaatan optimal, kuantitas dan kualitas air terjaga, tidak terjadi permasalahan sosial, dan terjadi peningkatan pendapatan daerah. Konsep awal dapat dilihat dari penelitian base flow (aliran dasar sungai) dari mata air terganggu atau tidak. Jika terjadi gangguan, berarti program jangan dilanjutkan. Base flow Sungai Elo akhirnya masuk ke Sungai Progo. Air yang memungkinkan untuk dijual ke Yogyakarta, misalnya dari mata air Kanoman, Tuk Putri, Tuk Lanang, mata air Tirtosari. Jika 30%-50% debit dijual untuk Yogyakarta, sisanya akan menjadi base flow, di samping dari mata air lain, seperti Pisangan, Ngasem, Gending, Jogonegoro, dan Kalibening. Permintaan dan Kebutuhan Berdasarkan data di Akademi Teknik Tirta Wiyata Magelang, tiga PDAM di DIY (Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul) tercatat jumlah kekurangan air minum 399 liter/detik pada 2005, dan menurut prediksi 2010 meningkat menjadi 876 liter/detik, 2015 menjadi 1.416 liter/detik, dan 2020 menjadi 2.011 liter/detik. Jelas, Yogyakarta membutuhkan air baku tambahan yang ketersediannya sangat terbatas di daerah itu baik dari mata air maupun sumur dalam. Sementara itu, instalasi pengolahan (treatment) dari sungai mahal baik konstruksi maupun operasinya. Ketiga pemkab/pemkot di DIY tersebut telah mempunyai perjanjian kerja sama di bidang pengelolaan air bersih. Pasar yang jelas tersebut harus disikapi secara cepat dan tepat. Pemkab Magelang harus menyusun neraca sumber air terkait dengan proyeksi pertambahan penduduk dan kebutuhan air berbagai sektor untuk air minum, irigasi, dan lain-lain dari 50 mata air (tercatat di PDAM Kabupaten Magelang 2004) ataupun sumber lain untuk saat ini dan prediksi 2010, 2020, dan seterusnya. Dengan demikian, dapat terjawab layak tidaknya menjual air ke DIY yang dituangkan dalam perda misalnya. Operasional dan Pendapatan Apabila program berjalan, dengan asumsi penjualan tahun pertama sejumlah 440 liter/detik, meningkat setiap lima tahun menjadi 900 liter/detik, 1.414 liter/detik, dan 2.011 liter/detik dengan harga air Rp. 600/m3 dan mengalami kenaikan 10% per dua tahun, maka akan diperoleh pendapatan bersih Rp 57,2 miliar pada lima tahun pertama. Pendapatan Rp 68,9 miliar diperoleh pada lima tahun kedua dan Rp 215,8 miliar pada lima tahun ketiga. Pendapatan tersebut sudah dikurangi dana konservasi, dana lingkungan/sekitar sumber, retribusi air bawah tanah (ABT) ke Pemprov, retribusi jalur pipa dan operasi pemeliharaan. Asumsi-asumsi perhitungan lain dapat juga dilakukan. Perhitungan air terjual dilakukan di perbatasan Magelang-Yogyakarta, misalnya di Tempel. Meter air harus akurat dan dikalibrasi/ditera sesuai dengan ketentuan. Investasi dari Magelang sampai Yogyakarta dapat dilakukan oleh satu konsorsium atau dibagi dua, Magelang sampai dengan Tempel tanggung jawab Pemkab Magelang, dan Tempel sampai dengan pelanggan tanggung jawab DIY. Konservasi Mata Air Asumsi perhitungan di atas sudah termasuk Dana Konservasi Mata Air 15% dari pendapatan kotor. Dana konservasi adalah Rp 12,5 miliar pada lima tahun ke-1, Rp 24,9 miliar pada lima tahun ke-2, dan Rp 46,7 miliar pada lima tahun ke-3. Dana tersebut dapat digunakan untuk penelitian detail daerah tangkapan air (catchment area). Pada lima tahun pertama dapat ditanam dan dianggarkan pemeliharaan 12.000.000 pohon di catchment area, pembuatan sumur-sumur resapan, dan embung-embung. Pada dasarnya air dijual ke DIY atau tidak, konservasi mata air harus tetap ada dan dianggarkan sehingga kualitas dan kontinuitas mata air terjaga. Konservasi harus dilaksanakan secara konsiten, saling menguntungkan, peduli air, peduli lingkungan. (55j) Penulis adalah dosen AKATIRTA Magelang dan Koordator In-house Training Kehilangan Air PT KTI Krakatau Steel Group, Cilegon, 2005. Post Date : 11 Mei 2005 |