Jurus Kunci Kelola Sampah

Sumber:Kompas - 15 Februari 2008
Kategori:Sampah Jakarta

Sampah selalu dianggap barang remeh yang harus dicampakkan. Meski begitu, nyatanya sampah menjadi urusan pelik yang belum juga terpecahkan hingga kini. Berbagai cara dikembangkan untuk mengolah sampah agar tak bersisa. Namun, kuncinya belum dipegang, yaitu mengubah sikap manusianya.

Bagaimana menjawab persoalan seperti itulah yang antara lain akan ditampilkan pada Green Festival yang akan digelar 28-30 Maret 2008 di kawasan Parkir Timur Senayan, Jakarta. Acara ini bisa menjadi alternatif acara keluarga untuk lebih memahami soal pemanasan global dan kaitannya dengan keseharian kita.

Selama ini dikenal lima jurus mengelola sampah, mulai dari penggunaan kembali dan mengurangi (reuse dan reduce) sampah di tingkat rumah tangga, pengomposan, yaitu mendaur ulang sampah organik menjadi pupuk kompos, mendaur ulang bahan non-organik (seperti plastik, karet, kaca, berupa besi), membakar dengan insinerator untuk menghasilkan energi panas atau listrik, hingga membangun Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu—penerapan teknik sanitary landfill di tempat pembuangan akhir (TPA).

Tahap menggunakan kembali hingga mendaur ulang sampah perlu melibatkan masyarakat sebagai produsen sampah. ”Namun hal ini umumnya tak berjalan karena tidak didukung oleh masyarakat dan pemda,” ujar Wahyu Purwanto, Kepala Bidang Konservasi dan Pemulihan Kualitas Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Di tingkat rumah tangga nyaris tidak dilakukan pemilahan sampah organik dan anorganik serta menekan penggunaan bahan yang tidak dapat didaur ulang, terutama plastik.

Di lain sisi pemerintah daerah tidak mendukung upaya masyarakat melakukan pengomposan dengan memberi subsidi atau insentif bagi pengolahan dan penjualan pupuk tersebut.

Wahyu mengambil contoh matinya upaya swadaya masyarakat dalam pengomposan sampah di Geger Kalong, Bandung. Di DKI Jakarta paling tidak hanya Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari yang masih jalan hingga kini. Itu karena BPPT yang mendanai dan menjadikannya TPST percontohan. ”Penanganan sampah belum menjadi prioritas pemda pada umumnya. Terlihat dari kecilnya anggaran yang dialokasikan,” ujar Wahyu yang menjadi Manajer Proyek Pengembangan Sanitary Landfill BPPT.

Program pengomposan sebenarnya bisa dijalankan dalam skala nasional. Misalnya pengomposan sampah di perkotaan untuk mengatasi lahan kritis di berbagai daerah lain. ”Harus ada kerja sama kota dan daerah dan lintas sektoral,” ujar Wahyu. Gagasan ini juga dilontarkan Prasetyo Sunaryo, staf ahli Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Penanganan sampah di perkotaan bisa dilakukan dalam skala kecil di tingkat kelurahan, dengan insinerator skala kecil. Sistem ini biasanya terkendala pembebasan sampah.

Sementara dengan menerapkan penimbunan yang terkontrol (sanitary landfill), gas metan yang dihasilkan dari bioreaksi tumpukan sampah bisa digunakan membangkitkan listrik. Teknik ini digunakan misalnya di Amerika Serikat dan Singapura.

Di Indonesia sistem ini dijajaki penerapannya di Serang, Banten, empat tahun lalu. Dengan teknik ini, selain menghasilkan gas metan untuk pembangkit listrik, hasil timbunan sampah juga dapat dipanen untuk pupuk dan bahan urukan lahan kritis. Dengan cara ini lahan bisa dimanfaatkan kembali.

Sampah di rumah

Di setiap rumah tangga terdapat beragam sampah. Sampah diklasifikasikan dalam tiga golongan, yaitu lapak, sampah organik, dan residu. Sampah organik antara lain sisa sayur-mayur, kulit buah, dan sisa makanan. Lapak adalah sampah bernilai jual seperti botol, kertas, besi bekas, dan kaleng. Sedangkan residu adalah baterai bekas, obat kedaluwarsa, botol-botol bekas pembunuh, pembalut, dan potongan kayu.

Sampah organik sebaiknya ditanam di dalam tanah untuk dijadikan kompos melalui proses aerob (membutuhkan udara) atau langsung dimasukkan ke dalam lubang di tanah.

Sementara lapak bisa dijual kembali melalui tukang loak yang akan menjualnya ke industri-industri yang akan mengolahnya kembali. Misalnya dijadikan ember plastik, bisa untuk menjadi mainan anak-anak atau tas plastik, atau misalnya bahan kaleng bisa diolah kembali menjadi mainan anak. Bahan kertas bisa diolah menjadi kertas daur ulang atau aksesori.

Residu biasanya dibawa ke tempat pembuangan sementara atau dibakar ke insineratior. Menurut Wahyu, residu sebaiknya dibakar karena sampah ini mengandung racun. Padahal, pada umumnya kita semua abai pada sampah residu ini.

Nah, pada Green Festival kita bisa belajar lebih jauh bagaimana seharusnya mengelola sampah. Oleh: Yuni Ikawati



Post Date : 15 Februari 2008