|
Daerah endapan seperti delta sungai di pantai timur Sumatera berpotensi mengandung arsenik. Racun tak berasa dan berbau itu berasal dari lapukan batuan dan pencemaran sungai. Bisa menyebabkan kanker, gangguan pernapasan, dan penyakit kulit. Pencemaran Kabar kurang sedap itu dilansir jurnal Nature Geoscience, pertengahan Juli lalu. Disebutkan bahwa air tanah di pantai timur Sumatera tercemar arsenik. Area yang teracuni meliputi 100 kilometer persegi. Artikel itu mengutip penelitian Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology yang bermarkas di Dubendor, Swiss. Lembaga itu membuat pemodelan yang bisa menunjukkan daerah-daerah yang potensial tercemar arsenik. Analisis itu menggunakan data geologi dan kimia tanah. Arsenik memang salah satu logam toksik (racun) yang terkandung di dalam tanah. Semua batuan pada dasarnya mengandung arsenik, biasanya 1-5 ppm (1 ppm = 0,0001%). Tanah hasil pelapukan batuan biasanya mengandung arsenik 0,1-40 ppm atau rata-rata 5-6 ppm. Air yang berinteraksi dengan batuan atau tanah tadi dapat melarutkan arseniknya. Dalam jumlah sangat kecil, sebenarnya arsenik terdapat di tanah dan semua makanan. Konsentrasi yang lebih tinggi dijumpai pada batuan beku dan endapan. Daerah hilir sungai memang menunjukkan indikasi tercemar arsenik lebih tinggi daripada hulu. Rupanya air memboyong larutan arsenik hasil pelapukan batuan di hulu ke hilir. Riset menunjukkan, daerah hilir atau daerah dataran mengandung arsenik yang tinggi. Sedangkan pada dataran tinggi jarang ditemukan arsenik. Itu juga tampak pada hasil penelitian lembaga riset akuatik Eawag, pimpinan geolog Lenny Winkel. Dinyatakan bahwa daerah-daerah endapan seperti delta sungai mengandung kadar arsenik yang tinggi. Misalnya delta Sungai Irrawaddy di Myanmar, Telaga Tonle Sap di Kamboja, delta Sungai Merah di Bangladesh, Sungai Chao Phraya di Thailand, dan pantai timur Sumatera. Peneliti juga menemukan kandungan arsenik dalam kadar bervariasi di sumur-sumur penduduk, yang dibuat pada 1970-an dan 1980-an. Ironisnya, sumur-sumur itu menjadi penyedia air minum utama bagi penduduk. Sumber racun itu berasal dari sedimen yang terbentuk di tanah akibat pembuatan sumur gali di tanah yang dangkal hasil endapan. Ambang batas yang diperbolehkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 0,01 miligram per liter air minum (1 ppm). Di pantai timur Sumatera, wilayah yang rawan keracunan mencakup area seluas 100.000 kilometer persegi. Perairan itu diperkirakan rawan terkontaminasi arsenik melampaui ambang batas WHO. Dugaan tersebut didukung sampel air yang diambil dari beberapa daerah itu. Sumur-sumur di wilayah itu cukup dalam dan menarik air dari bawah sedimen area cadangan air yang mengandung arsenik. Dengan demikian, jika musim kemarau, air pada lapisan tanah yang mengandung arsenik akan turun dan dikonsumsi penduduk. Pada saat musim hujan tiba, air merembes ke dalam melewati lapisan tanah yang mengandung arsenik. ''Peta prediksi itu bermanfaat dalam mengidentifikasi area-area yang memiliki risiko terkontaminasi arsenik dengan memahami karakter geologi setempat,'' kata Michael Berg, peneliti dari Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology. Sekitar 135 juta orang dari 70 negara mengonsumsi air minum di bawah standar WHO. Temuan yang mengindikasikan bahwa 100.000 kilometer persegi pantai timur Sumatera rawan tercemar arsenik ditanggapi secara beragam. Dinas Kesehatan Riau, misalnya, meminta seluruh kabupaten dan kota mewaspadai risiko terkait hasil riset Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology itu. Burhanuddin Agung, Kepala Sub-Dinas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Riau, meminta masyarakat segera membuat laporan jika ditemukan warga yang menjadi korban arsenik. "Daerah pesisir timur Sumatera waspada,'' katanya. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Riau juga bertindak cepat. Mereka segera mengambil sampel air. ''Kami segera mengambil sampel air di pesisir timur Sumatera, khususnya di sejumlah kabupaten/kota di Riau, untuk diteliti,'' kata Zulhasni, staf Bapedalda Riau bagian pencemaran. Hal serupa dilakukan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara. Mereka juga akan mengambil sampel air tanah di Belawan dan Medan. Sampel itu diuji di Bogor untuk menentukan ada tidaknya kandungan arsenik. Langkah itu sesuai dengan permintaan Masnellyarti Hilman, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Masnellyarti meminta pemerintah daerah meneliti kondisi air di daerah masing-masing. Pemerintah memang patut waspada, karena arsenik adalah racun berbahaya. Sifatnya yang tidak berasa dan berbau menyebabkan arsenik sulit dideteksi. Padahal, jika mengonsumsi air yang tercemar arsenik secara terus-menerus, bisa timbul berbagai penyakit. Di Bangladesh, jutaan penduduk berisiko teracuni. Ini bisa mengakibatkan lonjakan penyakit kanker, pernapasan, dan penyakit kulit. Menurut Arie Herlambang, ahli air bersih dan limbah cair pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, di Bangladesh, sebanyak 270.000 orang tewas karena kanker yang timbul akibat mengonsumsi air yang mengandung arsenik. Arie menyarankan agar pemerintah segera mengambil langkah mengamankan sumber air bersih dari kemungkinan tercemar arsenik. Jika hal itu tidak segera diatasi, dikhawatirkan kejadian di Bangladesh menimpa negeri ini. Diperkirakan 29% rakyat Bangladesh telah digerogoti arsenik. Di 8.000 perkampungan yang diteliti, 100% penduduknya terkontaminasi arsenik. Upaya PBB sejak 1970-an untuk membiasakan penduduk minum air bersih seolah sia-sia. Tingkat pencemaran dan kerusakan sumber-sumber air bersih di Bangladesh sangat parah dan terlalu sulit diatasi. Lebih dari 10 juta rakyat Bangladesh telah tercemar arsenik. Hal ini memicu peningkatan pasien kanker dan tumor. Memang sebagian besar rakyat Bangladesh masih mengandalkan air sungai untuk minum. Padahal, air sungai di sana sudah sangat cemar. Penelitian data air dari delta Sungai Merah di Bangladesh memperlihatkan, satu dari lima sampel menunjukkan kadar arsenik melewati kadar 1 ppm. Bahkan nilai maksimumnya mencapai 30 ppm atau 30 kali ambang batas yang diperbolehkan WHO. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan sumber air dari sumur-sumur yang bebas arsenik. Dengan menggunakan model besutan Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology, dapat diketahui daerah mana yang berisiko rendah teracuni arsenik. Meskipun, menurut Michael Berg, daerah rendah risiko itu bukan berarti bebas arsenik. ''Dengan peta ini, akan cepat diketahui daerah mana yang penggalian sumurnya berisiko,'' katanya. Rohmat Haryadi Post Date : 06 Agustus 2008 |