Kakao Siap Panen Itu Terendam Air Berhari-hari

Sumber:Kompas - 13 April 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
MUH Nawir (60) sulit tersenyum. Bibirnya terasa kaku. Kepala Desa Beringin Jaya, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, ini hanya tercenung memandangi kebun-kebun kakao miliknya yang sudah 10 hari terendam air setinggi satu hingga 1,5 meter.

Padahal, buah-buah kakao di lahan seluas dua hektar itu sebentar lagi dipanen. Namun, apa daya, begitu banjir bandang menerjang hampir tiga perempat kawasan Luwu Utara (Lutra) sejak 1 April, Nawir seperti tak punya daya. "Tidak ada lagi yang bisa diharapkan kalau tanaman kakao itu terendam berhari- hari, buahnya sudah kemerah-merahan. Tinggal menunggu mati saja," ungkap Nawir dengan tatapan kosong.

Nawir tidak sendirian. Ribuan penduduk juga mengalami nasib serupa. "Semuanya tenggelam. Sampai hari ini, tanaman kakao seperti berada di tengah danau. Saya tak tahu apa yang harus dilakukan," ujar Daniel Lamu (38), pemilik lahan kakao seluas satu hektar di Desa Batangtongka, Kecamatan Bone-bone, Minggu (10/4). "Buahnya (kakao) sudah merah, setelah itu membusuk. Jadi, tidak mungkin lagi bisa dipetik," ujar Wahyuddin (43), Kepala Desa Lawewe, Kecamatan Baebunta, pemilik lahan seluas 1,5 hektar.

Di tengah sikap pasrah menghadapi musibah itu, keluh kesah para petani tak bisa disembunyikan dari wajah-wajah mereka. Bayangan akan hasil panen yang bagus dalam sekejap lenyap begitu saja. Hasil jerih payah berbulan-bulan itu hanyut tersapu banjir.

"Seandainya tidak terkena banjir, setiap panen kakao saya bisa mendapatkan hasil sedikitnya Rp 40 juta," ungkap Nawir. Ketti (60), petani lainnya di Beringin Jaya, mengatakan, penghasilannya lebih besar lagi. Dari lahan kakao miliknya yang seluas tiga hektar, dia memperkirakan bisa mendapatkan hasil sekitar Rp 30 juta per hektar. Artinya, untuk tanaman seluas tiga hektar, Kepala Dusun Mawar ini bisa memperoleh uang senilai Rp 90 juta setiap panen raya kakao.

"Tetapi, sekarang semuanya terendam air. Kalau sepekan kadang bisa diselamatkan. Tetapi, bila lama sampai lebih dari sepekan bahkan hingga berbulan-bulan, ya pasti mati," ujar Ketti.

Tak mengherankan bila penduduk seperti tak tahu lagi apa yang mesti diperbuat. Mereka tak mampu untuk membendung tumpahan banjir yang menerobos ke lahan perkebunan dan ke lokasi permukiman. Mereka juga bingung bagaimana menyelamatkan tanaman kakao agar hasil jerih payah yang ditanam tidak hanyut ditelan banjir.

Banjir yang dipicu hujan berhari-hari sejak 1 April lalu telah menenggelamkan sebagian wilayah Lutra. Dari 11 kecamatan di Lutra, delapan kecamatan terkepung air. Kedelapan kecamatan itu adalah Baebunta, Mappedeceng, Bone-bone, Sukamaju, Malangke, Malangke Barat, Masamba, dan Sabbang.

Tak henti-hentinya hujan turun membuat dua sungai besar, Rongkong dan Baliase, serta tujuh sungai kecil lainnya meluap. Kondisi semakin parah tatkala sejumlah tanggul yang dibangun pemerintah daerah maupun hasil swadaya masyarakat jebol diterjang air. Air pun menerobos ke permukiman sehingga membenamkan rumah-rumah penduduk, serta lahan-lahan perkebunan dan pertanian.

Di Sukamaju, ada delapan desa terendam air, yaitu Subur, Lino, Panmacang, Wonokerto, Sumberbaru, Banyuwangi, Mulyorejo, dan Rawamangun. Di Bone-bone sebanyak 11 desa terendam, yaitu Sukaraja, Tamuku, Batangtongka, Tongko, Muktisari, Patoloan, Sidobinangun, Rampoa, Sidomakmur, Banyuurip, dan Sidomukti.

Di Malangke ada 10 desa terendam, antara lain Tandung, Tingkara, Putehmata, Petalandung, Girikusuma, Malangke, Tinceputeh, Salekole, dan Lodongi. Sementara di Baebunta yang cukup parah, air merendam sedikitnya enam desa, yaitu Desa Beringin, Beringin Jaya, Lara I, Polewali, Lembang-lembang, dan Lawewe. Bahkan dua desa terakhir sampai kemarin masih terisolasi dan hanya bisa dicapai menggunakan perahu katinting.

DESA-desa yang tenggelam itu merupakan sentra perkebunan kakao. Tanaman cokelat ini memang menjadi komoditas utama penduduk di Kabupaten Lutra. Di Sulsel, Kabupaten Lutra merupakan penghasil kakao terbesar. Menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Lutra Andi Chaerul Pangerang, luas areal kebun kakao sekitar 15.000 hektar. Menurut taksiran Chaerul, luas kebun kakao yang terendam air sekitar 70 persen.

Tanaman kakao memang digalakkan sejak masuknya transmigrasi ke kawasan itu. Di Kecamatan Sukamaju dan Tamuku, misalnya, sejumlah transmigran, baik dari Jawa, Bali, maupun transmigran lokal dari Tana Toraja, telah membuka areal tanaman sekitar tahun 1972. Sejumlah transmigran lokal dari Bone dan Sidrap telah membuka hutan di Beringin Jaya sekitar tahun 1986.

Sebagian besar penduduk bekerja di kebun-kebun kakao. Ambil contoh di Beringin Jaya. Dari 561 kepala keluarga (KK), hanya 20 KK yang berprofesi guru atau tenaga kesehatan. Sisanya merupakan petani kakao. Di Lawewe, dari 197 KK (sekitar 1.003 jiwa), semuanya petani kakao. "Kadang-kadang saja penduduk mencari ikan di sungai," kata Chairuddin, Kepala Seksi Tramtib Kecamatan Baebunta.

Karena itulah, kawasan penghasil kakao itu kerap dijuluki "penghasil dollar". Setiap habis panen, penduduk menerima jutaan rupiah. "Bahkan dulu di masa harga kakao masih bagus, dealer motor di Masamba (ibu kota Lutra-Red) hampir kewalahan karena banyaknya orang yang membeli motor. Di pasar juga begitu. Kalau ikan kecil untuk pegawai, tetapi kalau ikan besar untuk petani kakao," kata Melky, pegawai Kantor Informasi dan Komunikasi Pemkab Lutra.

Kisah-kisah unik itu mengiringi sukses para petani kakao di Lutra. Mereka ibarat saudagar yang menggondol uang dan keluar dari kampung-kampung. Dulu bila orang menjemur biji cokelat, orang menyebutnya menjemur dollar. Tetapi anehnya, mereka mengaku tidak mempunyai simpanan setiap usai panen. "Ah, semuanya habis untuk kebutuhan sehari-hari, buat anak-anak, untuk bangun rumah, atau beli lahan sedikit-sedikit," kata Mistar (60), transmigran asal Jember, Jawa Timur, yang menetap di Kecamatan Sukamaju sejak tahun 1972. "Tidak ada simpanan, hasil cokelat untuk makan saja," kata Ketti.

Kalaupun ada tabungan, itu pun persiapan biaya berangkat haji. "Di Kecamatan Baebunta, jumlah jemaah haji cukup banyak. Karena, orang Bugis saat menanam cokelat selalu meniatkan untuk pergi haji," kata Camat Baebunta Muh Asyir. Kini, begitu areal tanaman kakao tenggelam oleh banjir, banyak petani yang mengurungkan niatnya pergi ke Tanah Suci. "Saya sudah niatkan tahun depan akan berangkat (haji). Tetapi, sekarang sepertinya niat itu saya urungkan," tutur Nawir.

Sebetulnya, selain sebagai penghasil kakao, kawasan tersebut juga penghasil utama jeruk, terutama di Malangke, Malangke Barat, dan Bone-bone. Luas areal kebun jeruk tak kurang dari 12.000 hektar. Jeruk-jeruk itulah yang dipasarkan ke Makassar dan Surabaya. Namun, sejak terendam air, jeruk-jeruk itu pun berguguran. Sebagian besar tidak bisa dipanen. Banjir berhari-hari itu telah menghanyutkan hasil jerih payah ribuan penduduk. (Subhan SD)



Post Date : 13 April 2005