|
Jakarta, Kompas - Air laut yang masuk ke daratan di beberapa daerah di Banda Aceh, yang sebelumnya merupakan daerah persawahan dan cekungan, kini menimbulkan genangan. Genangan ini baru akan surut saat musim kemarau datang di wilayah tersebut. "Saat ini tanah permukaan di wilayah Banda Aceh dan sekitarnya masih jenuh karena genangan air laut. Bila hujan melanda, besar kemungkinan wilayah itu akan dilanda banjir," kata Ratih Dewanti Dimyati, Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Pengideraan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), kepada Kompas di Jakarta, Senin (3/1). Prakiraan cuaca bulanan yang dibuat Lapan berdasarkan data satelit NOAA dan OLR (Outgoing Longwave Radiation) menunjukkan, pada bulan Januari 2005, peluang hujan di wilayah ini tergolong rendah sampai sedang, mencapai 200 milimeter (mm) per bulan. Puncak hujan di Aceh biasanya justru terjadi sekitar Agustus hingga Oktober, yaitu dengan curah hujan 350 mm per bulan. Sementara itu, data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyebutkan, selama seminggu ke depan (2-8 Januari) wilayah Sumatera bagian barat, termasuk Aceh, umumnya berawan dan berpeluang terjadi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang. Hujan dengan intensitas ringan adalah hujan dengan curahan antara 1-5 mm per jam atau 5-20 mm per hari. Adapun intensitas sedang berkisar antara 5-20 mm per jam atau 20-50 mm per hari. Daerah Aceh yang berada di belahan utara khatulistiwa memiliki pola hujan yang kebalikan dengan wilayah selatan khatulistiwa. Puncak hujan di selatan khatulistiwa sekitar Januari-Februari. Meski prakiraan cuaca menunjukkan peluang hujan masih dalam intensitas ringan hingga sedang, potensi terjadinya hujan tetap ada. Walaupun intensitasnya hanya berkisar antara 5-20 mm per jam atau 20-50 mm per hari, tindakan antisipatif tetap diperlukan, terutama di daerah-daerah yang saat ini masih digenangi air laut. "Dalam situasi di mana tingkat kejenuhan tanah permukaan yang tinggi, bila ditimpa hujan, kawasan tersebut akan gampang dilanda banjir. Sebab, air hujan yang datang itu tidak bisa diserap oleh permukaan tanah," ujar Ratih. 10.000 km persegi Menurut Ratih, berdasarkan citra satelit sumber daya alam yang memantau wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut), diperkirakan gelombang tsunami yang terjadi pekan lalu menerjang wilayah pantai barat dan timur dua provinsi itu seluas 10.000 kilometer (km) persegi. Di antara kota-kota di NAD yang tersapu ombak, Meulaboh dan Banda Aceh tergolong terparah karena hampir seluruh wilayahnya merupakan dataran rendah dengan elevasi di bawah 20 meter di atas permukaan laut. Di Meulaboh, yang panjang pantainya sekitar 10-20 km, tsunami masuk hingga lima kilometer. Wilayah yang sebelumnya hancur terguncang gempa dahsyat tampak nyaris bersih karena tersapu ombak. Sementara di Banda Aceh, yang berupa lembah berbentuk huruf V yang diapit dua bukit di sisi barat dan timurnya, diserbu gelombang pasang setinggi sekitar 10 meter dan sejauh 10 km. Menurut Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh Lapan Nur Hidayat, jauhnya jangkauan gelombang laut masuk ke Banda Aceh disebabkan adanya dua muara sungai di antara Kueng Aceh Lama dan kanal yang merupakan sudetan yang berada di sisi timur ibu kota NAD itu. "Kanal selebar 300 meter itu, ketika terjadi tsunami-yang melesat dengan kecepatan 700 hingga 900 km per jam itu-ibarat jalan tol," ulasnya. Sudetan itu dibangun pada tahun 1981 dan dimaksudkan untuk mengatasi banjir di Banda Aceh yang disebabkan oleh luapan air dari Krueng Aceh Lama. Sebelum adanya kanal banjir itu, Banda Aceh memang kerap dilanda banjir karena datarannya yang rendah. Dengan adanya kanal, air dari sungai tersebut dapat langsung tersalurkan ke laut. Akan tetapi, saluran ini justru menjadi bumerang ketika terjadi tsunami. Jauhnya terjangan air laut lewat sungai bisa terlihat di kawasan sekitar Masjid Raya yang berada di tepi Krueng Aceh Lama. Jarak masjid ini dari garis pantai sekitar tiga kilometer. Ketika gelombang pasang, lanjut Nur, air laut menyerbu daratan lewat Krueng Aceh dan kanal banjir. Sampai di titik percabangan dua jalur sungai itu, air laut lalu membentuk turbulensi hingga menimbulkan kerusakan lebih parah. Peta wilayah Aceh Ratih menambahkan, saat ini Lapan tengah menghimpun data citra satelit guna membantu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan program pemulihan wilayah Aceh, yang akan mendapat bantuan dari Bank Dunia. "Untuk itu, diperlukan data-data citra satelit beresolusi tinggi seperti Quick Bird, Ikonos, dan Spot-5. Dana yang diperlukan untuk itu berkisar 240 hingga 420 dollar AS untuk menyediakan citra satelit daerah seluas 10.000 km persegi," papar Ratih. Data satelit resolusi tinggi, menurut Nur Hidayat, diprioritaskan untuk pembuatan peta kota-kota besar di NAD. Dalam dua minggu ini akan diupayakan penyediaan foto satelit beresolusi tinggi berskala 1:2500 km untuk wilayah Banda Aceh, Meulaboh dan Lhok Seumawe. Adapun untuk wilayah NAD yang lebih luas menggunakan citra satelit resolusi rendah, berskala 1:10.000 km. Data satelit yang ada itu diharapkan dapat membantu perencanaan kembali tata ruang wilayah di provinsi yang dilanda gempa dan tsunami itu. Dalam perencanaan wilayah pantai di NAD dan Sumut, juga wilayah barat Sumatera lainnya yang rawan tsunami, Ratih menyarankan agar setiap rencana tata ruangnya memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Lingkungan Hidup. Dalam UU itu disebutkan, 200 meter dari garis pantai harus ditetapkan sebagai jalur hijau. "Jalur itu hendaknya dihutankan kembali dengan tumbuhan mangrove. Hutan mangrove yang membentengi wilayah pantai yang berombak kuat sangat menolong meredam gempuran tsunami masuk ke daratan," jelas Ratih. (yun) Post Date : 04 Januari 2005 |