|
Topik soal kemiskinan biasanya tidak menarik minat banyak orang. Tetapi karena yang berbicara adalah Prof Jeffrey D Sachs, maka sekitar 1.000 orang hadir di Gedung Center for Stratregic and International Studies (CSIS) hari Kamis (4/8) untuk mendengarkan soal kemiskinan, terutama apa jalan keluarnya. Prof Emil Salim yang memimpin The 2005 Panglaykim Memorial Lecture dengan topik The End of Poverty, Economic Possibilities for Our Time, mengawali kuliah ini dengan mengatakan bahwa Sahcs bukan saja ilmuwan, profesor, tetapi seorang pria yang sabar. Karena dia sabar sekian lama mengikuti masalah kemiskinan ekstrem ini, ujar Emil Salim. Sachs, yang sekitar 30 tahun mengikuti masalah kemiskinan, menegaskan, saat ini kemiskinan ekstrem merupakan tantangan yang harus bisa diatasi oleh pembangunan ekonomi dan para ilmuwan. Karena di planet ini, antara 8 juta hingga 11 juta orang meninggal setiap tahunnyasebagian besar anak-anakkarena terlalu miskin untuk bisa bertahan hidup. Ini berarti sekitar 20.000 orang meninggal setiap harinya karena kemiskinan ekstrem. Mereka tewas sia-sia karena rumah sakit yang kekurangan obat, tempat tinggal yang tidak dilengkapi kelambu antinyamuk, atau rumah yang tidak dilengkapi air minum yang sehat. Di Mali, Ghana, Ethiopia, ataupun Yaman, ribuan orang setiap harinya berjuang untuk bisa makan, ujar Sachs. Makanan praktis tak ada karena kekeringan. Juga tak ada air minum yang layak. Seorang ibu dengan lima anak harus berjalan beberapa kilometer untuk mengobati putrinya yang terkena malaria. Tak ada transportasi. Apakah kita harus membiarkan semua ini berlangsung tanpa berbuat apa-apa, ujar Sachs. Bagi Profesor Manajemen dan Kebijakan Kesehatan pada Universitas Columbia, New York (AS), dan juga Direktur pada Proyek Milenium PBB serta Penasihat Khusus Sekjen PBB Kofi Annan soal Millennium Development Goals, kemiskinan ekstrem ini harus bisa dikurangi. Beruntung, ujar Sachs, melalui Millennium Development Goals, masyarakat internasional sepakat untuk mengurangi kemiskinan ekstrem, penyakit, dan kelaparan pada tahun 2015. Ini bukan berarti kemiskinan ekstrem itu akan berakhir, tetapi ada upaya untuk menguranginya, tegasnya. Lebih banyak janji Hanya saja, Sachs yang mengaku sebagai pengkritik keras Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), karena banyak kebijakannya yang keliru berkaitan dengan kemiskinan, kali ini juga mengkritik negara- negara maju. Mereka banyak berbuat janji, ini berita bagusnya. Namun berita buruknya, mereka tak pernah menempati janji-janji itu, ujar Sachs. Padahal, untuk bisa mengurangi kemiskinan ekstrem yang menurut Bank Dunia kini mencapai 1,1 miliar orang itu, jelas tak ada impossible hands. Lagi pula, relatif mudah dan murah karena hanya memerlukan komitmen masyarakat internasional, pemerintah lokal yang memadai, dan ilmuwan. Perlu suatu kolaborasi bersama. Sachs mengaku semuanya perlu proses, perlu suatu pembangunan ekonomi. Tentu saja pembangunan ekonomi yang berbasis pada masyarakat lokal. Hanya saja, Sachs sempat mengungkapkan kekecewaannya. Sebelum ini negara-negara maju sepakat untuk mengurangi kemiskinan ekstrem, terutama di Afrika. Tetapi sejak 11 September 2001 mereka lebih bersatu untuk memerangi terorisme. Perang melawan terorisme lebih utama dibanding melawan kemiskinan, ujarnya. Meski demikian, Sachs tetap saja berupaya menjalin kerja sama global untuk mengurangi kemiskinan ekstrem. Dan ini memerlukan kemitraan, keterlibatan langsung negara-negara maju bersama negara miskin. Mereka tidak hanya berhenti pada memberikan bantuan dana, tetapi harus terlibat membangun. Perlu suatu jaringan kerja sama global. Tiga jalan keluar Sachs dalam kuliah yang selain dihadiri Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu selaku Ketua Yasasan Panglaykim, juga Menkominfo Sofyan A Djalil dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono ini, lantas menekankan perlunya masalah transportasi sebagai hal pertama yang diperhatikan. Transportasi ini juga termasuk dalam mengapai pasar dan sumber informasi lainnya. Dengan transportasi yang baik, maka pasar bisa dijangkau. Negara yang lebih terbuka seperti Indonesia jelas lebih beruntung dibanding negara yang tak punya akses ke laut. Afganistan dan Azerbaijan hanya berdagang minyak kalau ada minyak atau heroin. Karena bisa menutupi biaya transportasi, ujarnya. Hal kedua yakni, pengadaan pangan. Pertanian. Pangan yang tersedia bahkan berlebihan akan menekan kemiskinan. Menurut Sachs, hal ini membutuhkan air, tanah pertanian, matahari, dan bibit yang baik. Negara-negara dengan irigasi, jelas lebih baik taraf hidupnya dibanding yang mengharapkan hujan, ujarnya. Karena mereka bisa panen tiga kali setahun misalnya. Negara-negara di Afrika kekeringan dan kelaparan karena lahan pertanian mereka hanya berharapkan hujan. Begitu musim kering, sungai kering, dan tanah pertanian tak bisa menghasilkan. Lagi pula, tanah di Afrika kekurangan unsur nitrogen yang menyuburkan. Hal ketiga yakni berkaitan dengan penyakit. Sachs menyebutkan, penyakit malaria yang melanda Afrika karena tak ada upaya berupa penyediaan obat-obatan atau pemberantasannya. Perlu juga diketahui, nyamuk di Afrika sepuluh kali lebih ganas dibanding nyamuk di Asia. Bibit malaria juga bisa hidup bersama binatang yang banyak hidup di Afrika. Nyamuk ganas ini antara lain yang membuat orang Eropa tidak ke Afrika dan lebih memilih ke Asia, ujarnya. Sachs juga menekankan perlunya pendidikan. Hal ini penting guna memahami informasi semisal petani soal pasar, soal bibit, soal persediaan dan suplai. Kondisi Indonesia Seorang peserta menyanggah Sachs. Indonesia secara transportasi memadai dan punya akses yang luas. Begitu juga pengadaan pangan karena subur, dan kesehatan juga memadai, tetapi mengapa kemiskinan tetap saja ada. Bahkan lebih buruk. Jeffrey Sachs mengatakan, bisa saja Anda benar karena hidup bersama orang miskin. Tetapi dibanding sebelumnya, kondisi di Indonesia sudah jauh lebih baik. Angka kematian bayi rendah, kematian ibu rendah, dan tingkat harapan hidup semakin tinggi. Semuanya jelas, ujar Sachs. Prof Emil Salim saat menutup kuliah membenarkan. Kemiskinan yang Anda lihat adalah kemiskinan kantong. Kemiskinan dari sisi Jefrey lebih makro, ujar Emil. Jadi dua-duanya benar. Mari Pengestu menegaskan, Sachs dijadikan pembicara kali ini karena masalah kemiskinan memang lagi aktual. Pieter P Gero Post Date : 05 Agustus 2005 |